"Ahh, nikmat sekali cemilannya, Te," ujar Beni mendorong badannya ke sofa. Beni mengelus perutnya yang hampir terisi penuh. Cemilan choco crunch tadi ternyata bisa menghilangkan dahaga laparnya sedari tadi.
Melihat Beni yang puas merasakan makanan kecil itu, Andin tersenyum kecil, "pantas saja perut buncitnya makin hari makin membesar, ternyata begini saja sudah kenyang," canda Andin.
"Hussss," Bu Ranti mentoel paha Andin. Bu Ranti menaruh telunjuk di depan bibirnya. "Eh jadi itu ya faktor perut si Beni menjadi buncit seperti itu," ujar Bu Ranti mulai memelankan nadanya di telinga Andin.
Beni pun merasa kalau sedari tadi, dua perempuan di depannya sedang membincangkan perutnya. Namun, Beni tetap saja stay cool dan menganggap itu sebagian dari penilaian Bu Ranti dan Andin. Lama kelamaan, Bu Ranti dan Andin tak kuasa menahan tawa melihat perut Beni yang membuncit.
Jluuuuuk. Srettttt. Beni berusaha menutupi perut buncitnya dengan kemeja yang ia pakai. Nahas, kemeja itu terlalu sempit dan pendek, sehingga perut buncit Beni terus saja menengok seolah enggan untuk ditutupi. "Sialan! Ini juga kemeja baru tapi kok sudah gak muat aja sih!" Geram Beni dalam hati, semakin berusaha menutupi perutnya.
"Nih!" Andin melempar sarung bermotif garis-garis ke arah Beni. Dan tepat sekali sarung bermotif itu mendarat di atas perut buncit Beni.
"Wah, selain kamu jago nulis berita, ternyata jago melempar segala hal ya," oceh Beni nyengir karena bahagia perut buncitnya berhasil disembunyikan.
"Iya, aku pengen sekali melempar para narasumber yang enggan diwawancara atau enggan dikutip pernyataannya," sewot Andin.
"Wah, kalau soal itu mah berat, berat, berat!" Tegas Beni.
Bu Ranti hanya menggeleng saja. "Andin, ayok dikondisikan," seru Bu Ranti dengan nada sedikit meninggi.
"Ya gak papa lah Te, namanya juga anak kritis, pasti bawaannya kesel terus ya," kata Beni.
"Dah, diam ya Mama dan Beni, jangan mengungkit hal itu terlalu jauh. Nanti aku makin bete loh," cakap Andin.
Bu Ranti dan Beni kembali melempar tatapan satu sama lain. Mereka spontan diam dan enggan melanjutkan pembahasan apapun mengenai itu.
"Baiklah. Terima kasih sudah mengerti," ujar Andin.
Suasana ruang tamu yang tadinya rusuh akibat perut buncit Beni, sekarang terlihat kalut dan hening. Hanya detakan jarum jam dinding yang berbunyi kala itu.
"Oh ya, aku hampir lupa, jadi apa maksud kedatangan mas Beni datang ke rumah ini?" Tanya Andin yang hampir saja lupa dengan pertanyaan ini.
Beni tertawa kecil, "tidak ada maksud apapun, hanya saja Tante Ranti memberikan alamat rumahnya pasca aku berhasil mengembalikan dompet yang tercuri," jelas Beni.
Andin menatap ke arah Bu Ranti, "maksud Mama memberikan alamat apa? Harusnya Mama memberi duit untuk mas Beni," terang Andin. Andin tertawa melihat Beni yang bengong tak paham maksud yang diutarakan Andin.
"Maksudku gini loh mas, kamu sepertinya butuh duit, tapi Mama malah ngasih kamu alamat, kan alamat gak bisa buat makan," begitu basa-basi Andin.
"Kali ini kamu salah Andin, buktinya aku ke sini tadi diberi makanan," balas Beni. Andin menggaruk kepalanya, kali ini benar saja apa yang dikatakan Beni. Bisa-bisanya perkataan Andin dibalas oleh Beni.
"Udah, gak usah berdebat. Mama memberi alamat ke Beni supaya kita bisa berkenal lebih jauh, Mama melihat Beni itu lelaki yang cerdas dan baik, cocok untuk menjadi teman bicara Andin," jelas Bu Ranti.
Andin dan Beni menegok satu sama lain, apakah yang dikatakan Bu Ranti itu cuman candaan? Ataukah ada maksud lain untuk Beni dan Andin?
Hmm, Beni berpikir, memangnya tidak ada ya teman berbincang untuk Andin? "Ah, masa sebegitu kesepiannya Andin sampai-sampai Bu Ranti mencarikan teman berbincang untuknya.
"Ih Mama, memangnya aku apaan sih kok dicarikan teman bicara? Lagian aku sama Beni juga sudah kenal lama semenjak di redaksi," Andin tak terima.
"Ya Mama gak tau, kirain gak kenal gitu. Ya baguslah kalau sudah kenal, dengan begitu obrolan kalian makin nyambung, kan?" Bu Ranti tak mau kalah dengan pernyataan Andin. Bu Ranti pun tak segan menaik turunkan kedua alis di atad matanya.
Andin menghela napas panjang dan menghembusakannya, "ya elah Ma, iya deh, aku jadi takut kalau tidak menuruti apa kata Mama," ucap Andin.
Tak lama, Beni mengeluarkan secarik kertas putih dan diberikan kepada Andin. "Ini ada sepucuk surat untuk kamu," Beni menyerahkan surat itu. Tampak Andin tersipu malu setelah menerima surat itu, "jangan kepedean, itu bukan surat dari aku, tapi dari orang lain. Dibaca aja," sahut Beni berusaha tak membuat Andin meninggi.
"Iya iya, ngapain juga aku kepedean!" Andin segera membuka surat itu dan membacanya.
Surat itu berisi: "Halo Andin, apa kabarmu? Aku harap kamu selalu sehat dan baik-baik saja dalam segala hal. Aku selalu mendukungmu dari jauh,"
Andin mencari siapa pengirim itu. Dicarinya inisial, nama, atau apapun yang tertera di dalam surat itu. Dan, ternyata surat itu dikirim oleh Kinan Olivia. Kedua mata Andin seolah kosong, ada sesuatu hal yang membuatnya galau, bimbang, dan tidak paham apa yang harus ia kerjakan. Andin menutup surat itu seperti semula. Diletakannya surat itu di atas meja, dan dibiarkan tergeletak.
Beni menyeritkan dahi, kenapa wajah Andin seolah terdiam dan tak mengucapkan apapun pasca membaca surat itu? Beni berpikir, ada hal aneh yang menimpa mantan rekannya di redaksi itu.
"Ada apa?" Tanya Beni. Beni mendekatkan raganya ke Andin. Namun, Andin tak menjawab dan tetap menatap surat itu kosong.
Beni penasaran, Beni pun mengambil surat putih yang tadi telah dibaca Andin.
Srettttt! Andin berusaha mengambil surat itu dan sebagian besar robek. "Maaf," kata Beni.
"Jangan langsung mengambil jika bukan punyamu, jangan langsung dibaca jika bukan untuk kamu. Ini ranah privasi," tegas Andin, mengeluarkan kata-kata yang begitu tegas.
"Maaf Andin, sekali lagi maaf, aku tidak bermaksud...."
"Andin, Nak Beni, sudah ya gak usah diperpanjang. Lagian gak baik loh kalau ada rasa canggung satu sama lain," nasihat Bu Ranti.
Beni pun mengangguk tanpa paham apa yang diucapkan Bu Ranti. Tetapi tidak halnya dengan Andin yang tetap merautkan wajah kosong dan cemas kali itu. Andin tak sedikitpun mengucap kata-kata. Andin beranjak ke kamarnya dan menutup pintu kamarnya keras, "brakkk!" Hal itu membuat Bu Ranti dan Beni terkejut.
Andin sudah masuk ke kamarnya.
"Nak Beni, apa kamu tahu apa yang sedang dialami Andin?" Bisik Bu Ranti.
"Gak tau Te, sumpah," terang Beni.
"Duh Andin kenapa lagi ya, baru saja dia moodnya bagus, sekarang jelek lagi," jujur Bu Ranti.
Bu Ranti kalut, tangannya mulai dingin dan kakinya bergerak terus. Gusar, khawatir dan ingin tau apa yang dirasakan Andin.
"Nak Beni, apa kamu tahu siapa pengirim surat itu?" Tanya Bu Ranti sekali lagi.
Beni mengangguk, "namanya Kinan Olivia, rekan kerja saya di ruang redaksi," pungkas Beni.