Unfocuss

1338 Kata
Andin tampak terdiam beberapa saat setelah Bu Aira memberi sebuah petuah. Namun, Andin belum juga menemukan keputusan yang tepat untuk dirinya. “Bagaimana, Andin?” tanya Bu Aira yang melihat Andin tidak mengucapkan apa pun. Andin memincingkan senyumnya, “entah ya Bu Ai, saya masih belum mantap untuk menjawabnya, karena ini berhubungan dengan perjalanan pendidikan saya kedepannya,” balas Andin. Bu Aira memaklumi dengan berkata, “baik lah kalau kamu masih belum bisa memilihnya. Tapi, sampai kapan Ibu harus menunggu jawaban dari mu, Andin?” kata Bu Aira. “Besok lusa, gimana Bu?” Andin menawarkan. Bu Aira mengangguk, “oke deh, besok lusa kamu temui Ibu di ruangan ini lagi,” Bu Aira pun menyetujui. Kemudian, Bu Aira merapikan kembali formulir yang masih ada di atas meja. “Awas kalau kamu lupa atau sengaja melupakan untuk menyetor jurusan kuliah,” Bu Aira memperingatkan. “Hehehe, tenang aja lah, Bu,” Andin mengacungkan jempolnya sambil nyengir. “Ya udah, kamu cepat kembali ke ruang kelas kamu karena Pak Anton sudah menunggumu, tuh. Tadi kan izinnya juga tidak lama,” ucap Bu Aira, Andin pun baru ingat kalau Pak Anton mengajar untuk pagi ini. “Oh iya, Bu, saya hampir lupa. Baik lah, saya langsung ke kelas aja nih ya Bu, terima kasih atas waktunya ya Bu, dan selamat pagi,” Andin langsung ke luar dan menuju ke kelasnya. Tiga puluh menit pun berlalu, pelajaran Matematika berjalan lancar seperti biasanya. Ya, walaupun ada beberapa siswa yang masih belum paham, tapi raut wajah mereka seolah paham dan mengerti apapun yang dijelaskan oleh Pak Anton. Sama juga halnya dengan Andin, yang sedari tadi sudah memperhatikan Pak Anton menerangkan dengan panjang lebar, akan tetapi otaknya tidak mampu menerima itu. “Duh, kenapa ya ini dengan otakku, kok penjelasan segitu banyaknya gak ada satu pun yang bisa aku pahami,” gerutu Andin dalam hati. Posisi duduknya pun gelisah dan kedua kaki Andin tidak berhenti mengetuk. Seketika, di dalam benak Andin semakin berputar-putar dan terulang lagi tentang ucapan yang dilontarkan Bu Aira tadi pagi. Wejangan-wejangan yang diberikan Bu Aira untuk Andin, memberi sudut pandang baru bagi Andin. “Jadi kamu pilih yang mana, jurusan ilmu komunikasi atau kimia?” pertanyaan itu terus ada di pikiran Andin. Makanya, pelajaran yang diajarkan Pak Anton pada saat itu pun seperti mental saja tidak bisa masuk ke otak Andin. “Bagaimana anak-anak semua, apakah sudah mengerti tentang materi yang baru saja saya terangkan ini?” tanya Pak Anton merata ke seluruh anak di kelasnya. “Sudah, Pak,” koor beberapa siswa saja. “Loh, kok yang menjawab hanya Reni dan Fatma? Bagaimana ini yang lainnya?” Pak Anton kembali menatap satu per satu siswa atau siswi di kelas itu. Selain dua siswi yang menjawab tadi, tidak ada satu pun lagi jawaban dari penghuni kelas lainnya. Para siswa dan siswi yang ada di kelas itu hanya membisu dan memasang raut wajah yang tersenyum lebar. “Wah, wajah kalian pada berseri semua nih, pasti artinya kalian semua paham sedalam-dalamnya mengenai materi ini,” ucap Pak Anton. Pak Anton mengangguk puas, “kalau begitu saya akan memberi kalian pertanyaan dan saya akan memanggil acak untuk menjawabnya,” ucap Pak Anton. Pak Anton langsung membalikkan badan ke arah papan tulis dan mulai menuliskan pertanyaan menggunakan spidol hitam yang sudah tersedia di raknya. Sembari Pak Anton menuliskan beberapa pertanyaan untuk dijawab, siswa dan siswi lainnya yang duduk di kursi semakin menunjukkan gelagat gelisah. Raut wajah mereka terlihat pucat dan menatap satu sama lain. “Kamu ngerti?” tanya salah satu siswi ke Andin. Andin menggeleng. “Emangnya kamu gimana, ngerti?” tanya Andin ke siswi lainnya. Dan, semuanya memberi respon yang sama seperti Andin, yakni hanya menggeleng. “Baik ya, setelah ini saya panggil acak untuk menjawab pertanyaan yang sudah saya tuliskan di papan tulis,” pinta Pak Anton yang mulai membuka buku presensi yang isinya ada seluruh daftar nama siswa dan siswi. Hampir sebagian besar siswa dan siswi di situ makin gelabakan di dalam hatinya, walau mereka sangat menunjukkan gelagat yang biasa-biasa saja. “Semoga bukan aku yang dipanggil Pak Anton untuk mengerjakannya. Aku gak ngerti sama sekali, nih!” wajah Andin malah berubah menjadi pucat. Satu, dua, dan tiga…… “Andin, silahkan maju ke depan untuk menjawab pertanyaan di atas,” tak disangka, Pak Anton memanggil Andin. Andin terkejut namanya betul-betul dipanggil Pak Anton. Andin melirik ke sekelilingnya, seluruh teman-temannya kompak mengelus d**a mereka dan berseru.. “Syukur gak dipanggil,” “Untung bukan aku yang disuruh maju ke depan,” “Hufffft, rupanya Tuhan masih mendengar doaku,” “Yes! Bukan aku rupanya. Kalau beneran aku, pasti sudah dimarahin habis-habisan sama Pak Anton karena gak bisa ngerjain,” Seruan dari teman sekelas Andin sangat terdengar jelas bagaimana mereka lega bahwa nama mereka tidak dipanggil. Padahal, Andin juga berharap namanya tidak dipanggil. “Andin, ayo silahkan maju ke depan,” Pak Anton sudah menyodorkan spidol papan tulis hitam kepada Andin. Andin melihat sekali lagi teman-temannya, semuanya memberi semangat pada Andin untuk menjawab pertanyaan dari Pak Anton. “Semangat! Kamu pasti bisa, Din,” ujar salah satu teman Andin. Andin berdiri dari kursinya, dan melangkah ke depan kelas untuk menggapai spidol papan tulis hitam. Jantung Andin berdetak hebat ketika spidol hitam itu sudah berada di tangannya. Belum lagi, saat membaca soal yang ada di papan tulis, kepala Andin serasa melayang dan kabur begitu saja tulisan itu. “Tuh kan ini efek apaan sih, kenapa itu tulisan kabur semua? Jangan sampai aku semaput di depan kelas, bisa-bisa malu sendiri aku nih,” ujar Andin dalam hati dan berusaha menjawab pertanyaan dari Pak Anton sebisa mungkin. Andin membaca soal itu, dan beberapa caranya sudah ada yang Andin paham. Sekitar sepuluh menit mengerjakan soal di depan kelas, Andin selesai juga. “Sudah selesai, Pak,” ucap Andin pada Pak Anton yang sedang memeriksa tugas kelas sebelah di mejanya. “Bagaimana, Andin, sudah?” Pak Anton menutup buku yang sedang diperiksanya. “Iya Pak sudah,” Andin pun memberikan balik spidol hitam itu ke tangan Pak Anton. Andin mundur sebanyak tiga langkah ke belakang. “Andin, kamu jangan duduk dulu ya biar saya periksa dulu hasil pengerjaanmu,” pinta Pak Anton. Andin pun harus mengikuti apa permintaan Pak Anton. Padahal, kedua kaki Andin sudah tidak mampu berdiri lama, terus saja bergoyang dan gelisah. Keringat Andin yang berada di pelipisnya sejak tadi itu pun tiba-tiba menetes. “Hmmmm, kamu sudah yakin dengan pengerjaanmu?” tanya Pak Anton ke Andin. “Sudah Pak,” Andin mengangguk dan memastikan lagi jawabannya di depan papan tulis. “Masa?” Pak Anton meyakinkan. Andin membalas itu dengan senyuman. “Ahahahahaha,” Pak Anton tertawa geli dan membuat seluruh siswa dan siswi heran. “Eh, kenapa tuh Pak Anton?” “Iya, kenapa ya, apa Pak Anton sedang kesurupan ya?” “Apa karena apa kesalahan dari Andin?” Spekulasi itu muncul bertubi-tubi dari mulut teman Andin di kelas itu. “Jadi kamu siswi yang dianggap berprestasi di kelas ini tidak mampu mengerjakan soal semudah ini?” kata Pak Anton. Andin sudah pasrah saja, ia memang mengakui bahwa tidak konsen sekali selama pelajaran berlangsung. “Apapun yang terjadi, hadapi, ketika aku dimarahi habis-habisan oleh Pak Anton, aku akan menerima saja,” seru Andin dalam hatinya. “Anak-anak yang lain, coba lihat role model sekolah kita yang dianggap siswi berprestasi. Wajarkah tidak bisa mengerjakan soal semacam ini?” Pak Anton bertanya ke siswa dan siswi lainnya, namun tidak ada jawaban dan hanya tatapan diam dari mereka. “Andin, padahal kamu sudah diakui oleh sekolah sebagai mahasiswa berprestasi, kenapa kamu melakukan hal yang mengecewakan untuk saya?” ujar Pak Anton lagi. “Saya sengaja memanggil kamu ke depan kelas ini untuk menjawab soal supaya teman-temanmu ini paham semua,” sambung Pak Anton. “Benarkah, Pak?” tanya Andin. “Iya, karena saya yakin materi ini tidak dapat dipahami hanya dalam waktu beberapa jam saja. Perlu pendalaman khusus. Hanya siswa dan siswi yang sangat jenius saja yang bisa memahami dan mengerti hanya dalam hitungan jam!” Pak Anton mengumumkan di kelas itu. Andin diam saja dan enggan untuk mengeluarkan sepatah kata pun. “Andin, silahkan duduk saja, lain kali kamu harus lebih fokus ketika berada di dalam kelas ya,” nasihat Pak Anton. Seluruh siswa dan siswi yang ada di kelas itu makin sunyi. Mereka takut jika sasaran selanjutnya untuk menjawab soal adalah mereka. "Oke, saya akan memanggil satu nama lagi untuk membenarkan kesalahan dari pengerjaan Andin," seru Pak Anton yang kembali membuka buku presensi. Dan.... keheningan di dalam kelas itu mulai menjadi-jadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN