“Nai, bener apa yang kamu katakan, di dalam surat itu berisi pemecatan karyawan redaksi, hahaha,” Beni mengirimkan chat lewat w******p ke Naira.
“Nah kan, apa aku bilang. Berarti nasib kita di hari ini sama, sama – sama apes ya,” balas Naira.
Beni melemparkan surat itu ke dalam tong sampah setelah selesai ia baca. Kemudian, Beni bersiap-siap untuk pergi ke rumah Naira. Karena masih baru banget bangun tidur, Beni pun memakai pakaian seadanya untuk ke luar rumah.
“Kamu sibuk gak? Aku sekarang mau on the way ke rumahmu nih,” chat Beni lagi ke Naira.
“Hmm gak sih, aku cuma belum sarapan aja. Kalau mau ke sini sekarang, silahkan,” balas Naira.
“Oke deh, pintu rumahnya jangan dikunci ya, sekalian bilang ke ibumu kalau aku mau dateng,” kata Beni.
“Hah? Kenapa harus bilang ke ibu aku, coba? Ibu aku loh gak peduli kamu mau datang atau enggak,” cerca Naira.
“Iya deh, iya, aku berangkat ya,” Beni pun mengakhiri chatnya bersama Naira.
Ngengggg.. ngeng.. ngeengg.. mobil Beni kali ini melaju dan disengaja lebih kencang dari biasanya. Untungnya saja pada pagi itu, jalanan masih bersahabat yang artinya kemacetan belum hinggap di jam tersebut. Ya, yang biasanya untuk sampai ke rumah Naira butuh waktu sekitar dua puluh menit, kini diskon lima puluh persen, alias berhasil lebih cepat setengah dari biasanya.
“Bu, sudah habis nih makananku,” seru Naira mengelap bibirnya dengan tisu di depannya.
“Kok cepat banget makannya, Nai? Kamu habis ini mau ke luar, kah?” tanya Bu Ari yang memerhatikan cara makan Naira yang terlihat cepat.
Naira menggeleng, “gak kok, ada Beni sudah datang tuh di luar,” balas Naira. Riuh suara mobil memang terdengar sampai ruang makan tempat Bu Ari dan Naira sarapan. Emang dari dasarnya Bu Ari itu kurang suka sama Beni, Bu Ari sinis membalas respon Naira.
“Oh jadi karena dia, ya? Kayak mau ketemu siapa aja,” sinis Bu Ari.
“Ih Ibu, wajahnya kenapa tiba-tiba kusut gini, coba?” Naira menggapai wajah Bu Ari yang tampak mengusut.
“Gak, gak apa-apa kok, sana sudah temui Beni si mantan kamu itu,” balas Bu Ari tanpa melirik ke arah Naira.
“Ah Ibu, Ibu cemburu ya? Bener yaaaa?” rayu Naira sambil mentoel dagu Bu Ari yang lancip.
Bu Ari menggeleng, “ngapain coba cemburu? Emangnya Ibu kayak anak sekolah menengah atas yang baru pacaran apa? Yang dikit-dikit langsung cemburuan,” balas Bu Ari.
“Hmm, benar apa benar?” Naira merayu sekali lagi. “Ho oh, Nai,” singkat Bu Ari.
Selang beberapa menit kemudian, wajah Bu Ari tampak semula seperti biasanya. “Ya udah kalau memang Ibu gak ada cemburu-cemburu gitu, aku nyamperin Beni dulu ya di depan,” izin Naira.
Namun, Bu Ari tidak merespon dan melanjutkan untuk menikmati makanan yang ada di atas piringnya. Naira mendengus. Tidak enak dengan Beni yang sudah terlalu lama menunggu di depan rumah, Naira langsung berdiri dan menuju ruang tamu untuk membukakan pintu.
Ceklek.. “Dorrrrr!” Beni mengagetkan Naira yang baru saja membukakan pintu untuknya.
“Heh!” balas Naira.
“Kaget ya? Sama! Pagi ini aku benar-benar kaget sekali,” Beni spontan tertawa.
“Pasti karena kamu resmi menjadi pengangguran, ya? Ngaku deh!” todong Naira, membalas tawaan Beni.
Beni mengangguk, “ah kamu jangan sok ketawa-ketiwi gitu lah, kamu kan juga resmi menyandang perempuan tanpa pekerjaan, hahaha,”
Beni dan Naira pun menertawakan isi surat pemecatan itu. Menurut mereka, apakah ini mimpi buruk di pagi hari?
“Eh eh, kamu ketawa kayak gitu, sebenarnya sedih gak sih?” bisik Naira, diam-diam supaya Bu Ari tidak mengetahui.
“Entah ya harus sedih apa senang. Soalnya nih ya, senangnya itu aku sudah tidak terkungkung dalam perintah Kinan yang sok perfect itu dan dikejar dateline yang tidak masuk akal,” bisik Beni kembali.
“Lah terus, sedihnya gak ada dong?” tanya Naira.
“Ya ada lah! Sedihnya itu ya gak ada pemasukan lagi tiap bulan, dan aku pun sudah tidak bisa mentraktir kamu dan Andin kalau meeting di luar, hahaha,” tawa Beni pecah lagi.
Naira dan Beni menertawakan nasibnya lagi pagi ini, resmi menjadi pengangguran, “hahahaha,” koor Naira dan Beni.
“Ehem,” suara perempuan berdehem terdengar dari belakang Naira, dan itu Bu Ari.
Naira dan Beni terkejut dan takut jika Bu Ari mendengar pembicaraan mereka serta mengetahui kalau mereka berdua baru saja dipecat dari kantor.
“Eh, Bu, ada apa Bu? Sudah dari ta—“ ucapan Naira belum sempat kelar. “Kalian baru saja dipecat tadi pagi?” Bu Ari langsung menodong pertanyaan keramat ke Naira dan Beni.
Beni dan Naira saling menatap, mata mereka berdua seolah mengisyaratkan untuk menyembunyikan rahasia memalukan itu.
“Gimana, Naira, Beni? Tolong jawab pertanyaan saya!” Bu Ari bertanya sekali lagi dan memandang Naira serta Beni satu per satu.
“Hehehehehe,” Naira dan Beni bersamaan membalas pertanyaan itu dengan senyuman hingga gigi putih mereka terlihat.
***
“Andin, kamu sedang apa? Mencari informasi tentang perkuliahan atau—“ Bu Ranti menghampiri anak semata wayangnya di dalam kamarnya. Bu Ranti langsung menjeda ucapannya setelah mengetahui kalau Andin sedang menulis transkip wawancara.
Bu Ranti tidak langsung keluar dari kamar Andin, malahan Bu Ranti duduk di atas tempat tidur Andin yang sudah rapi dibersihkan dan berada di belakang Andin sekarang.
Bu Ranti menatap anaknya itu dengan rinci, “Andin, hobi kamu benar-benar baik, Nak, menulis suatu kebenaran tanpa membohongi publik. Akan tetapi, Mama takut jika apa yang kamu lakukan sekarang ini tidak memiliki dampak besar kedepannya. Dalam hati terdalam Mama, Mama ingin kamu tetap menjadi ilmuwan seperti passion kamu sebenarnya di bidang Kimia,” unek-unek Bu Ranti seolah berbicara lembut kala itu. Namun, Bu Ranti memilih diam hingga Andin selesai asyik dengan kesibukannya.
“Mama?” kejut Andin setelah tau Bu Ranti sedang duduk di atas tempat tidurnya.
“Sudah selesai, Andin?” tanya Bu ranti lembut.
“Loh? Mama dari tadi sudah di dalam sini? Kenapa gak negur Andin, Ma?” Andin merasa tidak enak telah mengabaikan Bu Ranti.
“Mama sudah negur kamu, Nak, mungkin karena kamu terlalu fokus, jadinya tidak mendengar apa yang Mama katakan,” Bu Ranti tersenyum.
“Maaf, maaf ya Ma, Andin benar-benar minta maaf, ya,” mohon Andin, yang langsung duduk di samping Bu Ranti.
“Ngomong-ngomong, ada apa Ma?” tanya Andin.
“Mama mau bertanya, apa kamu menikmati sekali dengan hobimu saat ini sebagai jurnalis?” jawab Bu Ranti yang rupanya melempar pertanyaan.
Andin menunduk, “sepertinya begitu, Ma, Andin minta maaf juga belum bisa fokus untuk memperdalam ilmu Kimia Andin,”
Bu Ranti mengelus rambut Andin, “Nak, Mama selalu mendukung apapun yang kamu lakukan, asal itu baik untuk dirimu dan di sekitarmu. Jika itu malah membahayakan, Mama minta tolong kamu berpikir ulang atas apa yang sedang kamu lakukan,” nasihat Bu Ranti.
“Iya, Ma, aku sudah tau kok mana jalan yang harus aku ambil dan aku pun tau bagaimana tanggung jawabku,” respon Andin.
“Bagus, makin lama Mama makin senang sama kamu, karena kamu mampu memilah dan bijak dengan keputusanmu,” Bu Ranti melemparkan senyum lagi.
“Sebentar lagi kamu masuk untuk menggali pendidikan lebih dalam lagi, yaitu ke perguruan tinggi. Bagaimana persiapanmu, Nak?” tanya Bu Ranti.
Pertanyaan itu membuat Andin merasa kecewa pada dirinya sendiri. “Aku tidak bisa berpikir jernih untuk menempuh pendidikan ke perguruan tinggi, Ma,” balas Andin yang semakin tidak enak menanti respon Bu Ranti.
Bu Ranti memasang wajah lesu pasca mendengar itu. Andin yang juga melihat wajah Bu Ranti yang seperti demikian, dalam hatinya timbul rasa menyesal, “duh, kayaknya aku salah ngomong nih, pasti Mama bakal kecewa berat sama aku terus gak mau negur aku,” negatif thinking mulai merasuk pikiran Andin.
“Wajar saja, kamu ini istilahnya masih dalam masa transisi untuk menentukan masa depanmu sendiri. Mama harap, kamu mempersiapkan apa yang menjadi pilihanmu di masa yang akan datang. Dan, kamu harus memilih hal itu dari lubuk hati kamu yang terdalam,” ucap Bu Ranti.
Andin yang semula takut dimarahi, seketika pikiran itu lenyap begitu saja. Rupanya Bu Ranti menyikapi perkataan Andin dengan hati lapang, bukan dengan amarah yang meronta-ronta.
“Terima kasih, Ma, beri aku beberapa waktu untuk memikirkan hal itu,” minta Andin.
“Sampai kapan, Andin? Dua bulan lagi sudah Ujian Akhir Nasional alias UAN, ini bukan waktu yang tidak lama untuk kamu,” tegas Bu Ranti.
“Iya, Ma, aku akan mengusahakan untuk meluangkan waktu memikirkan hal itu. Toh, aku juga tidak ingin masa depanku salah langkah,” balas Andin yang membuat Bu Ranti kembali tersenyum.
“Baik, Nak. Oh ya, maaf ya Mama mengganggu waktumu menulis. Silahkan dilanjutkan saja,” sila Bu Ranti.
“Udah Ma, tugas aku hari ini hanya mendengar hasil wawancara kemudian dituliskan di laptop. Sudah,” ungkap Andin.
“Lalu, setelah ini kamu mau ngapain?” tanya Bu Ranti.
Andin menopang dagunya, kedua matanya mengarah ke langit-langit kamarnya untuk mencari jawaban atas pertanyaan itu.
“Hmm, membahas soal perkuliahan bersama Mama, gimana?” pinta Andin yang membuat Bu Ranti terkejut, “loh, katanya mau dipikirkan nanti saja, pikiranmu kan masih kurang jernih tuh katamu,” Bu Ranti heran.
“Ya semoga saja pikiranku yang tadinya kurang jernih itu bisa menjadi jernih setelah mendengar petuah dari Mama,” Andin menyeringai.
“Andin, bukannya Mama tidak yakin atau tidak pecaya dengan kamu, namun Mama mau kamu memikirkan itu ketika betul-betul niat, jangan hanya karena Mama yang mendesak,” ujar Bu Ranti.
“Gak kok, Mama gak mendesak sama sekali. Itu kan memang permintaanku,”
Bu Ranti memeluk Andin erat. Keduanya merasakan hangat pelukan yang indah. Seorang Mama dan anak yang memiliki cinta kasih selamanya, diungkapkan lewat pelukan.
***
Kinan mempercepat langkahnya menuju ruang Pak Leon. Sudah lebih dari tiga puluh menit, Pak Leon membuat janji kepada Kinan untuk membahas perihal perekrutan karyawan baru.
“Pak Leon, maaf Pak saya agak terlambat,” Kinan memasuki ruangan Pak Leon.
“Kok bisa telat? Kamu jangan bikin alasan macet lagi, ya,” wanti-wanti Pak Leon.
“Bukan, Pak, tadi saya lama mencari alamat dari Beni karena alamatnya kurang jelas sekali,” jelas Kinan. Pak Leon mengangguk. “Duduk di situ, Kin,” Pak Leon menunjuk kursi kosong yang ada di hadapannya.
“Bagaimana strategi kamu kedepannya, apakah kamu bisa mengatur seluruh tugas redaksi hanya bersama Wendi?” Pak Leon membuka pembahasan.
Kinan menaikkan ujung bibirnya, “sepertinya sangat tidak mampu untuk melakukan itu Pak, melihat kerja Wendi selama ini yang sangat lamban,” jawab Kinan.
“Lalu, kira-kira kamu butuh berapa banyak orang lagi untuk menemanimu?”
“Dua saja, Pak. Ya untuk menggantikan posisi Beni dan Naira seperti diawal,”
“Kapan kita bisa memulai buka lowongan kerja?”
“Besok,” balas Kinan mantap.
“Kalau begitu siapkan brosurnya dan panggil tenaga bantuan untuk menyebarkan lowongan kerja tersebut,” balas Pak Leon.
“Siap!” ucap Kinan tegas.
“Kamu tau kan kriteria apa saja yang dibutuhkan untuk mengisi posisi kosong itu?”
“Iya, lulusan jurnalistik, mampu bekerja dengan target, pekerja keras, dan mau diajak lembur, haha,” ucap Kinan dengan sedikit lelucon.
“Jangan lupa Kinan, ada satu hal yang paling penting,” Pak Leon menyipitkan matanya dan menunjukkan jari telunjuknya ke Kinan.
“Tidak memiliki media lain yang ingin menusuk dari belakang,” ungkap Kinan berbisik.