Detakan jarum jam berbunyi seiring dengan langkahnya satu per satu di dalam jam dinding ruang tamu. Andin terlihat masih mencerna keinginan yang dilontarkan Beni. “Kamu bisa bergabung di media yang baru saja aku buat,” kata-kata itu terus berjalan di otak Andin tanpa menemukan jawabannya.
“Andin, bagaimana kira-kira permintaanku, apakah kamu bisa penuhi?” tanya Beni.
“Hmm, gimana ya, aku belum bisa menjawab permintaan Kak Beni dengan cepat. Apalagi hanya dengan waktu satu hari saja,” jawab Andin.
Beni mengangguk pasrah, “ya aku rasa kamu masih dibayang-bayangi liputan yang mengerikan itu ya,” tandas Beni.
Andin tertegun mendengar ucapan Beni, “haha dari mana Kak Beni tau? Jadi orang jangan sok tau deh ya. Kalau salah ya kan malu sendiri,” terang Andin.
“Oh kalau begitu aku salah ya, baiklah,” Beni melanjutkan anggukannya.
Bu Ranti yang mendengar pembicaraan Andin dan Beni saling tidak memberi pernyataan apapun, langsung berkata, “Andin, Beni, sebaiknya pembahasan seperti ini membutuhkan waktu untuk menjawab iya atau tidak, karena ini berhubungan dengan kegiatan yang lumayan serius, bukan?” kata Bu Ranti dan memandang wajah Andin dan Beni.
“Mungkin yang dikatakan Tante Ranti benar, dan aku ingin meminta jawaban kepada Andin, kira-kira kapan aku bisa mendapatkan jawaban dari Andin?” tanya Beni.
Akan tetapi, Andin tidak menjawab. Andin malah terdiam beribu bahasa dan tidak membalas pernyataan Beni sekalipun. Jam dinding dan jarum jam yang berada di dalamnya ikut mengiringi kesunyian yang berada di dalam ruang tamu. Hingga akhirnya jam menunjukkan pukul 4 sore, pasca Beni menengok jam di tangan kirinya.
“Andin?” sapa Beni lagi kepada Andin yang terdiam sekitar sepuluh menit.
Andin menggelengkan kepalanya, “aku benar-benar belum bisa menjawabnya, Kak. Sungguh, aku minta maaf,” ujar Andin.
“Ya, aku mengerti perasaanmu yang masih ngawang begitu. Dan, aku akan tetap menunggu jawabanmu, Andin,” Beni sedikit merayu. Andin pun hanya tersenyum dan izin ke kamar mandi, “Kak Beni, maaf ya aku tinggal dulu ke kamar mandi, sebentar saja,” izin Andin. Bu Ranti dan Beni mengkoor “iya,” kepada Andin. Raga Andin meninggalkan ruang tamu dan menuju kamar mandi.
Ketika Andin sudah benar-benar berada di kamar mandi, Bu Ranti memindahkan posisi duduknya di samping Beni dan berbisik. “Maaf ya Nak Beni, mungkin kamu harus mencari waktu yang tepat untuk meminta jawaban Andin soal ini. Kamu kan mengerti sendiri Andin pernah meninggalkan dunia menulis karena suatu hal,” terang Bu Ranti sambil berbisik di telinga Beni.
Beni pun mencoba mengulang kembali dan mengingat kembali memori Andin semasa bekerja magang di media lokal. Masa lalu Andin sangat jelas tergambar di pikiran Beni, hal itu karena seringnya Beni dan Andin dalam meliput suatu acara hingga menyelesaikan sampai tulisannya terbit.
“Oh, masalah tulisan yang akan terbit namun menjadi suatu masalah ya, Te?” Beni mencoba mengingat.
“Nah, benar,” kata Bu Ranti. “Jadi, kamu jangan terlalu memaksa Andin dalam melakukan hal yang berbau redaksi atau tulis menulis lah,” sambung Bu Ranti.
“Baik, Te, akan aku usahakan sebisa mungkin,” balas Beni.
Cekrek.. pintu kamar mandi sudah terbuka dan mengartikan Andin telah selesai dari kamar mandi. Bu Ranti yang tadinya duduk di samping Beni, spontan berpindah posisi ke tempat semula. Ya, di sofa yang satu baris dengan Andin.
“Sudah, Nak?” tanya Bu Ranti basa-basi.
“Sudah, Ma, sepertinya aku ada penyakit diare,” jawab Andin.
“Serius? Sudah lama atau baru-baru saja?” tanya Bu Ranti lagi.
“Entah, kalau sakit ringan seperti itu aku pasti cepat melupakannya,” kata Andin.
Padahal, Andin memang suka sakit perut ketika dalam situasi menegangkan dan tidak nyaman untuk dirinya. Rasa itu sama ketika Andin dimarah-marahin oleh Kinan dan lomba olimpiade. Ya benar, Andin berada dalam situasi menegangkan dan tidak nyaman. “Dasar nih perut, tau aja kalau aku lagi bete dan tidak nyaman sama sekali,” batin Andin sambil memandang perut kecilnya.
Merasa tidak mendapatkan jawaban baik dari Andin, Beni memutuskan untuk pulang.
“Ya udah Tante Ranti, Andin, aku pamit pulang ke rumah dulu ya,” Beni berkata sambil berdiri dan merapikan tas slempangnya.
“Iya, Nak Beni, terima kasih ya sudah mampir ke sini. Sering-sering aja nih temenin Andin biar dia gak kesepian,” kata Bu Ranti.
Andin pun mentoel Bu Ranti, “ih Mama apaan sih, aku bukan orang yang gampang kesepian ya,”
“Masa sih? Bukannya kamu selalu melamun dan tidak punya teman ngobrol?” sambung Bu Ranti.
“Ah, Mama saja yang gak ngerti aku punya teman ngobrol. Teman ngobrolku banyak tau, aku sering menghabiskan waktu curhat kepada mereka,” kata Andin.
“Hmm, Mama gak percaya,” Bu Ranti pun tidak percaya.
“Baik lah, lain hari akan aku kenalkan kepada teman curhatku ya. Jangan kaget kalau dia sangat baik dan bikin aku baper,” Andin pun nyengir. Beni yang juga mendengar pengakuan itu, ikut nyengir karena hal itu tak mungkin terjadi, “Andin punya teman curhat? Kayak tidak mungkin, bukan kah Andin adalah orang yang susah percaya dengan orang lain?” ujar Beni dalam hati.
Beni yang masih berdiri di depan Andin dan Bu Ranti, hanya bisa menyaksikan mereka berdua berbincang. Beni enggan langsung nyelonong ke luar tanpa perintah dari bu Ranti atau Andin. Tak lama, Bu Ranti baru ingat bahwa ada Beni di depannya yang ingin pulang.
“Iya, iya, Eh Nak Beni maaf ya memperlambat kamu pulang ke rumah. Mari, mari,” Bu Ranti menuntun Beni untuk halaman rumah.
Beni menaiki mobil jazz putihnya, Bu Ranti dan Andin dari belakang memandangi pundak Beni hingga memasuki mobil jazz putihnya.
Brum.. brum.. brumm. Mesin mobil Beni menyala dan sekitar sepuluh menit ia mencoba untuk memanasinya dulu. Sedangkan Andin dan Bu Ranti masih setia di depan halaman rumah menunggu Beni pulang.
“Tante Ranti, Andin, aku pulang dulu ya, maaf loh mengganggu waktunya. Terima kasih sudah diterima bertamu untuk hari ini,” kata Beni lewat jendela mobilnya.
“Iya, Nak, jangan sungkan kalau main ke sini. Main aja, lah, Tante juga senang kalau Nak Beni mampir ke sini,” balas Bu Ranti ramah.
“Iya, Kak Beni, tapi kalau mau ke sini telepon dulu ya soalnya aku harus ganti baju,” celetuk Andin.
“Kok malah kamu yang harus ganti baju, sih?” ucap Beni.
“Yak an pasti Kak Beni ke sini mau cari aku kan, makanya aku harus siap-siap ganti baju,” jelas Andin.
“Ih, siapa yang mau cariin kamu? Orang maksud aku ke sini untuk mencari Tante Ranti kok,” cakap Beni sambil melirik Bu Ranti yang berdiri di sebelah Andin.
“Sudah, sudah jangan bertengkar. Kalau sama-sama nyariin dan kangen, bilang aja, gak usah malu-malu kucing. Kucing aja gak malu kok,” canda Bu Ranti.
Andin dan Beni pun saling pandang, dahi mereka menyerit pasca mendengar ocehan Bu Ranti.
“Gak mungkin lah Ma. Aku sudah sering ketemu Kak Beni di ruang redaksi, masa aku kangen? Ya gak mungkin lah,” bela Andin.
“Apalagi aku Te, aku kan sibuk dengan tugas desain segudang, pasti gak ada waktu buat mikirin Andin,” kata Beni yang gak mau kalah.
“Sok sibuk! Kerjaan telat deadline aja kok gaya,” Andin resek menyulurkan lidahnya ke Beni.
“Ah, sudah ya Te, aku pulang dulu, bye!” Beni mengakhiri percakapannya dan menutup kaca mobilnya.
Brum.. brum.. brum.. mobil jazz putih Beni pelan-pelan meninggalkan halaman rumah Andin dan keluar lewat gang utama.