Nyam.. nyam.. nyam.. sudah beberapa kali Andin selalu terpesona dengan lezatnya hidangan Bu Ranti. Andin melahap ayam goreng tepung itu dengan sejuta kenikmatan. Mulut Andin bergerak seraya menghaluskan makanan yang masuk ke kerongkongannya. Sesekali kedua matanya tertutup untuk merasakan rada yang begitu spesial.
"Enak, Nak?" Tanya Bu Ranti, menopang dagunya yang sengaja memberhentikan makannya.
Nyam.. nyam.. nyam.. namun Andin tetap melahap ayam goreng itu tanpa mengetahui pertanyaan Bu Ranti. Bu Ranti hanya tersenyum, ia bahagia melihat puterinya tidak gusar lagi.
"Duh, enak sekali ya, sampai-sampai Mama gak disahutin, hehe," Bu Ranti kembali melahap hidangannya.
Dhakkkk.. Andin tersedak tak sengaja, "maaf Ma, maaf banget, abisanya ini makanan moodboaster banget sih. Aku kan keenakan," ucap Andin nyengir.
Tin.. tin.. tin.. klakson sebuah mobil yang berhenti tepat di depan rumah Andin. Andin berdiri dari kursi makannya, mencoba menengok siapa gerangan yang datang di depan rumahnya. Andin memincingkan matanya, ia melihat mobil Jazz berwarna putih, "Hmm.." Andin masih tak mengenal siapa pemilik mobil itu.
"Mobil siapa itu?" Tanya Bu Ranti memastikan lewat Andin. Andin menaikkan kedua bahunya. "Tidak tau, Ma. Aku bahkan tak pernah melihat sama sekali mobil itu," balas Andin.
"Coba lihat keluar, siapa tau itu hadiah dari bank karena Mama jarang transaksi, haha," canda Bu Ranti.
"Heh Ma, jarang transaksi kok bangga, harusnya cemas dong karena pemasukan ngadat, ups!" Andin segera menutup bibirnya dengan tangan kanannya, sebelum Bu Ranti menepuk bibir mungil Andin.
"Ayolah Andin, kamu lihat siapa yang datang, makanan Mama belum habis nih, gak sopan kalau ditinggal," tandas Bu Ranti.
"Iih, iya deh," Andin menuju ruang tamu dan melirik melalui jendela yang tertutupi gorden. Andin mendongakkan lehernya, melihat benar-benar siapa pemilik mobil itu. Merasa tak berhasil, Andin pun membuka pintu rumahnya.
DOR! Ucap seorang laki-laki yang mengagetkan Andin di sebelah kiri telinganya. Sontak, jantung Andin berdegup kencang karena mendengar seruan itu. Bukannya ikutan kaget, laki-laki itu tampak melebarkan bibir dan bahagia.
"Hahahahaha, apa kabar, Nona?" Todong laki-laki itu.
"Hah? Nona? Sejak kapan mas Beni memanggilku dengan sebutan Nona?" Andin heran.
"Sejak hari ini," Beni memasukkan kedua tangannya ke saku celananya. Andin dan Beni tertawa mendengar kalimat itu.
"Ada-ada saja kamu, mas Ben!" Tepuk Andin ke bahu Beni.
Hahahahaha.
"Mama kamu, ada?" Tanya Beni.
Andin mengangguk, "ada, itu di ruang makan lagi nyantap makanan," jawab Andin.
"Aku masuk boleh, gak? Mumpung lagi laper juga nih," celetuk Beni, mengusap perut buncitnya.
"Ih! Berarti mas Beni kesini cuma numpang makan? Ya elah, kirain ada sesuatu yang penting sekali," Andin mendengus, merasa tidak ada yang menarik.
"Gak ih, sok tau!" Beni nyipratin liur.
"Ihhhh gak sukaaa, gelayyy!" Andin jijik.
"Jadi aku boleh masuk gak nih? Kalau gak pulang aja deh," Beni pun berpura-pura putus asa dan berbalik badan.
"Eh eh ya boleh, kok. Ayok masuk, mas" sila Andin.
Beni pun duduk di atas sofa empuk kesayangan Bu Ranti. Beni celingak-celinguk melihat isi rumah yang ada di ruang tamu. Beni menopang dagunya, dahinya mengerut, matanya menyipit.
"Ada apa, mas? Kok raut wajahnya berubah," tanya Andin yang ikut menyeritkan dahinya.
"Enggak, aku cuma heran saja," jawab Beni yang masih menimbulkan pertanyaan.
"Apaan sih mas, kalau ngomong jangan setengah-setengah! Kata Mama itu pamali," ucap Andin sedikit berbohong.
"Alah pamali itu gak ada! Ternyata ruang tamumu sepi ya, gak ada piagam, haha," Balas Beni. Tampaknya Beni tau kalau Andin tak pernah menang kejuaraan apapun.
Andin tampak tersenyum, menunduk, "yah ketauan deh aku gak pernah menang lomba," kata Andin.
"Kamu itu anak yang cerdas dan pintar menganalisa, aneh saja gak pernah menang juara apapun,"
"Akunya males ikut lomba. Udah sering aku lomba olimpiade Kimia, waktu grand final malah aku kabur gak dateng," cerita Andin.
"Hah? Maksudnya?" Beni bingung.
"Ketika grand final penentuan juara 1 2 dan 3 aku malah tidur karena merasa depresi pasca mengerjakan soal di penyisihan dan semi final," kisah Andin santai.
Beni malah refleks menepok jidatnya setelah mendengar ucapan itu. "Serius? Kamu kok lawak banget, padahal kan tinggal selangkah lagi untuk bisa menjadi juara," balas Beni.
"Ya begitulah Andin, kalau dia sudah tidak srek dengan sesuatu, pasti ditinggalkan. Gak peduli itu penting atau tidak penting," ucap Bu Ranti yang langsung nimbrung di obrolan Andin dan Beni. Bu Ranti tersenyum, ikut duduk di sebelah kanan Andin.
Melihat Bu Ranti tersenyum, Beni pun turut membalas senyuman itu tak kalah lebarnya. "Eh, tante," Beni beranjak dari tempat duduknya dan menggapai tangan Bu Ranti. "Kenalin, Te, saya Beni," sapa Beni.
"Udah tau, terima kasih ya Nak Beni atas bantuannya tadi di pasar," kata Bu Ranti.
Andin terdiam, ia merasa ada sesuatu dibalik Bu Ranti dan Beni. "Kalian sudah saling kenal, kah?" Tanya Andin bingung.
Bu Ranti dan Beni saling tatap dan sama-sama melempar rasa geli akibat menahan tawa. Hahaha.
"Ya sudah dong, jaman sekarang memang harus banyak-banyakin relasi apalagi yang muda kayak Nak Beni," kata Bu Ranti memainkan mata ke arah Beni.
"Apaan sih Ma, yang bener dong, aku nanyanya beneran loh," ucap Andin tidak puas.
"Iya, Mama juga sudah bener menjawab pertanyaan kamu," balas Bu Ranti.
"Loh tante, memangnya Andin belum tau tragedi hari ini?" Tanya Beni.
Andin semakin bingung. Andin semakin penasaran dengan cerita Bu Ranti dan Beni.
"Gini loh, tadi pagi Mama ke pasar Impres, terus ada anak laki-laki bantuin angkat barang belanjaan Mama, eh ternyata Mama dicopet sama temen-temannya anak itu. Rupanya anak-anak tadi sekongkol untuk mencopet Mama," sahut Bu Ranti.
Andin pun mengangguk. "Lantas, apa hubungannya sama mas Beni?" Andin gantian ingin mendengar penjelasan dari Beni.
Beni tersenyum sedikit. "Kebetulan aku lagi belanja juga di pasar Impres, tante Ranti ini teriak ada pencopet. Aku kejarlah copet itu, akhirnya dapat," jelas Beni.
"Untungnya uang Mama tidak sempat diambil," Bu Ranti mengelus dadanya.
"Untungnya juga kecepatan lari anak tadi masih dibawah rata-rata, jadi aku masih bisa mengejarnya, ahaha," kata Beni.
Andin mengangguk. "Rupanya aku sekarang bertemu dengan pahlawan yang tidak kesiangan!" Celetuk Andin. Andin, Bu Ranti dan Beni pun terkekeh mendengar itu.
"Terima kasih banget loh Nak Beni, kalau gak ada Nak Beni, uang tante sudah ludes tuh," ucap Bu Ranti sambil mengelus rambut Beni.
"Oh ya, pada mau nyemil gak? Kayaknya tadi Mama baru beli choco crunch," ujar Andin.
"Oh iya, Mama baru ingat. Kita makan bareng yuk, maaf ya makanan beratnya sudah dihabisin sama Andin!" Pungkas Bu Ranti.
Mereka pun melahap choco crunch diselingi canda, cerita, dan terpantau begitu akrab.