“Berapa ya, Pak?” tanya Ayu kepada pengemudi ojek online ketika sampai di depan kontrakannya.
“Lima belas ribu, Neng,” jawab pengemudi ojek online itu.
Ayu pun mengeluarkan uang rupiah satu lembar sepuluh ribu dan satu lembar lima ribu. “Ini ya Pak uangnya pas. Terima kasih banyak, jarang loh Pak ada ojek online yang mau ambil penumpang di jam malam seperti ini,” tandas Ayu.
Pengemudi ojek online itu langsung menerima uang dari Ayu dengan sopan dan tak tertinggal senyumnya. “Terima kasih juga ya, Neng. Iya, saya sengaja narik ojek sampai malam begini karena tadi pagi sampai siang hanya dapat tiga penumpang, itu pun jaraknya sangat dekat,” kata si tukang ojek.
“Yang sabar ya, Pak, di jaman sekarang ini memang serba sulit untuk mencari uang. Apalagi ketika ada pandemi covid-19 setahun belakangan ini. Banyak yang di-PHK, pendapatan pun menurun. Bapak semangat terus ya cari nafkahnya untuk keluarga,” balas Ayu.
Si tukang ojek membalas lagi, “terima kasih atas semangatnya, Neng. Sebenarnya saya gak muluk-muluk untuk cari nafkah, bisa untuk makan keluarga dan biaya sekolah anak saya saja sudah lebih dari cukup,” tiba-tiba raut wajah tukang ojek itu tampak murung. Entah karena mengingat keluarganya di rumah, atau kelelahan setelah seharian ini bekerja hingga larut malam. Ayu yang tak tega melihat itu terlalu lama, segera mengizinkan si tukang ojek untuk pulang saja.
“Ya udah, Pak, jangan lupa jaga kesehatan dan jaga ibadahnya, itu yang terpenting. Oh ya Pak, Bapak boleh pulang kok, saya masuk dulu ya Pak,” kata Ayu.
“Oh iya, iya, Neng, silahkan,” ucap si tukang ojek yang menyalakan mesin motornya kembali. Seiring dengan langkah kaki Ayu untuk masuk ke kontrakannya, begitu pula motor si tukang ojek online menjauh dari posisi Ayu.
Krek.. krek.. krek.. Ayu membuka pintu kontrakannya yang ia tinggalkan sedari pagi. “Selamat malam, rumah kontrakan yang masih mau aku tempati meski aku sering terlambat dan nunggak ketika membayarnya,” seru Ayu seraya melangkahkan kakinya ke kamar mandi untuk membasuh kaki dan tangannya yang kotor.
Setelah itu, Ayu segera masuk ke kamar tidurnya dan mengganti pakaian kerjanya dengan baju tidur. Malam itu, wajah Ayu terlihat lelah dan memang segera ingin merasakan nikmatnya tidur. Ayu pun merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur, dan ketika Ayu sudah ingin sekali terlelap, mengingat sesuatu hal tentang Andin.
“Oh iya, aku lupa untuk membalas chatnya Andin,” Ayu mencari-cari ponselnya dari dalam tasnya dan menggapainya. Ayu membuka aplikasi w******p dan menekan kolom chat yang sudah disimpan kontaknya dengan nama, “Andin.”
“Andin, maaf aku baru membalas chatmu, aku baru saja pulang dari kantor dan sekarang sudah di rumah,” Ayu mengirimkan chat lewat w******p kepada Andin.
Ayu juga baru sadar kalau Andin sempat menelponnya ketika Ayu masih berada di atas motor ojek online. “Maaf, Andin, kamu tadi menelpon aku, ya? Aku tadi lagi di jalan, sangat tidak memungkinkan mengangkat teleponmu di atas motor, aku takut ponselku dirampas orang jahat, hehe,” Ayu mengirimkan chat lagi ke Andin.
Apalah daya, jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Andin yang sudah offline dari beberapa menit yang lalu akan tidak mungkin membalas chat Ayu. Apalagi ini sudah waktunya istirahat, pasti tidak mungkin Andin tiba-tiba terbangun untuk membalas chat dari Ayu.
“Hmm, sepertinya Andin sudah tidur, ya udah lah mungkin bisa dilanjutkan lain hari saja,” ucap Ayu yang pesimis.
Ayu yang juga kelelahan, memilih untuk tidak menunggu balasan chat dari Andin. Ayu memilih menaruh ponselnya di meja dalam kamarnya, dan tidak lupa memasang alarm untuk besok pagi bekerja.
“Lebih baik aku tidur dan istirahat saja, seharian ini capek sekali,” keluh Ayu. “Hmm, besok pagi harus turun kerja lagi tanpa kompensasi waktu. Pasang alarm dulu lah jam 5 pagi biar gak telat,” seru Ayu yang memasang alarm lewat ponselnya.
Merasa alarmnya sudah terpasang dengan baik, Ayu juga mengambil gulingnya dan dipeluknya. Sambil memejamkan kedua matanya dan berdoa, Ayu selalu mengatakan hal ini sebelum masuk dalam tidurnya, “selamat malam dan selamat beristirahat Papa dan Mama yang sudah berada di pangkuan Tuhan,” ucap Ayu sambil tersenyum manis dan mulai beristirahat.
***
Tring.. tring.. tring.. alarm Ayu yang sudah ia pasang sejak tadi malam sudah berbunyi sebanyak tiga kali. Kelopak mata Ayu benar-benar masih ingin menikmati tidur panjangnya. Kelopak mata Ayu yang memang sipit itu dipaksa untuk terbuka untuk menyambut hari baru.
“Duh, aku ngerasa cepat banget ya tidurnya, tau-tau udah jam lima pagi aja,” ucap Ayu dengan kedua matanya yang masih menyipit. Ayu yang masih terkantuk itu, harus melawan kantuknya untuk berangkat bekerja pagi ini. “Semangat semangat semangat bekerja untuk menghidupi diri sendiri!” kata Ayu dengan mengepalkan kedua tangannya.
Ayu turun dari tempat tidurnya, segera membasuh dirinya untuk mandi pagi, dan memakai pakaian kerja seperti biasanya. Ketika pakaian itu sudah terpakai rapi, Ayu juga mengambil sebotol pafum yang ia simpan di atas laci cokelat dan disemprotkannya ke leher, bahu, dan pergelangan tangannya.
“Hmmm, wanginya sedap sekali, benar-benar seperti parfum mahalan, padahal ini parfum aku beli lima belas ribu dapat dua!” seru Ayu sambil tertawa kecil.
Ayu yang merasa sudah rapi dan siap untuk bekerja, ia mengambil sepatu kets hitam putih yang telah ia letakan di dekat pintu keluar. Dipasangkannya sepatu itu ke kakinya yang putih, dan tak lupa ditali agar Ayu tidak tersandung.
“Aku sudah siap bekerja, sekarang aku akan memesan ojek online seperti biasanya,” ujar Ayu yang langsung membuka ponselnya. Ayu yang tidak menunggu lama untuk kehadiran ojek online, merasa terbantu. Dengan begitu, ia pasti tidak akan mungkin telat untuk sampai ke tempat kerja. Dan ternyata benar, hanya menunggu sekitar lima menit saja, ojek online itu sudah datang dengan tersenyum pada Ayu.
“Selamat pagi, Mbak Ayu, ya?” tanya tukang ojek online sambil mencocokan wajah Ayu dari aplikasinya.
“Iya benar,” jawab Ayu sambil mengangguk.
“Baik lah, silahkan langsung naik aja Mbak, dan kita segera berangkat!” seru tukang ojek online dengan wajah bahagia.
“Siap, Pak!” balas Ayu yang tak kalah bahagia. Ayu pun naik ke atas motor dan berangkat menuju tempat kerjanya. Brum.. brum.. brum.. dan motor ojek online itu segera menjauh mengikuti arah peta yang diinstruksikan Ayu pada aplikasi.
***
“Andin, Andin, ayo bangun, Nak!” seru Bu Ranti sambil mengetok pintu kamar Andin.
Namun, tidak ada balasan sama sekali dari Andin. Tok.. tok.. tok.. Bu Ranti mengetuk lagi pintu kamar Andin karena dirasa Andin tidak mendengar. Ketika ketukan yang dilakukan Bu Ranti sebanyak lima kali, barulah Andin terbangun walau dengan kondisi matanya yang masih buram.
“Hmm, iya, Ma, aku bangun kok ini,” ucap Andin sambil mengucek kedua matanya supaya bisa melek.
“Bangun ya Nak, Mama sudah siapkan sarapan tuh di ruang makan. Segera mandi dan sarapan bersama Mama, Mama tunggu di ruang makan, ya,” sahut Bu Ranti. Bu Ranti yang sudah berhasil membangunkan Andin, kini kembali ke ruang makan untuk menyantap sarapan yang baru saja ia buat.
Begitu pula Andin, walaupun matanya masih sulit untuk dibuka lebar, Andin tetap bangkit dari tempat tidurnya dan mengambil handuk untuk mandi pagi. Setelah itu, Andin keluar dari kamar tidurnya untuk menuju kamar mandi dengan sayup-sayup langkah kakinya.
“Bangun Andin bangun!” Bu Ranti teriak pelan ketika melihat Andin yang jalannya masih sempoyongan.
“Iya, Ma, ini sudah bangun kok, buktinya saja sudah bisa jalan,” balas Andin dengan kondisi kedua matanya yang masih setengah terbuka.
“Iya kamu bisa jalan, tapi itu bisa gak kamu lewat jalan yang bener. Jalan ke kamar mandi bukan kesana!” balas Bu Ranti yang melihat Andin salah arah ketika mau ke kamar mandi.
Spontan saja Andin membuka matanya lebar-lebar dan melihat bahwa ia sedang menuju teras rumah. “Astaga, aku kok bisa tidak tau arah ke kamar mandi sih?” ujar Andin yang merasa sedikit malu di depan Bu Ranti.
“Makanya kalau disuruh bangun itu bangun, Nak, kamu itu bangun tapi pikiran kamu masih di tempat tidur tuh,” tutur Bu Ranti. “Ayo, ganti arah cepat sana menuju kamar mandi, mandinya pakai air dingin saja biar kamu benar-benar melek!” sahut Bu Ranti.
“Hmm, iya, iya, Ma, santai saja,” kata Andin. Andin yang sudah lumayan sadar itu, langsung membalikan arah ke kamar mandi dan memasuki kamar mandi tersebut untuk mandi.
Selang sepuluh menit kemudian, Andin sudah selesai membasuh diri dan tampak harum dengan rambutnya yang masih basah. Andin menuju ke ruang makan sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk yang sudah ada di tangannya.
“Wah, enak sekali menu sarapan hari ini,” seru Andin dengan wajah bahagia, dan segera menduduki kursi kosong yang ada di depan Bu Ranti.
“Iya, lah, kebetulan tadi pagi di kasih sama tetangga sebelah namanya Pak Ali. Pak Ali ngasih cumi satu kilo. Kita kan jarang banget tuh makan cumi, jadi Mama inisiatif masak ini khusus untuk kamu dengan saus lada hitam,” terang Bu Ranti.
“Syukurlah, masih ada orang baik yang mau ngasih cumi seenak ini. Ayo Ma kita makan, perutku sudah lapar dan keroncongan dari tadi,” ungkap Andin sambil mengelus perutnya.
“Ayoooo,” ujar Bu Ranti tak kalah serunya.
Lalu, Bu Ranti mengambilkan dua piring kosong untuk dirinya dan Andin. Tak lupa, Bu Ranti selalu mengambilkan nasi untuk Andin, karena Andin suka gak habis kalau ambil sendiri. Ketika giliran Bu Ranti mengambilkan Andin cumi lada hitam..
“Ma, untuk urusan cumi biar aku saja yang ambil ya, aku pengen banget!!!” tawar Andin.
Bu Ranti tersenyum. “Oke deh, tapi kamu jangan ambil banyak-banyak ya, ambil dan makan seperlunya saja biar bisa kita makan dua kali, hehe,” perintah Bu Ranti.
Tanpa basa-basi, Andin segera mengiyakan perintah Bu Ranti dan mengambil cumi saus lada hitam sebanyak lima sendok.
“Hmmm, pasti ini lezat sekali deh, hal itu bisa tercium dari aromanya saja,” ujar Andin sambil menghirup uap panas dari hidangan cumi saus lada hitam.
“Hehhhh! Kok kamu banyak banget ngambilnya, emang habis segitu?” ucap Bu Ranti yang kaget melihat Andin meraup segitu banyak cumi ke dalam piringnya.
“Ehehe pasti habis kok, Ma, jangan khawatir, kan aku sedang lapar sekarang,” tutur Andin mencoba beralasan ke Bu Ranti.
“Beneran ya, Nak? Kalau makanan itu tidak habis, kamu Mama apain?” kata Bu Ranti yang menorehkan tatapan sedikit tajam ke Andin.
“Gak diapa-apain lah, emang mau diapain?” ejek Andin sambil menjulurkan lidahnya, “wlee.”
“Andin, kamu harus belajar tidak serakah terhadap apapun. Contohnya saja seperti makanan ini, kamu mengambil terlalu banyak. Mama aja yang doyan makan gak yakin bisa habisin segitu banyaknya, apalagi kamu,” jelas Bu Ranti.
Andin mendecak dan tidak setuju dengan penjelasan Bu Ranti, “Ma, jangan samakan aku dengan diri Mama dong, umur kita udah beda, porsi makannya pasti udah beda, apalagi berat badan kita, beda jauhhhhh,” ledek Andin lagi.
“Udah, udah, yang penting kamu habiskan saja itu cumi saus lada hitam yang sudah kamu ambil, jangan sampai ada yang tersisa ya!” Bu Ranti memperingatkan Andin yang sedari tadi terus saja membantah.
“Siap, Mama Ranti yang paling cantik sekomplek ini!” ucap Andin sambil menjawil pipi Bu Ranti. Andin jadi ketawa-ketiwi sendiri melihat raut wajah Bu Ranti yang terlalu jengkel karena Andin terlalu banyak mengambil cumi saus lada hitam untuk sarapan pada pagi hari ini.
Dan Andin serta Bu Ranti mencicipi hidangan sarapan pagi itu dengan khidmat. Andin dan Bu Ranti menikmati dengan suka cita, tanpa ada pembicaraan apapun selama makan berlangsung. Malahan, yang terdengar hanya lentingan piring, sendok, dan garpu yang mereka pakai. Ting.. ting.. ting.. Memang bukanlah pembicaraan yang terjadi di ruang makan itu, tapi sesekali Andin memberikan jempol kepada Bu Ranti ketika suapan cumi saus lada hitam mendarat ke dalam mulutnya. Selang beberapa menit kemudian, Andin menghentikan makannya lantaran perutnya sudah terlalu kenyang. Padahal, masih ada sisa 3 buah cumi saus lada hitam di atas piringnya.
“Ma, hehehe,” Andin menegur Bu Ranti dengan tersenyum.
“Hmmm?” Bu Ranti seperti tau apa maksud senyuman dari Andin. Bu Ranti pun melirik piring yang ada di depan Andin. “Habisin, habisin, habisin!” balas Bu Ranti yang membuat Andin manyun.
“Ma, aku sudah kenyang, Ma, serius deh,” Andin mengelus perutnya yang mulai membesar itu. “Kalau malah diteruskan dan dipaksa makan lagi, perut aku bisa meledak kayak bom atom Hiroshima dan Nagasaki, tuh!” Andin memperlihatkan perutnya yang membesar ke Bu Ranti. Andin berharap Bu Ranti akan memaklumi apa yang terjadi kepada Andin.
“Gak!” begitu kata Bu Ranti ketus.
“Yah, Mama, jangan ketus gitu dong, ini perut aku sudah sakit banget,” Andin mengelus lagi perutnya yang tampak membesar itu.
“Siapa suruh ngambil lauk kebanyakan, kamu sudah Mama kasih tau loh diawal. Jangan ambil lauk kebanyakan, nanti kamu gak habis, masih aja ngeyel dan protes terus,” kata Bu Ranti halus, namun Andin yakin itu adalah sebuah omelan untuk diri Andin yang tukang protes.
“Maaf deh Ma, maaf, lain kali aku gak ngulangin kesalahan yang sama deh. Lain kali kalau makan kapan aja, aku minta bantuan Mama untuk ngambilin, deh,” ujar Andin memanja ke Bu Ranti.
“Itu tuh balasan bagi anak yang serakah dan tidak nurut terhadap orang tua,” pungkas Bu Ranti yang beranjak dari kursi makan. Bu Ranti membawa piring dan gelas kotor, sendok, serta garpu miliknya ke bagian wastafel cuci piring. Sementara piring, gelas, sendok, dan garpu milik Andin dibiarkan tergeletak di atas meja makan begitu saja.
“Mama mau kamu habisin itu, gimana pun caranya asal tidak dibuang!” Bu Ranti melewati Andin dan mencuci peralatan makan yang kotor ke wastafel cuci piring.
“Ma, bagaimana kalau Mama saja yang menghabiskan cumi saus lada hitam yang tersisa ini?” tanya Andin yang agak sedikit tak yakin kalau ini pertanyaan sopan.
“Gak mau, bisa-bisanya kamu memberikan ibumu sendiri makanan sisa. Sisa kamu sendiri pula, anak macam apa itu,” tandas Bu Ranti yang kini asik menyalakan air wastafel untuk membersihkan piring, gelas, sendok, dan garpu yang kotor itu.
Andin tampak kecewa ia tidak berhasil mengabiskan cumi saus lada hitam yang kebanyakan ia ambil barusan. Terlebihnya lagi, Andin tidak berhasil merayu Bu Ranti agar dimaafkan atau minta dihabiskan sisa lauknya oleh Bu Ranti.
Tin.. tin.. tin.. suara mobil memberikan isyarat klakson, tepat berada di depan rumah Andin dan Bu Ranti.
“Andin, tolong lihat ke depan sana siapa tamu yang datang hari ini,” perintah Bu Ranti.
Andin bergegas berdiri, namun krauk.. krauk.. krauk.. perut Andin berbunyi lagi dan kali ini sakitnya sudah tidak tertahan lagi. “Ma, maaf aku gak bisa jalan ke depan, perutku sakit banget ini, sepertinya aku harus segera masuk ke kamar mandi, deh,” ujar Andin yang memeluk perutnya yang sakit menggunakan dua tangannya.
Bu Ranti yang sudah selesai membersihkan piring, gelas, sendok, dan garpu tadi langsung menjawab, “ih dasar, sana sana kamu ke kamar mandi aja. Bisa gawat nantinya kalau kamu mengeluarkan kotoran di lantai sini,” kata Bu Ranti dan bergegas ke pintu depan untuk membukakan pintu. Sementara Andin cepat melangkahkan kaki ke kamar mandinya.
“Selamat sore, Tante Ranti,” sapa si pengemudi mobil yang ternyata Beni.
Bu Ranti yang mengetahui Beni baru saja datang, spontan melengkungkan senyum ke arah Beni.
“Hei, Nak Beni, ayo mari masuk-masuk,” Bu Ranti mempersilahkan Beni untuk duduk di sofa yang berada di ruang tamu. “Ada perlu apa ya Nak Beni repot-repot kesini?” tanya Bu Ranti yang juga duduk di sofa, tepat di depan Beni.
“Ya sebenarnya hanya main saja sih, Te, sekaligus aku mau mengajak Andin ke luar sebentar menemani aku ketemu klien,” ucap Beni.
“Wah, klien apa tuh kalau boleh tau?” Bu Ranti kepo.
“Jadi aku ingin membuat projek kayak SEO gitu untuk klien yang ingin memasarkan produk atau bisnisnya. Kebetulan ada satu temanku yang berminat, ya itung-itung membesarkan media juga,” terang Beni.
Bu Ranti pun mengangguk, dan tak lama datanglah Andin dari balik pintu kamar mandi.
“Eh ada Kak Beni datang, ada perlu apa, Kak?” Andin antusias dengan kehadiran Beni, ikutan duduk di sofa.
“Hehehe, apakah aku harus mengulang lagi, Te?” Beni melirik Bu Ranti dengan bibir seolah ingin tertawa.
“Hah? Apakah Mama malah lebih tau dibanding aku? Ih kok Kak Beni malah cerita ke Mama sih, bukan ke aku,” ujar Andin tidak terima.
“Siapa suruh di kamar mandi lama banget!” seru Bu Ranti tepat di telinga Andin.
“Kan sakit perut, Ma,” Andin pun manyun.
Tidak ingin melihat perdebatan itu terus berlangsung, Beni langsung melerai Andin dan Bu Ranti.
“Sudah, sudah, tidak usah berdebat. Jadi gini, Din, aku mengajak kamu untuk menjalankan bisnis menulis SEO, itung-itung untuk jam terbang kamu lah. Dan, dalam rangka memperkenalkan media baru kita ke klien, sih,” jelas Beni.
Andin yang tidak paham apa yang dijelaskan Andin, hanya bisa menyeritkan dahinya. “Hah? Menulis SEO? Memangnya SEO itu apa? Apakah salah satu dari teknik menulis, atau SEO itu genre dari sebuah tulisan?” pertanyaan bertubi dilontarkan Andin.
Beni tertawa ringan melihat Andin yang kepo sekali dan belum mengerti apa yang dimaksud SEO itu. “Oh maaf, kamu sama sekali belum tau ya, baik lah akan aku jelaskan,” sahut Beni.
“Ayo lah, jelaskan saja sekarang, Kak. Agar aku gak kepo sekali perihal itu,” pinta Andin.
“Aku akan menjelaskan, tapi bisakah aku jelaskan di luar saja?” ucap Beni.
“Hah? Di luar? Di teras atau halaman rumah gitu ya maksudnya, ayo lah udara di luar kan juga lebih segar daripada di dalam sini.” Andin yang memang setuju itu langsung beranjak dari tempat duduknya.
“Andin, bukan di luar teras atau halaman gitu maksudnya Nak Beni. Tapi, Nak Beni mengajak kamu ke luar untuk bertemu klien dan membahas projek kalian yang berkenaan dengan SEO,” terang Bu Ranti.
Beni pun menjentikkan jarinya, “nah benar, itulah yang aku maksud tadi. Tante Ranti cerdas sekali, mampu membahasakan ulang bahasanku tadi,” Beni tertawa.
“Ayo lah Andin, sekarang pergilah ke kamarmu dan gantilah bajumu. Biar Nak Beni menunggu kamu bersiap-siap. Bukan kah begitu, Nak Beni?” ujar Bu Ranti.
“Pilihan yang tepat, Te!” Beni menjentikkan jarinya lagi.
Andin yang hanya menuruti perintah Bu Ranti, bergegas menuju kamar tidurnya dan mengganti pakaian mana yang cocok untuk dirinya. Dan pilihan Andin jatuh kepada baju berwarna biru muda dengan motif polkadot hitam. Setelah itu, rok sedengkul berwarna putih gading juga ia pakai. “Perfecto!” seru Andin yang senang sekali melihat penampilannya di depan cermin.
Sekitar dua puluh menit kemudian, Andin keluar dari pintu kamarnya dan tiba-tiba saja pandangan Beni langsung mengarah ke Andin. Andin yang terlihat feminim dan manis itu, aneh saja bisa membuat d**a Beni berdegup kencang. Beni pun malah tak dapat berkutik ketika Andin berkata di dekatnya, “Kak Beni, aku sudah siap, aku sudah siap sekarang,” Andin memperlihatkan penampilannya dengan memutarkan badannya ke kiri dan ke kanan.
Beni menelan ludahnya dalam-dalam. Ia merasa seperti melihat bidadari mungil yang turun entah dari mana asalnya. “A.. A.. Andin?” Beni seketika saja gugup.
“Iya, ada apa, Kak?” Andin malah menatap kedua mata Beni, dan membuat d**a Beni berdegup kencang lagi.
“Oh, ti.. ti.. tidak, Andin, ayo kita pergi ke luar sekarang, ya..” ujar Beni.
Bu Ranti yang sudah menyetujui ajakan Beni dari tadi, lalu berkata, “Ayo Andin, cepetan, mana tasmu? Pakai ya pakai yang benar!” Bu Ranti seolah ribet sendiri.
Beni tersenyum melihat keantusiasan Bu Ranti ketika Beni mengajak Andin keluar. Dalam hati kecil Beni berkata, “Semoga saja nantinya aku akan memiliki mertua seperti Bu Ranti, auranya selalu positif setiap kali aku bertamu ke sini.”
“Terima kasih ya, Te sudah mengizinkan aku mengajak Andin untuk keluar sebentar,” kata Beni.
“Ah sama-sama, kan kalian keluar bukan untuk nakal-nakal, tapi untuk bekerja dan mencari wawasan baru,” balasan Bu Ranti.
Andin dan Beni pun melangkahkan kakinya ke teras rumah dan memakai sepatunya masing-masing.
“Te, aku pergi dulu, ya,” ujar Beni.
“Ma, aku juga ikutan pergi dulu ya sama Kak Beni,” ucap Andin selanjutnya.
Beni dan Andin kemudian masuk ke dalam mobil putih jazz milik Beni yang sudah terparkir di halaman rumah.
“Dadah, hati-hati Andin dan Nak Beni,” kata Bu Ranti sambil melambaikan tangan melihat mobil jazz putih itu berjalan ke luar gang.