Diam-diam

2092 Kata
Pada saat itu, Naira masih terngiang-ngiang akan masa indah bersama Beni. Bagaimana tidak, Beni adalah laki-laki pertama kali yang membuat Naira jatuh cinta dengan segala perhatian dan kasih sayangnya. Naira merasa nyaman kala itu b******a dengan Beni, yang selalu meluangkan waktunya untuk bertemu dan berkencan sama Naira. Di dalam mobil jazz putih itu, cerita Naira dan Beni banyak sekali tertinggal di sana. Mulai dari adu rayu, bernyanyi bareng, saling berkeluh kesah, hingga akhirnya Naira mendapatkan kecupan pertama di bibirnya oleh Beni ya di mobil itu. “Tidak, tidak! Kenapa aku masih saja terbayang akan masa lalu bersama Beni? Itu kan sudah cerita lama yang telah basi!” ujar Naira disela-sela keriduannya terhadap masa lalu itu. Tak terasa air mata Naira jatuh berlinang di pipinya. Entah perasaan sakit, cemburu, atau rasa apa pun itu yang tega menghampirinya hingga Naira menangis. Tangisan Naira yang terjadi itu, terdengar hingga ke telinga Bu Ari. “Huhu huhu huhu,” Naira menangis dengan volume suara yang besar. “Siapa itu ya menangis?” Bu Ari yang sedang menyetrika baju dan celana di depan televisi itu, spontan berhenti melakukan aktivitasnya. Bu Ari langsung mencari dimana arah suara itu berasal. Dan, ketika Bu Ari mendekatkan langkah kakinya menuju depan kamar Naira, tangisan itu makin terdengar dengan jelas. “Nah, sepertinya suara tangisan itu berasal dari dalam kamar Naira, apakah yang menangis itu adalah Naira?” Bu Ari mencoba menebak sambil menempelkan telinga kanannya ke pintu kamar Naira. “Iya, benar, Naira anakku sedang menangis. Siapa yang berani ganggu Naira?” ucap Bu Ari pelan. Tok.. tok.. tok.. Bu Ari mengetuk pintu kamar Naira. Di dalam kamarnya, Naira terdengar sesenggukkan dengan tangisnya. Ketukan dari Bu Ari tidak membuat Naira berhenti menangis atau bahkan membukakan pintu. “Naira sayang, ayo buka pintunya, Nak, kamu kenapa menangis begitu? Apa yang membuat kamu menangis sesenggukkan?” tanya Bu Ari pada Naira yang masih menangis. Tiba-tiba, suara tangisan Naira seolah mereda. Tangis yang tadinya keras itu, mulai terhenti dan bahkan tidak terdengar di telinga Bu Ari. Bu Ari lebih menempelkan telinganya lagi di pintu kamar Naira. “Wah, Naira sudah tidak menangis lagi. Syukurlah, semoga dia hanya keseleo atau apalah makanya menangis seperti tadi,” ujar Bu Ari yang kemudian kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat ia tinggal, yaitu menyetrika baju dan celana di depan televisinya yang masih menyala. Sementara itu, Naira yang berada di dalam kamarnya ternyata masih mengeluarkan air matanya. Tangisan Naira terdengar meredam karena mulut Naira ditutupinya dengan selimut yang tergelar di atas kasurnya. Maka dari itu, tangisannya tidak terdengar lagi oleh Bu Ari. “Bahaya kalau sampai Ibu tau aku menangis gara-gara Beni, pasti aku tidak akan diijinkan untuk bertemu Beni walau sedetik pun, padahal kan aku memiliki media dan projek baru bersama Beni,” ujar Naira dalam hati dibalik tangisnya. Tin.. tin.. tin.. klakson mobil yang sangat tidak asing terdengar hingga kamar Naira. Naira yang merasa ada kabar baik, segera mengintip mobil siapa yang datang ke rumahnya hari ini. Naira menelik dari jendela kamarnya yang terbuka. Dan, itu adalah Beni dengan mobil jazz putihnya. Naira langsung mengusap kedua matanya yang tadi terbasahi air matanya dengan kain bersih. Naira mencoba memberhentikan senggukan tangisnya. “Ayo dong tangisanku tolong berhenti, tolong ya,” ujar Naira sambil tetap mengusap air matanya yang tersisa. Tok.. tok.. tok.. “Naira, ayo keluar Nai, ada Beni datang,” seru Bu Ari. “I.. i.. iya, Ma, aku akan keluar secepatnya, mau ganti baju dulu,” balas Naira dengan sedikit sesenggukan. Naira melihat betul-betul kedua matanya di depan cermin, apa kah matanya sudah bersih tanpa air mata atau masih tersisa. Naira membesarkan dan menyipitkan kedua matanya, dan merasa sedikit membaik. Kemudian, Naira mengganti baju tidurnya dengan baju yang sedikit bermotif. Setelah selesai, tak lupa Naira menyemprotkan parfum dan keluar kamar tidurnya untuk menemui Beni. Beni, Andin, dan Bu Ari sudah duduk bersama di ruang tamu. Beni membawakan satu kantung plastik buah alpukat yang ia janjikan pada Naira. Naira ikut duduk di ruang tamu dan berusaha menyembunyikan tangisannya yang melihat Beni dan Andin. “Kalian berdua habis dari mana?” tanya Naira. “Gak kemana-mana kok Mbak,” jawab Andin. “Aku keluar mau membelikanmu buah alpukat saja, nih diambil ya,” jawab Beni yang menunjuk sekantung plastik yang diletakannya di atas meja ruang tamu. “Hmm, terima kasih banyak ya Ben, aku kira kamu khilaf atas janji yang kamu berikan sama aku,” kata Naira. “Hahaha, yang gak lah, aku kan orang yang selalu menempati janji,” balas Beni. Mendengar ucapan Beni yang dirasa tidak sesuai, Bu Ari yang tadinya duduk tenang di atas sofa empuknya, tiba-tiba beranjak dari tempat duduknya. “Hmm, Beni, Beni, masih saja ya omongan yang seperti itu diulang-ulang di depan Niara,” tutur Bu Ari sambil berjalan menjauh menuju ruang keluarga. Andin menatap Bu Ari heran, batinnya timbul pertanyaan lagi. “Kenapa ya Tante Ari bisa berkata seperti itu terang-terangan di depan Kak Beni dan Mbak Naira? Apakah ada sesuatu yang kelam dibalik ini semua?”. Walau pun gejolak batin Andin terus memberi pertanyaan, Andin tetap menunjukkan raut wajah yang gusar atau bingung. Namun, Andin yang professional itu tetap tenang, ceria, dan bermimik seolah tidak terjadi apa-apa. “Terima kasih banyak, ya,” ucap Naira yang mengambil alpukat yang berada di dalam kantung plastik. “Aku tinggal ke belakang sebentar, ya,” izin Naira. Naira melangkahkan kakinya menuju Bu Ari, dan memberikan sebuah alpukat yang tadi ia ambil dari dalam kantung plastik. “Bu, tolong buatkan alpukat smoothie dong, ini ada yang sudah mateng,” pinta Naira. “Buat sendiri, ah,” balas Bu Ari sinis yang asyik menonton sinetron di televisi. “Yah, Ibu kok gitu sih, tolong lah Bu,” ucap Naira lagi sambil memelas dan memanyunkan bibirnya. “Ih kamu dasar ya,” ujar Bu Ari yang beranjak dari tempat duduknya dan mulai menuju dapur, “ya udah sini Ibu buat, nanti alpukat smoothienya ambil sendiri di atas meja makan ya, Ibu taruh di situ nanti,” pesan Bu Ari. “Oke do ki, terima kasih Ibu Ari yang paling cantik sejagad raya,” Naira merayu. Naira kembali menuju ruang tamu untuk menemani Andin dan Beni. “Maaf aku kelupaan, kalian mau minum apa nih? Masa tamu gak dibikinin minum, sih,” ucap Naira. “Wah gak usah deh Nai, kayaknya kita juga hanya sebentar kok di sini,” kata Beni. “Iya Mbak, sebentar lagi sepertinya mau balik ke rumah karena Mama aku memintaku untuk cepat pulang,” Andin memberi tahu. “Oh begitu, cepat sekali kalian di sini, Ckckck,” Naira menggelengkan kepala. “Iya, karena tujuan utamanya kan mau memberikanmu buah alpukat saja untuk menempati janjiku tempo hari,” sahut Beni. “Oh gitu toh,” Naira menganggukan kepalanya. Lalu, Andin pun terlihat menjawil pinggang milik Beni. Dan Beni pun seolah paham diberikan isyarat oleh Andin yang tergambar dari matanya. “Baik Nai, aku mau pamit untuk balik nih sama Andin, semoga kamu suka ya sama buah alpukatnya. Alpukatnya dihabisin, kalau sampai tersisa, aku marah loh!” kata Beni disertai candaan. “Iya, iya, aku akan habisin kok, kan kamu tau sendiri aku itu suka banget sama yang namanya alpukat,” kata Naira. “Bagus, bagus, ya udah aku pulang sekarang ya salam sama Tante Ari,” pinta Beni. “Iya, Mbak, aku pamit juga ya, maaf cuma sebentar doang mampir kesini,” tutur Andin. “Oh gak apa-apa kok, yang penting kan ada iktikad baik mau main kesini. Hati-hati di jalan ya kalian, semoga selamat sampai tujuan,” kata Naira sambil melambaikan kedua tangannya untuk Beni dan Andin. Beni dan Andin melaju dengan mobilnya. Ketika Beni dan Andin sudah berlalu menaiki mobil, Naira ingat bahwa ia sudah meminta Bu Ari untuk membuatkannya alpukat smoothie. “Bu, alpukat smoothie-ku sudah jadi, kah?” tanya Naira kepada Bu Ari yang masih saja asyik menonton sinetron lewat televisi. “Udah, disitu, disitu,” balas Bu Ari menunjuk ke arah meja makan. Naira pun mengangguk paham. Naira lekas menjajakan kedua kakinya menuju ruang makan dan mengambil segelas alpukat smoothie yang sudah disiapkan Bu Ari. Kemudian Naira kembali menghampiri Bu Ari dan duduk tepat di samping Bu Ari sambil melahap alpukat smoothie kesukaannya itu. “Nyam, nyam, nyam,” Naira menyuapkan dua hingga tiga sendok alpukat smoothie ke dalam mulutnya. Bu Ari pun melirik ke arah Naira, “enak kah Nai? Kemanisan gak tuh, tadi kayaknya Ibu kebanyakan masukin gulanya,” tutur Bu Ari. “Hmmm, kayaknya sudah pas sih rasanya, Bu. Benar-benar tidak blenek di mulut,” jujur Naira. “Oke, baguslah, kalau pun tadi kamu merasa kemanisan, Ibu akan mengulang untuk membuatnya,” seru Bu Ari. “Ah tidak perlu diulang, Bu, nanti stok buahnya makin menipis, haha,” kata Naira sambil menyuap kembali alpukat smoothie ke dalam mulutnya dengan sendok. Naira menikmati alpukat smoothie hingga suapan terakhir sambil ikutan nonton sinetron yang Bu Ari tonton pula. “Eh Nai, Ibu mau nanya deh,” tanya Bu Ari saat sinetron sudah selesai. “Iya, Bu, ada apa? Tanya aja kali,” jawab Naira yang juga selesai menghabiskan segelas alpukat smoothie. “Tapi maaf ya kalau kamu tersinggung atau sakit hati sama pertanyaan Ibu,” Bu Ari menghadang. “Iya, Bu, sejak kapan pertanyaan dari Ibu bikin aku tersinggung atau sakit hati? Perasaan gak pernah tuh,” Naira menimpali. “Oke lah, Ibu nanya ya, Beni itu sudah punya pacar apa belum, ya?” tanya Bu Ari dengan nada pelan. “Hmm, gak tau ya Bu, setahuku sih belum punya,” jawab Naira yang ngasal aja menjawabnya. “Ah, masa sih? Terus perempuan yang dia bawa tadi siapanya dong?” tanya Bu Ari lagi. “Itu namanya Andin, rekan kerja Beni ketika di media lokal kemarin, juga rekan untuk mengembangkan media kami ini,” jawab Naira santai. “Oh ternyata hanya rekan kerja toh, tapi kok kalau hanya rekan kerja kenapa kamu tidak diajak meeting sejak dari tadi pagi?” Bu Ari heran. Pertanyaan Bu Ari yang terakhir itu membuat Naira menyeritkan dahinya. Bu Ari berkata kalau Andin dan Beni ada meeting bersama hari ini? “Ah gak ada kok, Bu, aku tidak mendapatkan pemberitahuan untuk meeting untuk hari ini. Ibu jangan ngarang deh ya, tau dari mana coba?” Naira membalas. “Lho, Andin dan Beni sendiri yang bilang kalau mereka sehabis pulang dari meeting sejak jam tujuh pagi tadi,” tandas Bu Ari. Naira menelan ludahnya dalam-dalam, Naira sungguh kesal bahwa Beni tidak memberi tahu dirinya perihal meeting pada pagi hari ini. Mengenai pemberitahuan yang dikabarkan oleh Bu Ari, Naira tetap memasang ekspresi wajah yang biasa saja seolah-olah tidak masalah kalau hal itu terjadi. Naira pun langsung berdiri dan membawa segelas kotor bekas alpukat smoothie itu ke dapur. *** “Andin, terima kasih ya hari ini sudah menemani aku,” ucap Beni. Andin tersenyum dan membalas ucapan terima kasih itu, “sama-sama, Kak Beni, selagi aku ada waktu dan diperbolehkan sama Mama, ya aku akan menemani,” “Eh, anakku sayang dan Nak Beni sudah pulang rupanya ya,” timpal Bu Ranti dari arah dapur menuju ruang tamu yang di sana sudah ada Beni dan Andin berdua. “Ehehe, iya nih Tante, baru saja sampai,” balas Beni. “Oh gitu, kalian capek gak nih? Habis kemana aja seharian ini?” tanya Bu Ranti. “Gak ke tempat penting-penting amat sih Te, hanya ke tempat rekan saja tadi,” jawab Beni disertai senyuman. “Hmmm gitu, oh ya kalian lapar gak? Kebetulan Tante lagi masak udang goreng mentega tuh,” ucap Bu Ranti sambil melirik masakannya di dapur. “Hmmm, gimana ya Te,” ujar Beni sambil melirik ke arah Andin. “Dasar ya Kak Beni banyak ba bi bu nya. Ma, Kak Beni minta makan tuh, dia laper katanya,” lapor Andin ke Bu Ranti. “Ayo ayo sini kita makan bareng saja ya Andin dan Nak Beni di ruang makan. Tante sudah menyiapkan semuanya khusus untuk kita bertiga loh,” ajak Bu Ranti ke ruang makan, sementara Andin dan Beni mengikuti arah jalan Bu Ranti dari belakang. Beni sangat senang disambut baik oleh Bu Ranti, sampai-sampai diberikan makan siang yang kelihatannya lezat. Bu Ranti langsung mengarahkan ke Beni untuk duduk di kursi kosong tepat di samping kiri Andin. “Mari, mari disantap saja dulu makanan yang tidak terlalu enak ini hehe,” ujar Bu Ranti seraya membukakan wadah dan panci lauk yang sudah tersedia di atas meja makan. “Wah, kelihatannya enak sekali ini Te, masak sendirian, Te?” Beni pun antusias melihat hidangan yang aroma dan penampilannya sangat menggoda sekali. “Iya lah, Tante selalu masak sendirian kalau untuk makan berat begini,” info Bu Ranti. “Hah? Berarti setiap hari Tante masak sendirian, dong?” Beni bertanya. “Iya, hehe,” jawab Bu Ranti singkat. Mengetahui jawaban Bu Ranti, Beni langsung memalingkan pandangan ke arah Andin. “Lho, apakah Andin tidak ikut membantu Tante Ranti memasak di dapur?” tanya Beni. “Ya kadang-kadang saja, tapi sering tidaknya,” ucap Bu Ranti yang membuat Andin malu di hadapan Beni. “Mamaaaaaa, jangan bilang gitu dong di depan Kak Beni, kan aku jadi malu dan ngerasa menjadi anak yang durhaka karena jarang membantu Mama di dapur,” Andin pun manyun. Seketika Bu Ranti dan Beni tertawa melihat Andin yang salah tingkah itu. Tak lama, mereka mengambil nasi, udang goreng mentega, dan sebagian sayur untuk disantap pada siang hari ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN