“Hoam.. hmm.. hmm,” seru Naira yang mulai membuka kedua matanya dan merentangkan tangannya ke atas. “Udah jam berapa ya ini? Sepertinya tidur siangku cukup menyenangkan, perasaanku jadi terasa lebih tenang dari sebelumnya,” seru Naira lagi.
Naira menatap jam dinding ya menempel di dinding kamarnya, “oh ternyata sudah pukul tiga sore,” kata Naira. Kruk.. kruk.. kruk.. sesuatu hal berbunyi dari dalam perut Naira. Lantas, Naira melirik ke arah perutnya dan terdengar lagi, kruk.. kruk.. kruk.. “Ya! Sepertinya aku butuh sesuatu asupan makanan untuk membuat perutku lebih baik,” ucap Naira.
Naira melepaskan selimut yang menutupi tubuhnya, dilipatnya selimut itu dan ditaruh kembali ke dalam lemari yang ada di sebelah kirinya. Naira adalah anak yang tidak rewel ketika tidur, itu artinya seprei kasur tempat ia tidur pun masih rapi seperti semula. Seperti mendapat kartu istimewa, Naira jarang sekali merapikan sepreinya yang kusut atau pun kotor.
Tok.. tok.. tok.. pintu kamar Naira seperti ada yang mengetuk, dan tentu saja yang mengetuk adalah Bu Ari. “Nai, sudah bangun belum? Itu ada alpukat smoothie di meja makan belakang,” begitu suara Bu Ari terdengar.
“Oh, iya, Bu, terima kasih ya, iya nanti akan aku makan kok, terima kasih banyak ya, Bu,” Naira membalas suara Bu Ari.
Tak ingin kehilangan momen menyantap alpukat smoothie buatan Bu Ari, Naira pun bergegas keluar dari kamarnya dan langsung menuju ruang makan yang dimaksud Bu Ari. Di ruang makan itu, sudah disiapkan segelas alpukat smoothie yang sengaja dibuat Bu Ari untuk anak kesayangannya itu.
“Waaaaah, kebetulan ini perut lagi laper banget. Ibu ngerti aja deh apa yang aku ingini,” ujar Naira bahagia seraya menggapai segelas minuman alpukat smoothie.
Setelah alpukat smoothie itu berhasil ia dapatkan, Naira duduk di kursi makan dan menyantap alpkukat smoothie itu dengan suka cita. “Rasa alpukat itu gak pernah salah, selalu bikin enak dilidah Naira,” Naira kesenangan mencicipi alpukat smoothie buatan Bu Ari.
“Siapa dulu dong yang bikinin itu, Ibu Ari gitu loh!!!” Bu Ari tiba-tiba saja menimpa ucapan Naira yang sedang berada di ruang makan. Hal itu pun membuat Naira terkejut dan hampir saja tersedak alpukat smoothie.
“Iya, deh, iya, semua minuman atau makanan buatan Ibu itu selalu enakkkk! Aku aja sampai ingin nagih terus,” ujar Naira seraya menyuapkan alpukat smoothie-nya kesekian suapan.
“Kamu harus belajar masak sama Ibu, Nai,” canda Bu Ari membanggakan dirinya.
“Gak perlu belajar masak yang serius, Bu, modal nonton media sosial contohnya youtube saja sudah bisa bikin makanan atau minuman yang super lezat,” timpa Naira.
“Eh, kok kamu tau? Ya, sebenarnya Ibu cari resep makanan dan minuman itu ya dari youtube, hihih,” Bu Ari pun tertawa ringan. “Ayo, Naira, dihabisin ya itu alpukat smoothie-nya, kalau mau nambah ya besok aja karena alpukat di kulkas habis,” sambung Bu Ari.
Naira mengiyakan ucapan Bu Ari dengan cara menganggukan kepalanya, “siap, Bu, aku akan menghabiskan alpukat smoothie ini, bahkan sebelum Ibu mengatakan seperti itu, aku sudah berniat besar untuk menghabiskannya, kok,” ujar Naira, yang menyuapkan sesendok lagi alpukat smoothie ke mulutnya.
Bu Ari ikutan duduk di kursi makan yang kosong, yaitu tepat di depan Naira. Bu Ari mengamati anak kesayangannya itu melahap senang alpukat smoothie buatannya. Suapan demi suapan didaratkan menuju mulut Naira dan ditelannya tanpa sedikit pun terjatuh. “Ibu senang melihat kamu sudah tumbuh dewasa seperti sekarang ini, Nai,” batin Bu Ari sambil melihat anak perempuannya menghabiskan alpukat smoothie.
Flashback ketika Naira berumur 5 tahun
“Nai, ini ayo dimakan alpukatnya, Ibu sudah membuatkannya khusus untuk kamu loh,” seru Bu Ari yang memanggil anaknya di depan teras rumah.
Anak perempuan mungil berambut cokelat itu segera menghampiri Bu Ari. Disertai dengan senyuman manis, anak perempuan itu langsung duduk manis di hadapan Bu Ari dan siap mencicipi minuman yang akan disuguhkan padanya.
“Iya, Ibu, mau dong mau, Naira mau itu dong,” anak perempuan yang bernama Naira itu tampak antusias sekali ingin menyantap minuman bikinan Bu Ari.
“Iya, Nai, sebelum mencicipi minuman ini, kamu harus cuci tangan dan cuci kaki dulu ya, itu banyak kotoran dan debu di badan kamu, nanti sakit perut loh kalau minum tapi gak bersih,” pinta Bu Ari yang sudah menggenggam minuman alpukat smoothie di tangan kanannya.
Naira kecil pun segera menuturi tuturan dari Bu Ari, cuci tangan dan cuci kaki setelah bermain di depan halaman rumah.
“Bu, aku sudah selesai mencuci tangan dan mencuci kaki, dan sekarang boleh kah aku menyantap minuman yang berada di tangan kananmu?” rayu Naira kecil dengan wajah yang imut sekali.
Bu Ari membelai pelan rambut anak perempuannya itu dan berseru, “tentu saja boleh, Nai, ayo sini makan bersama Ibu, Ibu sengaja membuatkan ini dua porsi, satu buat kamu, dan satu buat Ibu,” kata Bu Ari.
Naira kecil pun senang sekali menyambut itu, “Yeeee, terima kasih Ibu, Ibu baik sekali,” ucap Naira dan mengambil segelas alpukat smoothie. Tanpa ba bi bu, Naira segera menyantap minuman itu dan memasukan ke dalam mulutnya. “Hmm, enak sekali, Ma, aku suka minuman ini. Minuman ini akan menjadi minuman yang paling aku suka hingga aku dewasa nanti,” terang Naira yang suka sekali dengan hasil minuman yang telah dibuat oleh Bu Ari.
***
Lamunan Bu Ari yang mengingat kembali masa-masa dulu ketika Naira masih berusia lima tahun, menorehkan rasa rindu. Hingga Bu Ari terlupa jika Naira kecil yang ia lamunkan tadi sudah beranjak dewasa. Ya, Naira yang imut semasa kecil dulu sudah berada di hadapannya dengan paras yang lebih cantik dan dewasa.
“Ah, hmm, lezatnya alpukat smoothie buatan Bu Ari tercinta,” ujar Naira seraya memberikan senyum lebar kepada sang Ibunya.
Bu Ari pun membalas senyuman lebar milik Naira, “terima kasih Nai atas pujiannya, sering-sering puji makanan atau minuman buatan Ibu ya, itu akan membuat Ibu memiliki kekuatan dan tambahan semangat untuk memasak,” tutur Bu Ari.
“Hah? Kok bisa seperti itu, Bu? Memangnya selama ini Ibu tidak memiliki kekuatan dan semangat untuk memasak?” Naira bertanya tidak percaya. Lantaran Bu Ari yang hobi sekali memasak dari dulu, tidak mungkin tidak memiliki kekuatan dan semangat dalam hal memasak.
“Hmmm, itu kan yang hanya kamu lihat keseharian saja dan ada suatu hal yang tidak selalu kamu lihat, Nai,” jawab Bu Ari.
Naira tersenyum dan langsung memeluk tubuh Bu Ari yang berada di depannya. “Bu, apapun yang terjadi, Ibu adalah orang yang paling baik dan hebat dalam segala hal. Tak perlu khawatir dengan semangat untuk diri Ibu, aku adalah orang yang pasti memberikan semangat sampai kapan pun untuk Ibu,” bisik Naira kepada Bu Ari, yang membuat perasaan Bu Ari menjadi agak mellow.
“Terima kasih ya, Nai, kalau pun kamu tidak ada di samping Ibu, pasti Ibu sudah menjadi orang yang paling lemah di dunia ini. Maka dari itu, Ibu akan selalu membutuhkan kamu untuk sandaran Ibu,” Bu Ari semakin mengeratkan pelukan itu. Menciumi rambut wangi anak manisnya, dan tersenyum untuk kesekian kalinya karena perhatian dan kasih sayang dari Naira.
Kring.. kring.. kring.. ponsel Naira yang berada di kamar tidurnya, tiba-tiba saja berdering. Naira meminta izin kepada Bu Ari untuk memeriksa ponselnya di kamar apa kah ada yang menelponnya atau mengirimkan pesan singkat.
“Bu, aku izin ambil ponselku di kamar ya, itu lagi bunyi, tuh,” izin Naira dan melepaskan pelukan erat tadi.
“Oh iya, silahkan diambil saja ponselmu Nai, siapa tau ada hal penting yang harus kamu tahu,” balas Bu Ari.
Naira memasuki kamar tidurnya dan sigap mencari ponselnya yang ia letakkan di atas meja belajar. Dan untungnya, ponselnya masih setia berdering dan ada telepon masuk dari seseorang. Layar ponsel yang kian menyala itu, menerangkan ada telepon masuk dari kontak yang bernama “Beni.” Seperti biasa, Naira selalu mengangkat telepon dari mantan kekasihnya itu.
“Halo, Naira?” sapa Beni dari dalam telepon.
“Iya, Beni, ada apa nih sore-sore begini telepon aku?” Naira membalas sapaan Beni.
“Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Beni. Dalam batin Naira, “Hah? Baik-baik saja? Ya, ragaku sih baik-baik saja, akan tetapi perasaan kesal terhadapmu masih menjalar dan bahkan enggan hilang,”
Namun, agar tidak membuat suasana semakin keruh, Naira membalas pertanyaan Beni dengan ujaran ini, “oh memangnya aku ada apa? Aku rasa semuanya baik-baik saja, baik aku mau pun siapa saja,”
“Syukurlah kalau begitu. Oh ya, sebagai rasa terima kasihku kepadamu karena mau bergabung dan membantu merintis media baru kita, aku akan memberikan kamu alpukat!” kata Beni.
Naira yang memang penggemar alpukat sejak berumur lima tahun, merasa senang saja Beni akan memberinya alpukat. “Wah, menarik tuh, kamu mau kasih aku berapa kilo alpukat? Satu mobil container kah?” seru Naira.
Beni pun terbelalak kaget dan berkata,” ya gak mungkin lah Nai, kamu sendiri kan tau aku bukan lelaki yang memiliki banyak uang melimpah. Apalagi membelikanmu alpukat satu container, itu adalah hal yang tidak masuk akal,” tawa Beni.
“Ya, aku juga tau kok kamu bukan lelaki yang punya banyak uang, dan aku juga sengaja membercandaimu dengan candaan seperti tadi. Pasti pun kamu tidak akan pernah mampu, kan?” sindir Naira.
Beni pun menelan ludahnya, bisa-bisanya Naira membuat dirinya terdiam karena ketahuan tidak punya duit sebanyak itu. Beni pun terdiam untuk beberapa saat, sebentar saja.
“Woy, kenapa diam? Aku nungguin pembicaraan lain dari kamu loh, Ben,” seru Naira dari telepon dan berusaha memastikan apa kah Beni masih berada di saluran telepon, “Halo, Beni? Kamu masih di sana, kan? Kok kamu gak nyahutin suara aku sih,” Naira sedikit membesarkan volume suaranya di telepon.
Beni menepok jidatnya, ia merasa kalau Naira mencoba membuatnya malu dan sadar kalau Beni adalah laki-laki yang tak punya uang banyak. “Eh, iya, iya, Nai, aku masih ada di telepon kok. Maaf tadi aku merasa perutku agak sedikit sakit, makanya tidak membalas sahutanmu,” ujar Beni yang memang berbohong pada Naira.
“Udah ya, aku hanya mau memberi tahu kalau aku akan memberikanmu alpukat manis sebagai bentuk rasa terima kasihku atas kerja samamu selama ini,” pungkas Naira.
“Oke, oke, sering-sering ya beliin aku alpukat manis, karena aku doyan sekali buah itu!” canda Naira.
“Oh tenang saja, kita akan pesta buah alpukat setiap bulannya jika media kita telah mencapai target yang diinginkan,” kata Beni.
Naira suka cita mendengar perkataan yang diucapkan Beni, namun Naira pun memberi pertanyaan ke Beni, “itu pestanya beneran ada dan tepat waktu, atau hanya akal-akalanmu saja?” Naira menyindir.
“Ya aku seriusan lah, Nai, itu sebagai bentuk pesta kecil-kecilan untuk merayakan keberhasilan media kita. Bisa lah itu dipikirkan kembali ketika media kita sudah mulai kondusif,” tutur Beni.
Naira yang mangut-mangut aja, terima saja atas tuturan yang diberikan Beni. “Iya, Ben, aku akan berdoa semoga usaha dan rencana kita berjalan lancar, tapi kamu jangan suka bohong dan telat deadline ya!” Naira memperingatkan Beni.
Selama itu Naira dan Beni berbicara lewat telepon, dan tak lama terdengar suara perempuan yang berbisik ke Beni.
“Ben, ayo dong, katanya kamu janji mau ngajak aku jalan, ayo dong, aku sudah siap nih,” ujar perempuan yang entah siapa, yang suaranya terdengar dari balik telepon oleh Naira.
Naira mencoba mendengar suara itu baik-baik. Siapakah gerangan, pemilik suara halus dan lembut yang berada dekat dengan Beni sekarang. “Apa kah itu Andin? Ah, aku rasa itu tidak, tidak mungkin suara Andin sehalus dan semanja itu,” batin Naira mulai menerka-nerka.
Dan saat itu juga, Beni memohon izin untuk mematikan teleponnya, “eh udah dulu ya Nai, yang pasti aku akan segera mengirimkan buah alpukat itu khusus buat kamu,” ucap Beni.
“Ben.. ayo lah Ben.. Ben,” suara perempuan itu makin kesini makin memanja. Dan kemudian tut.. tut.. tut.. Beni sudah memutuskan teleponnya dan suara yang menderu dari balik telepon itu juga ikut menghilang.
“Kira-kira siapa ya perempuan tadi? Apa itu pacar baru Beni? Ah, masa sih? Masa ada perempuan yang tertarik sama Beni?” pikir Naira. “Eh, tapi kan Beni memang jago banget ngerayu perempuan, wajar saja sih jika banyak perempuan yang langsung terbius cinta sama Beni,” sambung Naira.
Bu Ari membuka pintu kamar Naira, dan melihat pemandangan bahwa Naira sedang berpikir. Naira yang sedang menatap meja belajarnya dan menopang dagu, dirasa menyimpan suatu pertanyaan bagi Bu Ari. Bu Ari pun menghampiri Naira, Bu Ari tak mau Naira berpikir berat-berat.
“Nai, kamu lagi ngapain?” ucap Bu Ari, dari belakang badan Naira.
“Eh, Ibu, tidak ngapa-ngapain kok, tadi angkat telepon saja,” balas Naira yang langsung membalikkan badan ke arah Bu Ari.
“Angkat telepon? Dari siapa ya kalau boleh tau?” tanya Bu Ari.
“Dari Beni, Bu,” jawab Naira singkat.
“Lagi-lagi kamu mau saja menerima telepon dari orang itu, apa kamu gak sakit hati? Atau kamu sudah memaafkan kesalahan dia?” tanya Bu Ari lagi.
Naira beranjak dari tempat duduknya, dan berjalan menuju kasur empuknya. Naira langsung merebahkan badannya, dan merentangkan tangannya ke sisi-sisi kasur nyaman itu. “Bu, aku akan mencoba berdamai dengan masa lalu antara aku dan Beni. Cepat atau lambat, semuanya akan berlalu kok, dan aku juga berharap sudah tidak memiliki lagi perasaan apa pun pada Beni.” Naira menjelaskan itu dengan santai.
“Ya bagus lah kalau begitu, Ibu gak mau saja kamu terus dihantui masa lalu bersama Beni. Apalagi ketika Ibu tau kalau kamu sering bertemu dia, pasti masa-masa dulu itu akan terulang secara tidak kamu sadari,” kata Bu Ari.
Naira menggelengkan kepalanya. “gak mungkin, Bu, gak mungkin, doakan saja yang terbaik untuk aku dan Beni. Semoga tidak ada lagi hati yang tersakiti,” pinta Naira.
***
Teng.. teng.. teng.. hari-hari telah berlalu, begitu juga hari yang dijalani oleh Naira, Andin dan Beni. Seharian ini cukup melelahkan dan menyimpan teka-teki untuk esok hari yang akan datang. Andin masih sibuk memainkan ponselnya sambil menikmati empuknya ranjang di kamar tidurnya. Sesekali Andin mengecek pesan masuk atau chat masuk dari kontak ponsel yang bernama, “Tolong Kami,”
Waktu terus bergulir dan malam semakin gelap, Andin masih setia menunggu pesan singkat yang masuk dari Ayu. Walaupun, pada malam itu mata Andin sudah tidak tahan untuk dibukakan. Andin pun mencoba cara lain, bagaimana bisa matanya tetap melek walaupun batinnya terus meronta ingin untuk segera tidur?
“Mata oh mata, tolonglah bekerja sama denganku, aku harus menunggu pesan dari Mbak Ayu,” ucap Andin sambil mengucek kedua matanya menggunakan kedua tangannya.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 00.00 dini hari. Satu menit lagi, hari sudah akan berganti ke hari selanjutnya. Andin kembali menatap pemberitahuan di ponselnya, tidak ada satu pun pesan atau chat yang masuk. Andin masih setia menunggu chat atau pesan dari Ayu. Tanpa basa-basi, Andin mencoba menghubungi Ayu duluan.
“Hallo Mbak Ayu, apa kah Mbak Ayu sudah pulang?” begitu isi chat dari Andin.
Kebetulan, Ayu senang dalam kondisi online. Andin senang sekali dan optimis pesannya akan dibalas. Dan akhirnya, pesan itu hanya dibaca dan tidak ada balasan hingga Ayu memilih offline.
“Huft, kenapa gak dibalas dan hanya dibaca saja, ya?” keluh Andin. “Padahal tadi online, dan ini kan sudah jamnya pulang kerja, masa Mbak Ayu melupakan janjinya sih?” kecewa Andin lagi.
Andin pun manyun, Ayu sama sekali tidak merespon chatnya. Tidak tinggal diam, Andin mencoba untuk menelpon Ayu.
Tut.. tut.. tut.. parahnya, telepon dari Andin langsung ditolak oleh Ayu. Lagi, Andin semakin mengeluh. “Mbak Ayu kenapa sih? Apa masih sibuk ya.. aku sudah menunggu sambil ngantuk begini loh,” sambat Andin.
Malam yang sudah terlanjur gelap itu, menunjukan waktu 00.30 dini hari. Masih tetap saja tidak ada apa pun yang masuk dari Ayu. Lalu, Andin semakin pesimis bahwa Ayu akan memberinya kabar untuk malam ini. Merasa tidak ada tanda-tanda sedikit pun, Andin langsung mematikan ponselnya dan mengisi daya baterai untuk ponselnya. Kebetulan daya baterai yang ada di ponselnya tinggal 10%.
“Ya udah lah, dicoba besok saja untuk menghubungi Mbak Ayu, mungkin saja dia lagi istirahat karena lelah sudah seharian bekerja, aku akan memaklumi itu,” tutur Andin dengan bijaknya, ia menarik selimut dan menuju alam bawah sadar untuk tidur.