And Then

3574 Kata
“Saya mewakili teman-teman yang lain meminta maaf sebesar-besarnya atas pesanan yang datang terlambat ini, Nona dan Tua,” sahut Hana sambil menundukan kepalanya. “Oh gak apa-apa, biar tau rasa tuh si Beni!” balas Naira sinis. “Dasar kamu ya Nai, udah ditraktir juga malah nyemprot aku,” kata Beni. “Ya pokoknya salah kamu lah gak dari tadinya pesan,” balas Naira lagi. “Kamu sih yang gak ingat ada aku!” kata Beni lagi. “Udah, udah, sebaiknya masalah yang gak penting ini cepat disudahi saja, lagian hari udah mau siang banget dan lebih baik kita pulang,” ucap Andin berusaha melerai Naira dan Beni. Naira dan Beni mengikuti arahan dari Andin, Naira dan Beni pun berhenti berdebat walaupun dalam hati kecil Naira meronta ingin ngomel ke Beni lebih lama lagi. “Apaan sih si Andin ini, mau cari perhatian kah di depan Beni sampai-sampai ngehentiin begitu,” batin Naira negatif thinking mulai menjalar. Pandangan Hana seolah kabur, tiga orang yang berada di depannya itu tampak berubah menjadi ganda. Beni ada dua, Naira ada dua, begitu pula yang paling kecil si Andin. Hana mengucek matanya dan berusaha menormalkan kembali pengelihatannya itu. Kepalanya mulai pening dan berputar-putar tak terkendali. “Ada apa dengan diriku ini? Ya Tuhan, semoga diriku baik-baik saja,” ujar Hana dalam hati. “Hana, maafkan ulah kami bertiga ya, kamu boleh balik ke meja kerjamu sekarang, kok, terima kasih atas minuman teh panas Thailandnya, enak sekali,” ungkap Andin sambil tersenyum manis ke Hana. Hana pun membalas senyuman Andin yang tak kalah manis, dan BRAKKKKKK! Tubuh Hana yang tadinya tegak dan penuh semangat, langsung lusuh terjatuh dan tak sadarkan diri. Melihat Hana yang terkukur ke lantai dengan wajah yang pucat seperti itu, Andin, Naira dan Beni yang menjadi orang paling dekat di tempat kejadian otomatis menolong Hana. Andin dan Naira menggoyang-goyangkan tubuh mungil Hana dan berusaha menyadarkan Hana. Sementara Beni, meminta minyak kayu putih kepada karyawan lain untuk diberikan ke Hana. “Mas, Mbak, punya minyak kayu putih gak? Itu Mbak Hana pingsan,” ujar Beni sambil menunjuk Hana yang masih pingsan dikelilingi Andin dan Naira. “Eh, Hana! Hana! Tolong!” balas salah satu karyawan perempuan yang wajahnya tak kalah paniknya mengetahui rekan kerjanya itu pingsan. Karyawan perempuan yang memiliki pengenal nama di d**a kirinya bernama Ayu. Ayu bergegas mengambil minyak kayu putih dari saku tasnya dan berlari ke arah Hana. Ayu pun menuangkan minyak kayu putih tadi ke telapak tangannya dan diusapkan sedikit ke hidung Hana. “Hana, bangun ya, Hana,” panik si Ayu. Tak lama, seorang karyawan laki-laki membawakan segelas air putih hangat untuk Hana. Namun, sampai sepuluh menit kemudian Hana belum juga membukakan matanya alias sadar. Beni yang inisiatif ingin membawa Hana ke rumah sakit terdekat. “Hana belum sadar, bagaimana kalau kita bawa saja ke rumah sakit? Jaraknya dekat saja kok, sepuluh menit pasti sampai,” usul Beni sambil melihat gerak-gerik yang tak muncul dari Hana. “Tidak perlu, Tuan. Bawa saja Hana ke ruang istirahat yang ada di belakang sana,” sahut Ayu tidak setuju. Ayu menunjukkan satu ruangan kecil berukuran 5 meter x 5 meter yang berada tepat di belakang kafe. Lantas, Beni juga setuju dengan usul yang diberikan oleh Ayu. “Baik lah,” Beni mengangguk. “Mas, bisa kah membantu saya mengangkat Hana untuk ke ruang istirahat yang ada di belakang?” kata Beni kepada karyawan laki-laki yang tadi membawakan segelas air putih. “Baik, Tuan, mari kita lakukan,” ucap karyawan laki-laki itu dan langsung mengangkat tubuh Hana dibantu Beni. Andin, Naira dan Ayu memandang Hana yang sedang dibawa Beni dengan tatapan duka dan penuh kesedihan. “Semoga Hana cepat sadar, kasihan dirinya,” ujar Ayu lirih yang tetap melihat langkah Beni membawa Hana. Andin yang tidak tega melihat Ayu lirih seperti itu, bertanya suatu hal, “Mbak, kalau boleh tau apakah Mbak Ayu sangat dekat dengan Mbak Hana?” tanya Andin. Ayu hanya mengangguk menjawab pertanyaan dari Andin. “Maaf, Mbak, kalau boleh tau sudah berapa lama Mbak Ayu dan Mbak Hana bekerja di tempat ini?” tanya Andin lagi. “Hmm, kalau aku sudah dua tahun bekerja disini, akan tetapi kalau Hana baru enam bulan,” jawab Ayu. “Berarti Mbak Ayu sudah tau kondisi kesehatan Hana dari awal masuk hingga sekarang, kan?” ucap Andin. Ayu mengangguk lagi menjawab pertanyaan dari Andin. “Setau saya, Hana memiliki penyakit yang sudah lama ia derita, yaitu vertigo akut dan maag,” terang Ayu. “Hah? Vertigo akut?” Naira menimpa. “Ibuku juga memiliki penyakit vertigo akut, ia tidak mampu kelelahan dan memang harus banyak istirahat,” tambah Naira. “Benar, Nona, Hana adalah anak perempuan yang tidak bisa kelelahan, dia selalu mengeluh kepada saya ketika ia kelelahan namun harus tetap bekerja mengejar target,” jelas Ayu. Andin seperti mendapat pikiran yang menyala, kasus pingsannya Hana tadi menyisakan tanda tanya yang banyak dalam benak Andin. “Dari pernyataan yang Mbak Ayu katakan, itu artinya Hana sangat sering sekali kelelahan ya selama bekerja?” “Betul, Nona, saya juga prihatin dengan kondisinya yang ditakutkan makin lama akan memburuk. Saya juga sudah menyarankan Hana untuk pindah kerja dengan jam kerja yang sesuai dengan kemampuannya,” ungkap Ayu. Pernyataan yang keluar dari mulut Ayu itu, membuat hati Andin bertanya-tanya kembali, “Apa? Mbak pernah menyuruh Hana pindah kerja untuk mencari jam kerja yang sesuai dengan kemampuannya? Memangnya jam kerja disini bagaimana, Mbak? Kalau tidak keberatan, Mbak Ayu boleh menceritakan,” pinta Andin yang mulai serius masuk ke pembahasan perihal kondisi Hana. “Aku akan menceritakan, namun situasi saat ini tidak mendukung, Nona, aku masih kepikiran tentang Hana di belakang sana,” balas Ayu yang menatap ruang istirahat itu. “Bagaimana kalau kita pindah tempat? Bisa di ruang istirahat jika diperbolehkan untuk masuk, itung-itung sambil menjaga Hana,” usul Naira. Usul yang dikeluarkan Naira, rupanya membuat Ayu menggelengkan kepalanya, “tidak bisa, Nona, mohon maaf itu hanya untuk karyawan di kafe ini saja,” Ayu meminta maaf. “Baik lah,” tandas Naira. Tak lama kemudian, Beni dan rekan karyawan tadi kembali dengan terengos-engos. “Wah, lumayan jauh ya tempatnya, kirain dekat,” ujar Beni yang langsung terduduk di meja di depannya. “Maaf, saya balik dulu ya ke tempat kerja,” karyawan laki-laki itu meminta izin untuk kembali bekerja di tempatnya. Lalu, Andin, Naira, dan Beni mengiyakan. “Silahkan, Mas,” balas Andin. “Nah, berhubung Tuan sudah kembali mengantarkan Hana ke tempat istirahat, saya juga memohon izin untuk menjaga Hana di ruang istirahat,” izin Ayu. “Mari, mari, silahkan,” tandas Naira. Ayu pun langsung membalikkan badan menuju ruang istirahat di belakang kafe. Tiba-tiba Andin memanggil Ayu. “Mbak, mbak, boleh kah aku meminta nomor ponselnya? Ada hal yang ingin saya tanyakan lebih lanjut,” Andin menghentikan langkah Ayu. Andin mengeluarkan ponselnya dan ditodongkannya ke Ayu. “Maaf, Mbak, perihal apa kalau boleh tau?” Ayu menyeritkan dahi. Andin melirik kondisi sekitar, dan memberikan sebuah bisikan ke telinga Ayu, “tentang jam kerja yang diberikan di tempat kerja ini, mbak,” bisik Andin. Ayu mengangguk, dan menggapai ponsel Andin yang tadi ditodongkan padanya. Ayu mengetikkan nomor ponselnya dan memberi kembali ponsel Andin. “Sudah ya, Nona,” kata Ayu. Andin pun mengambil ponselnya, “Terima kasih ya, Mbak, oh ya tidak usah panggil saya Nona, panggil saja Andin,” minta Andin. Ayu tersenyum, “baik lah, kalau begitu bolehkah saya ke belakang?” “Oh, silahkan, Mbak, maaf mengganggu waktunya,” maaf Andin. Ayu pun mempercepat langkahnya untuk ke ruang istirahat demi menjaga Hana. “Andin, Andin, kamu ngapain sih?” Naira menegur Andin. Andin terkejut, “Oh, gak apa-apa Mbak, kita boleh balik ke rumah sekarang, kah?” tanya Andin yang mengalihkan pembicaraan. Naira menyeritkan dahinya, merasa ada rahasia antara Andin dengan Ayu. “Andin, kamu berusaha menyembunyikan apa dari aku?” tanya Naira lagi. “Em.. em.. em.. Enggak ada, Mbak, beneran deh,” kata Andin dengan gugup. Andin langsung menyembunyikan ponselnya. “Naira, Andin, sepertinya hari semakin larut, ayo kita sudahi saja pertemuan ini. Andin, kamu bisa pulang sekarang, Naira, ayo kita pulang sekarang juga,” cakap Beni. Andin, Naira, dan Beni pun mengiyakan tawaran Beni. Mereka bertiga berjalan bersamaan menuju pintu keluar kafe. “Andin, kamu gak apa-apa kan pulang sendiri?” tanya Beni. “Gak apa-apa, Kak, lagi pula udah sering pulang sendiri dari sekolah sampai sekarang,” jawab Andin. “Beneran nih, oh ya bensin kamu masih cukup kah? Kalau udah mau habis, aku kasih uang buat kamu isi bensin sendiri,” ujar Beni yang langsung mengambil dompetnya dari saku celananya. Andin spontan menolak pemberian dari Beni, “Gak Kak, gak usah. Masih banyak kok ini, aku baru saja isi bensin kemarin,” tutur Andin dengan halus. “Gitu ya, baik lah, kamu hati-hati di jalan ya, jangan lupa kabarin aku kalau sudah sampai,” minta Beni. Andin tersenyum. Ia langsung menaiki motor matic-nya. Beni melambaikan tangan ke arah Andin seraya Andin meninggalkan tempat parkir, “Byeeee Andin,” seru Beni. Andin membalas lambaian itu dengan senyuman manis nan tersipu malu. Sementara itu, Naira yang berada di sebelah Beni, sedari tadi hanya bisa menyaksikan Beni dan Andin saling berbincang. Bincangan yang berlangsung cukup lama itu membuat Naira kesal lagi. Beni menaiki motor, dan memasukan kunci motornya ke tempat biasanya. Brum.. brum.. brum.. motor itu lalu menyala dan Beni memanasinya sebentar sekitar lima menit. Naira yang belum naik ke atas motor, malah menampakan wajah jengkel. “Nai, kamu kenapa cemberut gitu?” tanya Beni yang juga mengamati mimik wajah Naira lewat spion. “Gak usah banyak tanya, ayo kita pulang!” jawab Naira dengan ketusnya. “Ih, kok ketus gitu sih jawabannya, aku nanya baik-baik loh. Naira, kenapa kamu cemberut gitu?” Beni pun mengulang pertanyaan yang sama. “Udah lah, kamu gak perlu tau, gak penting!” Naira kembali ketus. “Hmm, kebiasaan kamu deh dari dulu kalau lagi cemberut pasti jawabannya gak apa-apa terus,” balas Beni. “Ayo deh, naik ke atas motor, kita akan pulang,” perintah Beni. Naira pun menaiki motor dan mengambil posisi di belakang Beni. Beni langsung menarik gas dan menjalankan motor perlahan. Cuaca siang itu cukup baik, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Enaknya lagi, kengerian macet yang biasa terjadi di sepanjang jalan, tidak tampak terlihat. Menikmati mengendarai motor, sesekali Beni mengintip Naira dari balik kaca spion. Masih sama, sejak mulai menjalankan motor hingga saat ini, Naira hanya terdiam dan tidak mengeluarkan kata-kata apapun. “Nai,” Beni mencoba menegur. “Hmm,” balas Naira dengan melihat sekeliling jalan. “Kamu kenapa, sih? Aku ada salah kah sama kamu?” tanya Beni. “Gak, gak ada kok,” jawab Naira. “Terus kenapa dari tadi wajah kamu gak enak gitu, ada masalah apa, Nai?” “Gak ada, gak ada masalah apa-apa kok, memang raut wajahku dari dulu kayak gini, kan?” “Gak Nai, kamu itu cantik, gak biasanya kamu menampilkan raut wajah yang kusam begitu. Wajah itu tidak seperti wajah Naira yang biasanya aku kagumi,” rayu Beni. Naira terbeku, hatinya seolah deg-degan setelah mendengar ucapan Beni dengan nada merayu seperti itu. “Naira, kamu tidak boleh meleleh karena Beni berkata seperti itu, percayalah, Beni bukan orang yang sebaik yang kamu kira,” Naira berusaha menasehati hatinya sendiri. “Naira..” “Nai...” “Kamu gak apa-apa, kan?” “Nair.....” “Naira Budi Atmaja..” “Kamu masih ada di belakangku gak sih?” Beni meninggikan nadanya karena kesal Naira tidak membalas satu pun dari sahutannya. “Masih,” ungkap Naira singkat. “Hmm, baik lah kalau begitu,” tutur Beni. Tanpa banyak bertanya lagi, Beni tetap mengemudikan motor yang ia bawa dengan penuh konsentrasi. Kali ini, ia enggan mempercepat kecepatannya lantaran ia tahu bahwa Naira sedang tidak nyaman hatinya. Jadinya, Beni hanya mengendarai motornya dengan kecepatan 30 km/jam. Jam menunjukan pukul satu siang, dan Beni dan Naira sudah tiba di depan rumah Naira. Bu Ari yang kebetulan sedang menyiram tanaman di depan rumah, melihat Naira turun dari motor dengan wajah yang penuh kekesalan. “Ada apa dengan anakku?” batin Bu Ari bertanya. “Terima kasih ya Nai atas waktu luangnya, semoga lain waktu kita bisa keluar bareng lagi,” ucap Beni seraya Naira turun dari motor. Namun, raut wajah kesal tetap ditampakan oleh Naira kepada Beni. Alhasil, Naira tidak membalas sedikit pun ucapan dari Beni. Ketika Naira lewat di hadapan Bu Ari, Bu Ari langsung bertanya ke Naira, “Nai, ada apa, Nak? Cerita ke Ibu,” kata Bu Ari, tetapi hanya dilewati saja sama Naira. Naira pun masuk ke dalam rumah dan masuk ke kamar tidurnya. Melihat Beni yang belum pergi di depan rumah, Bu Ari menghampiri Beni. “Eh, Beni, kamu apain anak saya?” tanya Bu Ari layaknya menodong. Beni yang kaget dan tidak mengerti apa yang ditanyakan Bu Ari, langsung menjawab pertanyaan tersebut dengan kaku, “Ma.. ma.. maaf Bu, sa.. ya.. benar-benar ti.. dak tau,” ucap Beni. “Bohong! Kenapa kamu menjawabnya kayak orang ketakutan gitu? Pasti ini ada rahasia kan antara kamu dan anak saya, ngaku kamu!” Kali ini Bu Ari membalas dengan mata sedikit melotot. “Sum... pah, Bu.. sa.. ya.. ju.. ga.. ti.. dak tau ke.. na.. pa.. Naira se.. per.. ti.. itu,” jawab Beni yang masih saja kaku. “Kamu berani sumpah demi Tuhan?!” Bu Ari memastikan. “Iya, Bu, berani deh, sumpah nih!” kata Beni sambil menunjukan simbol “peace” di tangan kanannya. “Awas kamu ya kalau ada apa-apa sama anak saya, kamu bisa tidur gak nyenyak loh! Sana sudah kamu pulang, kalau kamu ngelakuin kedua kalinya, saya tidak memberi ampun sama kamu!” pinta Bu Ari seraya memberi tatapan tajam pada Beni. Beni mengangguk dan menelan ludahnya dalam-dalam, “parah, ini Bu Ari dari dulu kejamnya gak pernah ilang-ilang ya, jadi ingat waktu aku dilemparin pot bunga karena bawa pulang Naira kemaleman,” batin Beni yang mengulang masa lalu. Beni pun menyalakan sepeda motornya, dan bergegas pergi meninggalkan Bu Ari. Dari balik spion, Beni masih geregetan melihat Bu Ari yang tetap menatapnya meskipun Beni sudah berbalik arah sejauh 500 meter. *** “Gimana Nak pertemuannya tadi sama Nak Beni?” tanya Bu Ranti yang langsung menghampiri Andin di ruang tamu. “Lumayan menyenangkan, dan ternyata media yang dimaksud Kak Beni itu sudah direncakannya bersama Mbak Naira. Jadi, ada aku, Kak Beni, dan Mbak Naira yang akan mengelola media itu untuk kedepannya,” beri tahu Andin perihal media baru kepada Bu Ranti. “Wah, kayaknya media itu akan menjadi media yang besar ya, Nak. Soalnya diisi oleh rekan-rekan yang kompeten dan semua rekannya sudah berpengalaman di bidang media maupun jurnalistik,” balas Bu Ranti. Andin tertawa ringan, “iya, yang kompeten dan sudah pengalaman itu ya Kak Beni dan Mbak Naira, Ma. Sedangkan aku hanya sebentar saja bekerja di media lokal,” ungkap Andin. Bu Ranti mengelus rambut anaknya itu dan berujar, “Nak, kamu tidak perlu berkecil hati atas apa yang kamu miliki, semua yang kamu jalani yang lalu itu sudah memberi kamu banyaaaaaaaak sekali pengalaman, kan?” Andin mengangguk, “iya, Bu, sangat banyak, dan bahkan ilmu-ilmu dasar jurnalistiknya pun masih aku ingat sampai sekarang,” Andin tersenyum. “Nah, itu yang Mama maksud barusan, kompeten dan berpengalaman, sama seperti anak Mama yang satu ini. Kamu harus optimis dan yakin dengan potensi yang kamu punya,” nasihat Bu Ranti. Bu Ranti adalah orang yang paling tidak bosan menasehati Andin ketika Andin berada dalam situasi pesimis. Maka dari itu, Bu Ranti harus selalu menggenjot keoptimisan Andin agar mau mengeksplor lebih jauh tentang potensinya itu. “Ma, apakah Mama merestui aku balik ke media lagi? Soalnya waktu dulu kan Mama merasa kesepian karena selalu aku tinggal ketika liputan, menulis, dan lainnya,” ucap Andin. “Nak, Mama sudah merelakan kamu untuk mengembangkan di bidang jurnalistik, karena itu sudah menjadi daya tarik kamu, kan?” jelas Bu Ranti. “Tapi maaf ya, walaupun dalam hati kecil Mama berkata bahwa Mama ingin sekali kamu mendalami ilmu kimia seperti mimpi Mama menjadi ilmuwan,” sambung Bu Ranti. Andin yang paham sekali keinginan Bu Ranti sejak Andin duduk di bangku kelas 1 SMA, Andin bertekad akan mewujudkannya. “Tenang, Ma, kalau pun masuk di jurusan Kimia adalah rezeki Andin ya terbaik, hal itu akan Andin lakukan semaksimal mungkin,” tutur Andin. Bu Ranti senang mendengar tuturan Andin yang makin hari makin dewasa, dan bisa memilah mana yang baik mana yang buruk. Bu Ranti memeluk erat anak tunggalnya itu dan mencium rambut Andin. “Mama sayang Andin, yang pasti Andin harus jadi orang yang selalu baik dan bermanfaat dari orang lain ya,” ungkap Bu Ranti sambil mencium rambut Andin lagi. Andin merasa hangat dipeluk oleh Bu Ranti, Andin menorehkan senyum dan menutup matanya. “Terima kasih bidadariku yang paling kuat,” bisik Andin ke Bu Ranti. Kemudian, seperti ada sinyal yang diterima oleh Andin saat itu. Seketika saja Andin terbayang-bayang sosok Hana dan Ayu yang ada di kafe tadi. Memang, sebelum pergi dari kafe tersebut, Andin sudah menyimpan banyak pertanyaan untuk Ayu, terlebih dengan adanya kejadian Hana yang pingsan saat bekerja. Andin melepas pelukan Bu Ranti perlahan dan meminta izin untuk pergi ke kamarnya, “Ma, aku masuk ke kamar ya, capek banget nih, mau istirahat,” izin Andin sambil tersenyum. “Oh iya, silahkan, Nak. Jangan lupa cuci kaki dahulu sebelum naik ke tempat tidur dan ganti bajunya ya,” ujar Bu Ranti. “Hmm, Ma, aku gak usah ganti baju aja kali ya, sekalian kotor ini baju, kasihan Mama banyak cucian nantinya,” Andin tak setuju. “Bukan begitu, Nak, baju dan celana yang kamu pakai dari luar itu sudah banyak debu dan kotoran yang menempel. Coba aja kamu pakai lagi itu sambil kamu tidur, Mama bisa jamin kalau kamu bakal gak nyaman dan akan mimpi buruk!” terang Bu Ranti. Andin yang percaya tidak percaya dengan ucapan Bu Ranti itu, memilih untuk menuruti saja apa kata Bu Ranti. “Iya deh, tapi jangan mengeluh ya kalau banyak cucian di dapur,” tukas Andin yang langsung pergi ke kamar tidurnya serta mengganti bajunya. “Hopppp!” selamat tinggal baju kotor dan berdebu,” ucap Andin ketika sudah memasukan baju dan celana kotornya ke dalam keranjang baju kotor. Andin melangkahkan kakinya menuju kamar tidurnya. Andin duduk di atas tempat tidurnya dan berusaha mencari kontak Ayu. “Duh, kok gak ketemu ya kontaknya, namanya Ayu ya kan, apa aku salah nama, ya?” ujar Andin. Andin tetap berusaha mencari nama kontak yang dimiliki Ayu. Dan, akhirnya Andin menemukan kontak baru yang diberi nama, “Tolong Kami,” spontan, judul nama kontak yang ditulis Ayu itu menimbulkan banyak pertanyaan lagi di benak Andin. “Hah? Tolong kami? Menolong Ayu dan siapa? Hana?” Andin mulai gusar menerka satu per satu pikirannya. Tanpa ba bi bu, Andin langsung menghubungi kontak yang tertulis “Tolong Kami,” itu. Terhubunglah dengan w******p dengan foto profil perempuan manis memakai topi hitam. “Selamat siang, maaf menggangu waktunya. Apakah benar ini nomor telepon Ayu? Jikalau benar, perkenalkan aku Andin,” Andin mengirimkan chat untuk Ayu. Andin melihat “last seen” dari Ayu, hanya berselang dua menit dari Andin mengirimkan pesan. Andin optimis Ayu akan membalas chatnya Andin lebih cepat. Namun, sudah ditunggu Andin selama tiga puluh menit, chat Andin pun tak kunjung dibalas. Alhasil, Andin yang sudah kelalahan sekali sejak dari tadi pagi, sampai-sampai ketiduran menunggu balasan chat w******p dari Ayu. Tring.... tring.... ponsel Andin berbunyi dan membuat Andin terbangun dari tidurnya. Hari menunjukkan pukul empat sore, dan Ayu baru saja membalas chat itu. “Halo, Andin, iya ini benar sudah terhubung dengan Ayu. Ada apa ya, Andin?” begitu balasan chat Ayu. Andin yang awalnya masih berat membuka mata, sontak matanya terlihat segar setelah tahu Ayu membalas pesan singkatnya. Dan jelas, Andin membalas chat itu secepatnya, mumpung Ayu masih dalam kondisi online. “Apakah kamu masih sibuk, Mbak? Jika tidak sibuk, boleh kah aku meminta waktunya Mbak untuk bertanya beberapa hal?” balas Andin. “Maaf ya Andin, aku masih bekerja di kafe nih. Bagaimana tunggu aku pulang dari kerja saja? Kira-kira pukul sebelas malam,” “Hmm, maaf, kalau malam jam segitu aku takut mengganggu waktu istirahatmu setelah seharian bekerja di kafe,” kata Andin yang tak enakan. “Tidak masalah, Mbak, nanti aku kabarin ya, maaf ini aku sudahi dulu ya chatnya, takut dilihat bos dan akan dimarahi,” pungkas Ayu. Andin pun memilih membaca saja chat dari Ayu dan memasang alarm diponselnya untuk mengingatkan malam ini harus menghubungi Ayu lagi. “Oke lah, kita pasang pengingat waktu pada pukul sepuluh dan setengah sebelas, semoga saja aku tidak ketiduran,” kata Andin yang sudah menyetel pengingat pada alarmnya. *** Saking penasarannya apa yang terjadi pada Naira, Bu Ari mengintip ke dalam kamar Naira lewat celah kecil yang sengaja dibuat Bu Ari. Maklum, semenjak kenal dengan Beni, Naira agak sedikit menunjukan kesedihan dan kekesalahannya. Ya, walaupun kesedihan dan kekesalan itu akan hilang kurang dari dua puluh empat jam. Ternyata, Naira sudah mengganti bajunya dengan baju tidur dan tertidur pulas di atas tempat tidurnya sambil memeluk guling birunya. “Uh, syukurlah, kayaknya Naira kecapean saja deh makanya wajahnya terlihat kusam sekali tadi,” ujar Bu Ari. Agar bisa membuat mood Naira kembali lagi, Bu Ari memutuskan untuk membuka kulkasnya dan mengambil satu buah alpukat. “Nah, kalau aku bikin alpukat smoothie, pasti Naira otomatis bakal senang!” bisik Bu Ari. Bu Ari pun mengupas buah alpukat itu dengan hati-hati dan mengambil daging buah alpukat yang menempel di kulitnya. Tak lupa, biji dan kulit dari alpukat itu dibuang. Daging alpukat yang segar itu diletakkan di dalam gelas dan dihancurkan dengan sendok pelan-pelan. Ketika daging alpukat sudah membentuk hancuran yang lembut, selanjutnya ditambahkan satu setengah sendok gula pasir. “Hmmm, lezat dan segar!” ucap Bu Ari sambil menciumi alpukat yang siap untuk disantap. Bu Ari pun menaruh segelas alpukat smoothie itu di atas meja makan dan sengaja diperuntukkan untuk Naira. “Nah, biar aku letakkan disini saja, nanti Naira tinggal makan deh,” kata Bu Ari.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN