Batal Janjian

1164 Kata
Kring.. kring.. kring.. ponsel Beni yang diletakkan di dashboard mobil berbunyi. Beni yang sedang menyupir itu berusaha mengambil ponselnya. Ponsel Beni terus berdering, di layer ponsel itu terpampang nama, “Naira.” Beni mengangkat telepon itu dengan menggeser tombol hijau ke atas layar. “Halo, Naira,” salam Beni sambil mengemudi. “Iya, halo Beni. Posisi kamu dimana sekarang?” balas Naira. “Aku lagi di jalan, ini sekitar Jalan Patimura Dalam,” kata Beni masih lewat ponsel. “Kira-kira setelah ini tujuanmu kemana? Pulang ke rumahkah?” tanya Naira. “Iya, aku mau pulang ke rumah. Ada apa, Naira?” ucap Beni. “Apakah kamu bisa membelokkan tujuanmu ke Kafe New Born di sekitar Jalan Cut Nyak Dien?” Naira berbicara mulai mengeraskan suaranya. “Kalau boleh tau ada perlu apa, ya? Kok mendadak terus sih kamu kalau ngajakin ketemuan,” kata Beni. “Ini soal media baru yang akan kita buat itu, aku punya cara agar media kita lebih progressif tanpa menghilangkan unsur jurnalisme kritis,” balas Naira. “Hmm, pembahasan bagus nih. Aku juga dari kemarin-kemarin memikirkan cara itu, namun belum ketemu,” “Nah, ini waktu yang tepat untuk kita merencanakan ulang mengenai media yang akan kita buat tadi. Eh iya, gimana tuh dengan kafe yang aku tawarkan tadi. Jadi ketemu di situ, kan?” tanya Naira memastikan. “Wah, tujuan itu lumayan jauh. Aku bakal kejebak macet kalau ke Jalan Cut Nyak Dien,” keluh Beni. “Ada pilihan tempat lain, gak? Ya pokoknya kafe deket sini deh,” tawar Beni. “Duh, aku sudah di kafe New Born sejak dua jam lalu. Aku baru saja memesan lagi es cincau cappuccino,” Naira menolak tawaran Beni. “Ya udah deh, aku kesana tapi memakan waktu satu jam lebih. Apa tidak apa-apa?” “Ya Beni gak apa-apa. Aku tunggu ya, aku ada di meja nomor 33 yang letaknya di lantai dua bagian bilik kanan. Sampai ketemu lagi, Beni,” ucap Naira memberitahu nomor meja yang ia duduki. “Oke, jangan pulang duluan loh ya!” “Yuhu!” Naira dan Beni pun mengakhiri pembicaraannya lewat telepon. Setelah mendapatkan kabar dari Naira tadi, Beni langsung mengambil arah ke kiri untuk memutar balik menuju Jalan Cut Nyak Dien. “Ya semoga saja tidak macet,” gumam Beni sambil meluruskan lagi stir mobil yang baru ia belokkan ke kiri. *** Dan ternyata benar, sebelum sampai ke Jalan Cut Nyak Dien, Beni kejebak macet lantaran sudah memasuki jam pulang kerja para karyawan yang melewati jalan itu. “Duh beneran kan! Macet!” Beni menengok ke luar, “Gilak! Kalau macet kayak gini bisa lima jam aku sampai!” keluh Beni. Sekitar tiga puluh menit kemudian, suasana macet di jalan itu masih tetap sama. Macet dan mobil hanya bisa mengikuti arus tersebut, “bikin mood turun aja kalau kayak gini, apa aku batalin aja, ya?” usul Beni. Pasalnya, macet sejauh lima kilo itu membuat Beni lelah dan ingin segera pulang saja. Disisi lain, Naira berkali-kali melihat jam yang ada di ponselnya dan kembali mencoret-coret kertas putih yang ada di hadapannya. “Udah jam segini mau senja, Beni pun belum juga!” gumam Naira. “Aku telepon aja lah,” batin Naira. Kring.. kring.. kring.. Rupanya Beni sudah menelpon Naira duluan, Naira tersenyum. “Semoga ada kabar baik,” dan langsung mengangkat telepon dari Beni. “Halo, Beni? Sudah sampai mana?” Naira membuka telepon. “Maaf, aku masih berada di Jalan Sahabat Jaya, aku kejebak macet dari tadi,” ujar Beni. “Emangnya sudah dari jam berapa kamu di sana?” tanya Naira. “Sekitar satu jam setengah aku di sini, dan mobil susah sekali bergerak,” jawab Beni. “Hmm, benarkah?” Naira tak percaya. “Percayalah, Naira,” jawab Beni halus. “Tapi, kamu akan kesini dan menempati janji kita, kan?” tanya Naira lagi. Beni menelan ludahnya, ia ingin mengatakan kalau bisa mengganti jadwal di hari lain saja. Namun, apakah Naira tidak marah? “Batalin gak ya? Kasihan juga Naira sudah menungguku sejak tadi,” batin Beni. “Ben, Beni? Kamu dengar suaraku, kan? Bagaimana, aku nunggu kamu loh di sini,” Naira sedikit mengeraskan suaranya di telepon. Beni tertegun. “Maaf sebelumnya Naira, bukannya aku mengingkari janji atau manusia beribu alasan, tapi kondisi macet ini benar-benar membuatku sulit untuk cepat ke sana,” terang Beni. “Jadi?” balas Naira singkat. “Bisakah kita mengundur waktu pertemuan ini, mungkin besok atau besok lusa saja, aku bisa kok,” tawar Beni dengan perasaan tidak enak. Raut wajahnya tergambar jelas menandakan tidak enak karena mengganti kesepakatan yang Naira buat sebelumnya. “Hah? Maksudmu apa? Kamu tega-teganya ya membatalkan janji disaat aku sudah menunggu kamu beberapa jam disini!” sahut Naira yang mulai emosi. “Naira, aku kan sudah bilang kalau kafe New Born itu berisiko kena macet, kamu gak percaya sama aku sih dari awal,” kata Beni. “Parah kamu ah!” ucap Naira. “Maaf deh maaf, lagian kalau kita memaksa untuk bertemu, pasti aku juga tidak konsen karena kecapean nyetir waktu macet,” jelas Beni. Tut.. tut.. tut.. Tiba-tiba telepon Naira dan terputus. “Wah, pasti Naira marah nih ya,” Beni berdecak. “Apa aku salah ya membatalkan janji? Tapi kan situasinya kayak gini, dasar wanita!” gumam Beni. Beni mencoba menelpon Naira kembali, namun operatorlah yang menjawab telepon itu, “nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, silahkan hubungi beberapa saat lagi,” begitulah kata operator. Beni kesal, ia memukul stir mobilnya. “Ah, aku paling tidak suka punya masalah sama Naira, dia susah sekali memaafkanku,” cakap Beni. “Hmm, mungkin ini karena kesalahan yang kuperbuat kepadanya dua tahun lalu,” Beni mencoba menerka-nerka. Di kafe New Born, Naira mengetuk-ketuk layar ponselnya yang menghitam. Dipencetnya tombol “kunci on” dan ternyata tidak bisa. “Ah, kenapa juga baterainya drop!” kesal Naira. Naira membuka tasnya dan mencari charger untuk ponselnya. “Sialan! Lupa bawa lagi,” Naira tambah kesal. Naira langsung mematikan laptopnya yang masih menyala dan dimasukkan ke dalam tas ranselnya. Begitupun ponselnya, langsung ia taruh di sisi kanan dalam tasnya. “Pulang aja ah, makin badmood kalau begini urusannya,” keluh Naira. Usai barang-barang Naira diletakkan di dalam tas, Naira beranjak dari tempat duduknya dan membayar pesanan yang telah ia beli sebelumnya. Naira masuk ke dalam mobilnya dengan raut wajah tak bersemangat dan penuh dengan emosi. *** “Ya sudahlah, besok-besok aku harus membuat Naira senang lagi, gimana pun juga projek media baruku ada di tangannya,” kata Beni. Sekitar dua jam lebih, Beni baru terbebas dari kemacetan yang membosankan itu. Ia langsung menuju ke alamat rumahnya untuk beristirahat. Sesampainya di rumah, Beni mengirimkan banyak sekali chat permintaan maaf ke Naira. “Naira, aku minta maaf ya,” “Aku tau aku salah, lain kali aku tidak akan membatalkan janji kita,” “Naira, jikalau kamu marah, besok aku traktir mi ayam jamur kesukaanmu ya,” “Gak apa-apa kamu tidak mau membalas chatku, yang pasti aku tidak berniat untuk membuatmu marah,” Begitulah beberapa chat Beni yang mulai membanjiri kolom chat milik Naira. Teng.. teng.. teng.. ponsel Naira yang sudah terisi 3% baterai mengeluarkan suara pertanda ada chat masuk di whatsappnya. Nama Beni berkali-kali muncul di layar ponselnya. Naira tersenyum kecil. “Beni, beni, maafkan ya bukannya aku marah, tapi bateraiku tadi habis,” kata Naira nyengir. Namun, Naira tidak membalas chat itu. “Naira, kamu dimana?” Beni mengirimkan lagi chat ke Naira. Naira tidak membalas lagi lantaran badannya lengket dan dirasanya sudah kotor. Oleh karena itu, Naira segera bergegas ke kamar mandi untuk membasuh dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN