“Baik lah Andin dan Beni, apakah pembahasan mengenai projek SEO marketing kita bisa dilanjutkan?” tanya Riki kepada Andin dan Beni.
Andin dan Beni saling melempar pandangan, sesekali Andin melebarkan sedikit kedua bola matanya. Andin memberi sebuah isyarat pada Beni kala itu. Beni pun menganggukan kepala dan tersenyum ke arah Andin.
“Hmm, Riki, mohon maaf sepertinya suasana pertemuan kita kali ini kurang kondusif. Baik dari pihak klien, maupun pihak penyelenggara sendiri,” jawab Beni lantang.
“Kurang kondusif seperti apa, maksudmu? Ayo jalankan saja pertemuan kita siang ini, kalian berdua sudah capek-capek datang ke sini kok malah gak jadi,” Riki tak menerima.
“Mohon maaf sekali lagi, Kak Riki. Sepertinya masih ada beberapa hal yang belum kami siapkan sebagai penyelenggara. Itu karena jadwal yang kita buat sekarang ini terlalu tergesa-gesa,” ucap Andin.
Beni menarik napasnya, dan berbicara lagi, “Tapi…..”
“Begini Riki, untuk projek SEO marketing itu butuh pemahaman yang lebih rinci agar kedua belah pihak mengetahui dan menyetujuinya. Kita bisa lanjutkan di hari waktu saja, Rik!” usul Beni.
Riki yang cenderung mudah terhasut pada orang lain, merasa usul yang dilontarkan Beni barusan memberi hasil yang baik. “Wah, cemerlang sekali idenya, Ben! Sepertinya aku setuju dengan usul kamu, ya sebenarnya aku juga belum tau jelas apa itu SEO marketing,” tutur Riki.
“Oke, Riki. Itu artinya kamu setuju dengan usul dariku, kan? Kita akan bertemu kali secepatnya untuk mengerjakan projek kita,” ujar Beni dengan paras wajah yang meyakinkan.
Riki menganggukkan kepalanya dan menerima apa yang dikatakan Beni untuk kesekian kalinya. “Baik, baik, kalau begitu mari kita sudahi pertemuan kita kali ini yang mohon maaf belum bisa berbincang lebih jauh,” kata Riki.
“Oke, Rik. Aku juga memohon maaf kepada kamu karena belum sempat menjelaskan projek kita dengan sangat baik. Aku berharap kedepannya, kita bisa membahas projek ini lebih jauh lagi,” Beni memohon maaf.
“Iya, Kak Riki. Aku juga mau meminta maaf karena belum bisa mengikuti pertemuan perihal projek kita dengan efektif dan efisien,” Andin ikut-ikutan minta maaf juga.
Riki melengkungkan bibirnya, dan terlihat jelas dua lesung pipi yang bertengger di kedua pipinya.
“Oh, Beni dan Andin, kalian tidak perlu meminta maaf perihal pertemuan kita kali ini, aku malah yang meminta maaf tidak bisa menyediakan tempat yang sunyi, tenang, dan membuat kita fokus,” Riki kecewa terhadap dirinya sendiri.
Andin dan Beni juga melengkungkan senyuman pada Riki. Andin dan Beni beranjak dari tempat duduknya secara bersamaan. Andin dan Beni juga tak lupa mengambil jaketnya yang terlipat di atas meja pesanan dan langsung memakainya. Setelah mereka memakai jaket, mereka segera pamit dan pulang.
“Terima kasih banyak atas perhatiannya ya Rik, sudah mau menerima tamu yang tidak terlalu penting seperti kami ini,” Beni tersenyum.
“Wah, siapa bilang kalian bukan tamu tidak penting? Itu salah besar, dong. Kalian adalah salah satu tamu yang paling aku tunggu untuk memasarkan bisnis dan produk yang aku miliki,” balas Riki dengan cepat.
“Ya udah, kami pamit pulang ya, selamat siang, Rik!” ujar Beni dan berjabat tangan ke Riki.
“Aku juga ya Kak, mau izin pamit pulang ke rumah,” ucap Andin juga yang pamit dan tak lupa berjabat tangan dengan Riki.
Beni dan Andin melangkahkan kedua kaki mereka menuju pintu keluar. Di samping mereka, ada Riki yang mengikuti mereka. Riki menemani Beni dan Andin berjalan hinga Beni dan Andin masuk ke dalam mobil.
“Bye!!!!!” Riki melambaikan tangan kanannya kepada Andin dan Beni yang berada di dalam mobil.
“Bye kembali, Rik!” Beni membalas lambaian tangan Beni yang berdiri di depan pintu kafe dan Andin pun mengikuti untuk memberikan lambaian pada Beni juga. Tak terasa kemudian, Andin dan Beni sudah meninggalkan lahan parkir yang barusan ia tempati di depan kafe Irama Nada.
Ngeng.. ngeng.. cutttt.. ngeng..
Beni kembali mengemudikan mobilnya dengan santai. Tidak lupa lagi, Beni menyalakan radio yang sudah terpasang di dalam mobilnya.
“Selamat siang sobat muda! Kembali dengan saya, Suci di radio kesayangan anda 134.9 fm. Saya akan menemani kalian untuk mendengarkan radio selama satu jam ke depan. Saya akan menyajikan info teraktual dan pastinya menarik untuk sobat semua.”
Begitu suara yang muncul dari balik radio di dalam mobil Beni. Beni tampak girang mendengar bahwa frekuensi radio 134.9 fm akan segera dimulai. Beni yang suka mendengarkan radio di mobil, tidak selaras dengan Andin. Andin sama sekali tidak mencerminkan raut wajah yang ceria, bahagia, senang, setelah mendengar sang penyiar radio berirama di radio.
Andin menyeritkan dahi miliknya, “sejak kapan Kak Beni suka mendengarkan radio? Kok aku baru tau, ya,” Andin bertanya dalam hati pada dirinya sendiri.
Baik sobat muda, siang-siang yang panas terik mataharinya seperti ini enaknya dengarin lagu dari penyanyi solo yang sedang naik daun saat ini, Rizky Febian!
Ujar penyiar radio yang menggambarkan perasaan senang lewat suara yang ia keluarkan.
Ya, sobat muda pasti udah gak sabar dong ya untuk dengarin lagu terbaru dari Rizky Febian yang baru launching dua hari lalu, judulnya Ragu! Yuk kita sama-sama dengerin lagunya yang ngehitz ini, buat kamu yang lagi dengerin, jangan ragu sama pasanganmu ya!
Beni tertawa mendengar ucapan yang diucapkan oleh penyiar radio. Beni merasa ucapan penyiar radio tadi sangat sesuai dengan apa yang Beni rasakan saat ini, yaitu Beni sedang meragu.
“Dalam hatiku yang paling dalam, aku yakin sekali kalau dirimu masih ragu padaku, Din!” ujar Beni dalam hati sambil melirik ke arah Andin, dan Beni memalingkan wajahnya ketika Andin memergoki Beni sedang melirik diri Andin. Andin tersenyum kecil dan membuangkan wajahnya ke arah jendela mobil.
Kau bertanya dengan rasa ragu, seberapa besar cintaku padamu..
Tak perlu kau ragu lagi, coba pahami dan rasakan, Ooh, ooh my lady..
Cukup kau di sampingku, sempurnakan langkahku tuk menyusuri waktu..
Cukup kau di sampingku, berjalan bersamaku pastikan kau bahagia..
Seiring radio itu memutarkan lagu milik Rizky Febian, Beni yang terlanjur menikmati lagu itu dari awal ternyata tanpa sadar dirinya ikut bernyanyi. Andin yang ikut mendengarkan lagu itu berdendang, spontan kepalanya ikut terayun ke kiri dan ke kanan.
“Kamu suka lagu ini, Din?” tanya Beni yang melihat Andin sedang menggoyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.
“Oh, ee.. Hmm, eng.. enggak Kak Beni. Ya malahan aku sama sekali tidak mengenal lagu ini sebelumnya,” ujar Andin yang salting sudah ketahuan menikmati lagu oleh Beni.
“Hahaha, ngaku aja kali kalau kamu suka sama lagu ini, aku dari tadi merhatiin gerak gerakan kamu, kok,” Beni berkata.
Andin terbelalak kaget. Andin tidak menyangka kalau Beni memperhatikan dirinya dari tadi. “Sumpah? Kak Beni liatin aku dari tadi?” kaget Andin dalam hati. Andin menelan ludahnya banyak-banyak untuk menghilangkan rasa salah tingkah ke Beni.
“Sudah, kamu gak usah mengelak Andin. Gak apa-apa kok kalau kamu memang menyukai lagu ini. Tidak masalah, gak ada yang larang juga tau,” ujar Beni bercanda.
“Ih, apa sih Kak Beni,” Andin mentoel bahu Beni pelan.
“Din, mumpung lagunya masih ada, kita lanjutin aja yuk nyanyinya,” ajak Beni yang mendengar lagu dari Rizky Febian itu masih berdendang.
“Ayo, ayo Kak!” Andin mengangguk pertanda setuju.
Kemudian, Andin dan Beni melanjutkan mendengarkan lagu lewat radio sembari melajukan mobil jazz putihnya.
***
“Lho, Kak Beni, kita mau kemana sih? Kok belok sini?” tanya Andin heran.
“Hayo kemana, aku akan menculikmu!” jawab Beni bercanda.
“Ah Kak Beni, ini bukan waktunya bercanda, Kak. Kita mau kemana? Antar aku pulang, kah?” tanya Andin lagi.
“Antar kamu ke rumahku,” jawab Beni singkat.
“Apa? Ke rumah Kak Beni? Ngapain Kak? Aku tidak bawa makanan apa-apa kalau mau ke rumah Kak Beni,” ujar Andin gelabakan.
“Emangnya kalau mau ke rumahku harus nyediain makanan dulu ya?” kata Beni.
“Kata Mama sih begitu,” balas Andin dengan polosnya.
“Siapa yang nyuruh kalau ke rumahku harus bawa makanan?” Beni masih saja menggoda Andin.
“Mama. Mama yang nyuruh Kak. Katanya sih kalau mau main ke tempat Kak Beni, harus bawain jajan dulu, karena Kak Beni itu sudah baik sama Mama,” terang Andin yang sebenarnya malu untuk ia ungkap.
“Hahahahaha, lucu sekali ya kamu dan Tante Ranti. Sama-sama polos apa terlalu baik, sih?” Beni tertawa geli.
Andin menaikkan kedua bahunya setelah Beni berkata seperti itu, “entahlah, Kak Beni. Mungkin itu adalah telepati antara Ibu dan anak, kayak cocok dan klop aja gitu,” Andin berusaha mencari alasan selogis mungkin.
“Baik lah, baik lah, bisa diterima dengan baik kok alasanmu itu, walau maaf ya itu tidak logis, wle!” Beni membalas perkataan Andin sambil mengejek dengan menjulurkan lidah ke arah Andin.
Andin yang melihat Beni melakukan hal seperti itu, langsung mentoel bahunya Beni lagi. Kali ini toel itu agak kuat dan diselingi dengan cubitan yang lumayan keras.
“Awwwww, cubitanmu sakit juga, Din!” seru Beni pasca menerima cubitan dari Andin. “Minta maaf gak minta maaf, merah loh ini, huhuhu,” sambung Beni yang melihat dan meraba-raba bahunya setelah dicubit Andin.
Andin mengintip bahu milik Beni, dan tak disangka bahu Beni yang awalnya berwarna kuning langsat, kini seperti membiru.
“Oh my goddddd!” seru Andin sambil melototkan kedua matanya dan menutup mulutnya dengan tangannya sendiri.
“Kenapa, kenapaaaa?” tanya Beni.
“Maaf banget ya Kak Beni, bahu Kak Beni biru gitu setelah aku cubit. Maafkan aku, ya. Tolong jangan marah, Kak,” Andin memelas meminta maaf pada Beni.
“Hmmm, jahat banget kamu ya, kamu berani bayar aku berapa banyak untuk bisa memaafkanmu?” Beni membuat pertanyaan.
“Dua ribu tiga ratus rupiah, bagaimana?” jawab Andin dengan polosnya.
“Tidak diterima! Murah sekali kayak gorengan di pasar Tanah Abang,” balas Beni.
“Oh, tawaranku tidak diterima. Hmm, kalau dua puluh lima ribu tiga ratus, bagaimana?” tawar Andin lagi.
“Ah, itu mah masih kurang sekaliiiii. Tambahin deh tambahiiiiin,” pinta Beni yang semakin senang melihat Andin murung.
“Yah, kok minta tambahan dan harus bayar sih Kak. Aku kan bawa uang sedikit saja di dompet, lagian aku juga belum bekerja,” sahut Andin. Andin yang sudah mengeluarkan dompet berwarna cokelat putih itu tampak manyun ketika melihat isi di dalam dompetnya itu.
“Tuh, tuh, uangku dikit aja tau, Kak Beni. Belum dikasih lagi sama Mama,” Andin manyun lagi dan kali ini semakin memelas.
“Hahahaha, kamu terlalu percaya sekali dengan orang lain, Din. Padahal aku hanya bercanda saja itu minta uang kepadamu! Wle!” lagi-lagi Beni menjulurkan lidah ke Andin.
Lagi, Andin mencubit kembali bahu Beni yang sudah tertera di sebelah kanannya. Dengan cepat, Andin mendaratkan tangan kanannya ke bahu Beni dan mulai mencubitnya.
“Rasakannnn iniiiiii, iiiiii, Kak Beni nakaaaaal,” ucap Andin sambil mencubit bahu rekan kerjanya itu. Dan jujur, kali ini cubitan yang diberikan Andin memang lebih sakit daripada cubitan yang sebelumnya.
“Sudah, sudah Andin, aku minta ampuuuuun, aku khilaf deh, tadi hanya bercanda doang. Din, tolong lepasin dulu dong cubitanmu ituuu,” ujar Beni yang berharap Andin menghentikan perbuatannya itu.
Andin lalu melepas tangan kanannya yang tadi mendarat di bahu Beni. “Oke aku sudah lepaskan, tapi janji ya gak nakal-nakal lagi sama aku,” kata Andin mengabulkan permintaan Beni.
“Iya, Andin. Aku berjanji tidak akan nakal lagi, lah, dasar spicy hand!” ujar Beni.
“Ssssstttttt, kan aku bilang gak boleh nakal, Kak Beni. Oh ya Kak, kita mau kemana sih, kok dari tadi gak sampai-sampai dan aku sama sekali tidak mengenal jalan ini, Kak,” ucap Andin yang kian bawel.
“Udah lah, ikuti saja kemana pun aku pergi, kita akan bersama selalu,” balas Beni dengan wajah fokus masih mengemudi.
“Ihhh, apaan deh,” Andin mendorong bahu Beni pelan.
Tidak lama, mobil jazz putih milik Beni berhenti di depan sebuah toko yang lumayan besar. Andin yang mengintip dari jendela, penasaran kemana kah Beni mau pergi.
“Kak, kita kesini? Mau ngapain ih?” tanya Andin setelah membaca benar-benar baliho toko yang bertuliskan, “Istana Buah, Segarnya Gak Mau Hilang.”
“Hmm, kamu tidak perlu tau lebih jauh lah, Din. Kamu tunggu di dalam mobil saja ya, biar aku aja yang turun untuk memberi beberapa buah,” ujar Beni.
“Oke deh kalau begitu maunya Kak Beni, aku akan menunggu di dalam mobil. Tapi, jangan lama-lama, ya!” kata Andin dan memberikan satu permintaan.
“Iya, iya, tenang saja. Aku adalah orang yang pandai memilih buah segar dengan cepat dan tepat!” balas Beni dan membuka sabuk pengaman mobil.
Beni pun memastikan dari kaca spion mobil apakah kondisi di luar sudah sepi. Lalu, Beni membuka pintu mobilnya sambil berhati-hati. Beni berjalan menuju pintu masuk istana buah itu dan pergi ke etalase yang penuh dengan buah yang Andin suka, yaitu buah alpukat.
“Waaaaaah ada alpukat, buah kesukaanku nih. Udah lama gak makan buah alpukat. Hmm, Kak Beni baik banget sih mau kasih aku buah alpukat. Belinya jauh banget lagi disini,” ucap Andin kegirangan. Andin merasa jantungnya deg-degan sekali saat itu. “Kak Beni selalu bisa bikin aku deg-degan terus, aku jadi malu deh, apakah Kak Beni memiliki perasaan yang sama kepadaku juga, ya?” Andin mulai menerka-nerka tenang perasaan Beni pada diri Andin.