Keesokannya harinya, Kinan dibantu oleh Pak Leon menyebarkan selembaran yang bertuliskan, “lowongan kerja.” Lembaran demi lembaran mereka sebar di beberapa titik ibukota dan ditempel di beberapa mading yang berada di jalanan.
“Pak, apakah kita perlu menyebarkan informasi perihal lowongan kerja ini di media sosial atau secara daring, begitu?” tawar Kinan disela-sela istirahatnya.
Pak Leon berpikir sebentar, “boleh, kamu bisa meng-handle-nya, kah?” balas Pak Leon.
“Bisa saja sih, Pak, gampang aja kok urusan itu,” Kinan bicara enteng.
“Baik, besok langsung kamu sebar saja lewat aplikasi pencari lowongan kerja secara daring. Dan tolong pastikan benar-benar merekrut karyawan yang kompeten dan bisa diandalkan,” pinta Pak Leon.
“Siap dilaksanakan, Pak Leon! Berapa lama kita buka lowongan ini, Pak?” tanya Kinan.
“Tiga hari saja, apakah cukup?” jawab Pak Leon.
“Bisa!” Andin menegaskan.
Kinan dan Pak Leon sibuk mencari pengganti Beni dan Naira di posisi awak redaksi. Rupanya, sampai lowongan itu pun ditutup, beratus-ratus pelamar kerja berminat untuk menempati posisi kosong itu. Banyak juga pelamar yang berlatar belakang jurnalis dan ilmu komunikasi. Kinan tersenyum melihat antusias orang-orang untuk menjadi bawahannya.
“Ahahaha, kalau punya bawahan beratus-ratus gini kayaknya enak ya, kerja jadi lebih ringan dan berita pasti lancar terus,” gumam Kinan sambil melihat satu per satu pelamar yang data dirinya masuk.
“Kinan, lowongan pekerjaan pengganti Beni dan Naira sudah ditutup. Apakah kamu sudah menemukan karyawan yang cocok untuk membantu pekerjaanmu di redaksi?” tanya Pak Leon ketika tau Kinan sedang mengecek data diri pelamar.
Kinan menggeleng menjawab pertanyaan itu, “maaf Pak Leon, aku belum menemukan yang cocok dan srek di hati,” sambung Kinan.
Pak Leon mengangguk, “semoga cepat menemukan karyawan yang cocok ya. Oh ya, aku tinggal dulu mau meeting,” balas Pak Leon.
“Silahkan, Pak,” pungkas Kinan.
***
Hari pun berganti menjadi malam hari, Andin yang sedang di dalam kamar tidurnya duduk manis di atas tempat tidurnya. Kakinya disilahakan dan memeluk guling yang ada satu-satunya di kamarnya. Andin memandang ke arah jendela, dan melihat pula bintang-bintang yang bersinar terang malam itu.
“Hai bintang-bintang yang indah, bisa kah kamu membantu aku untuk memutuskan sesuatu?” tanya Andin pada bintang.
Dan tepatnya, bintang itu tidak menjawab. “Kabarkanlah aku lewat mimpi,” balas Andin.
Pada malam itu, Bu Ranti menghabiskan waktunya dengan menonton acara dangdut di salah satu stasiun TV swasta. Lambat laun, kedua mata Bu Ranti terbius akan kekantukan pada malam itu.
“Sudah jam berapa nih, kok kayaknya ngantuk banget,” seru Bu Ranti yang langsung menengok ke arah jam dinding.
Bu Ranti terbelalak mengucek kedua matanya, “loh, ternyata baru jam delapan malam. Kok kayaknya sepi banget ya, mana Andin dari tadi gak keluar dari kamarnya hmm,” lanjut Bu Ranti.
Bu Ranti pun berniat mengintip Andin di dalam kamarnya. Rupanya Andin masih berposisi duduk seperti tadi, menyilakan kedua kakinya dan menghadap ke arah jendelanya yang terbuka.
Tok... tok.. tok... Bu Ranti memutuskan mengetuk pintu kamar Andin. Andin pun terbuyarkan lamunannya, dan bergegas membukakan pintu kamarnya.
“Eh, Mama, ada apa Ma ngetuk pintu kamarku?” respon Andin setelah tau Bu Rantilah di balik pintu itu.
“Gak apa-apa, Nak, kamu lagi ngapain? Kok gak keluar-keluar kamar, sih?” tanya Bu Ranti.
Andin menggaruk kepalanya yang tak gatal, “hehe, cuma mau di dalam kamar aja kok Ma, sambil mi—“ ucap Andin yang langsung dipotong Bu Ranti. “Sambil mikir tentang jurusan kuliah, maksudmu?” Bu Ranti seperti bisa membaca pikiran Andin.
“Kok Mama bisa tau, sih?” Andin nyengir.
“Iya tau dong, namanya juga naluri,” Bu Ranti tersenyum. “Naluri Mama dan anak kesayangannya ini,” bisik Bu Ranti yang membuat Andin ikut tersenyum.
“Sini, sini Nak, Mama bantu untuk mikir ya,” Bu Ranti menarik tangan Andin dan duduk bersama di atas tempat tidur Andin. Andin pun mengikuti langkah Bu Ranti.
“Andin, kamu masih belum mantap di bagian mananya? Mungkin Mama bisa memberimu masukan,” ujar Bu Ranti.
Dengan perasaan yang tenang, Andin memantapkan diri untuk berterus terang dan curhat kepada Bu Ranti tentang jurusan kuliah. Dalam hati Andin, masih banyak perasaan galau dan tak dapat memutuskan sesuatu.
“Ma, sejujurnya aku ingin mewujudkan mimpi Mama yaitu aku sebagai ilmuan di bidang Kimia,” Andin bicara duluan.
“Sungguh? Terus, apa kamu masih ragu dengan hal itu?” balas Bu Ranti.
Andin mengiyakan. “Iya, Ma, keraguanku hanya sebatas mampukah aku berjuang di Kimia selama 4 tahun lamanya?”
“Tentu bisa, Nak. Apa kamu tidak yakin pada dirimu sendiri? Atau, apa kamu tidak mengenali potensimu yang sebenarnya mampu berjuang di bidang Kimia?”
“Akan aku coba untuk hal itu,” Andin menunduk.
“Nak, Mama memang sangat menginginkanmu di jurusan Kimia, tetapi semuanya terserah di kamu, lah,” balas Bu Ranti.
“Kalau semisal nih akhirnya aku ingin masuk ke jurusan ilmu komunikasi, apa tanggapan Mama?” tanya Andin.
“Tidak masalah. Mama akan mencoba menerima pilihanmu, toh kuliah itu kan kamu yang menjalani,” jawab Bu Ranti bijak.
“Doain aku ya Ma, semoga pilihan jurusanku suatu saat nanti tidak mengecewakan Mama dan dapat aku selesaikan dengan baik dan tanpa tertekan,” ucap Andin.
“Iya, Andin, ini saatnya kamu memutuskan hal yang kedepannya sangat berdampak besar untuk dirimu,” tegas Bu Ranti.
Andin yang puas dengan jawaban Bu Ranti pada malam itu, spontan memeluk tubuh Bu Ranti yang duduk di depannya. “Terima kasih Ma, sudah mau menjadi teman curhatku setiap hari dan sampai kapan pun,” bisik Andin.
“Sama-sama, Nak, kamu tak usah ragu untuk berkeluh kesah bersama Mama. Mama selalu siap mendengar dan memberi masukan. Mama sayang banget sama kamu,” balas Bu Ranti berbisik pun.
“Andin juga sayang kok sama Mama,” pelukan antara Andin dan Bu Ranti pun semakin erat. Malam yang dingin itu seolah menjadi hanget penuh cinta.
Bintang-bintang di langit itu semakin terang, Andin melepas pelukan itu dan mengajak Bu Ranti menatap bintang yang tersebar indah di atas langit.
“Ma, coba lihat itu,” Andin menunjukkan bintang yang nampak dari jendela kamarnya.
Bu Ranti memandang ke arah jendela pula, “cantik ya, kayak anak Mama yang satu ini,” Bu Ranti mentoel dagu Andin.
“Hmm, Mama gombal deh,” Andin balas mentoel dagu Bu Ranti. “Ke sana yuk Ma,” Andin menunjuk dua kursi kosong yang ada di dekat jendela. Bu Ranti dan Andin duduk di kursi itu.
“Ma, seandainya bintang bisa mengabulkan satu permintaan, Mama mau minta apa?” tanya Andin.
“Apa ya, kayaknya akan banyak permintaan deh, hehehe,” jawab Bu Ranti.
“Satu aja, Ma....” Andin menegaskan.
“Oke deh, Mama minta—“ Andin langsung memotong ucapan Bu Ranti. “Sttttt, di dalam hati aja Ma mintanya, jangan sampai aku tau,” pinta Andin.
“Oh, iya deh,” seru Bu Ranti. Bu Ranti pun menutup kedua matanya, menarik napas dan menghembuskannya. “Ya Tuhan, berikanlah kebahagiaan yang melimpah untuk aku dan Andin, dalam hal apa pun itu,” ucap Bu Ranti dalam lubuk hatinya yang terdalam.
Andin juga menutup kedua matanya dan berharap besar. “Ya Tuhan, jagalah aku dan Mama, berilah kami kesehatan dan terus berada di jalan-Mu,” mohon Andin dalam hati.
***
Seperti biasanya, Andin melewati koridor sekolah untuk mencapai ke ruang kelasnya sendiri. Hanya kurang tiga langkah lagi, Bu Della pun memberhentikan langkah Andin.
“
Din, Andin! Berhenti dulu sebentar,” Bu Della tampak tergesa-gesa untuk memberhentikan Andin. Melihat Bu Della, Andin otomatis berhenti.
“Iya, Bu Della, kenapa ya?” tanya Andin heran.
“Ibu minta data diri kamu sebentar, dong, bisa ikut ke ruangan Ibu?” jawab Bu Della.
Andin tak langsung menjawab iya atau tidak, “maaf Bu, kira-kira bisa sewaku istirahat tidak, sebentar lagi masuk dan pelajaran Pak Anton,” ujar Andin.
“Ah, gak apa-apa Din, kamu izin saja dulu sebentar,” pinta Bu Della.
“Maaf Bu, bukannya gak mau izin sih, kan Ibu tau sendiri kalau Pak Anton paling gak boleh muridnya izin kalau tidak kondisi darurat,” ucap Andin.
“Jadi kamu takut izin, nih?”
“Hehehe, iya.” Andin mengiyakan.
Tak lama kemudian, bel masuk sekolah sudah berbunyi dan artinya pelajaran akan segera dimulai. Pak Anton yang terkenal sebagai guru paling disiplin dan tidak pernah telat masuk ke kelas, ternyata sudah ada di belakang Bu Della dan Andin.
“Permisi, saya mau lewat,” ucap Pak Anton menurunkan kacamata silindernya.
“Eh Pak, maaf,” Bu Della segera menarik Andin dan memberi Pak Anton jalan.
“Pak, pak, maaf, saya minta izin ke Pak Anton untuk Andin ya Pak, karena sekolah sedang pendataan siswa dan siswa berprestasi untuk didaftarkan ke perguruan tinggi,” tak ada basa-basi, Bu Della langsung meminta izin ke Pak Anton.
“Oh, Andin menjadi salah satu siswa dan siswi yang berprestasi itu, ya?” balas Pak Anton.
“Iya, Pak benar. Boleh ya Pak saya membawa Andin sebentar ke ruangan saya untuk mengisi data diri?” mohon Bu Della sekali lagi.
“Oh iya, tidak masalah. Tapi jangan lama-lama ya,” akhirnya Pak Anton memberi izin.
“Terima kasih, Pak Anton, tidak lama-lama kok Pak,” ucap Bu Della.
“Terima kasih, Pak,” ujar Andin sambil menunduk.
“Ya sudah, saya mau masuk ke kelas dulu untuk mengajar,” kata Pak Anton yang kemudian meninggalkan Bu Della dan Andin di koridor sekolah.
Setelah mendapat izin dari Pak Anton, Bu Della dan Andin cepat-cepat menuju ruang guru. Sesampainya di sana, Bu Della mengeluarkan formulir untuk diisi oleh Andin.
“Din, tolong isi data ini dulu ya,” Bu Della menyodorkan kertas formulir bersama bolpoin juga.
Andin membaca judul formulir “data diri siswa dan siswi berprestasi” dan mengisinya sesuai petuah dari formulir itu. Selang lima menit kemudian, Andin selesai mengisi seluruh data diri tentang dirinya.
“Sudah, Bu,” Andin mengembalikan bolpoin dan formulir yang sudah terisi.
“Oh ya, ini diminta menentukan jurusan untuk seleksi ke perguruan tinggi, apa kamu sudah mengetahui jurusan apa yang mau kamu ambil?” tanya Bu Della, yang sulit untuk dijawab Andin.
Andin sontak menunduk, “maaf Bu, belum,” lirih Andin.
“Loh? Ibu pikir kamu mantap dengan jurusan Kimia yang selama ini kan kamu kompeten di mata pelajaran itu,” balas Bu Della.
“Ya, aku memang lumayan bisa di mata pelajaran Kimia Bu, hanya saja kesukaanku dengan menulis khususnya jurnalis itu yang membuatku galau,” terang Andin.
“Oh jadi ceritanya ini kamu galau ya mau memilih Kimia atau ilmu komunikasi?” Bu Della seperti bisa mengetahui maksud Andin.
Andin pun mengangguk tanpa berkata.
“Kalau boleh Ibu tau, kedepannya nanti kamu mau bekerja di bidang apa, Din?” tanya Bu Della.
“Pengennya di industri minyak, Bu, dan bekerja di dalam laboratorium,” balas Andin.
“Nah, bukankah dari situ sudah terlihat bahwa ambisimu kedepannya adalah menjadi seorang analis Kimia?”
“Iya, tapi untuk jurnlis kan em—“
“Untuk jurnalis sendiri, bisa kamu pelajari dimana pun. Kamu bisa mengikuti organisasi dalam maupun luar kampus yang berbau jurnalistik. Itu sangat banyak sekali dan kamu bisa mendapatkan channel yang lebih luas lagi,” terang Bu Della.
“Kalau ikut organisasi saja, apakah efektif untuk menyerap ilmu itu, Bu?” Andin ragu.
“Jelas efektif, itu tergantung kamu saja. Yang penting kamu bisa menyeimbangkan antara jurusanmu di kampus dan organisasi. Istilahnya sih kamu dapat dua ilmu gitu, Kimia dan jurnalistik,” jelas Bu Della.
Mendengar wejangan itu, Andin lebih berpikir dalam lagi dan menelaah secara perlahan. Dari dalam diri Andin, ia menganut pribahasa, “sambil menyelap minum air.” Lantas, pilihan manakah yang akan Andin pilih untuk jurusan kuliahnya?