Naira baru saja selesai membasuh dirinya di kamar mandi. Air yang mengaliri tubuh putihnya menambah kesegaran dalam diri Naira. Belum lagi sabun beraroma green tea yang diusapkan di badan Naira itu menambah mood Naira lagi.
“Tut.. turut.. tut.. tut,” Naira keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut sebahunya itu dengan handuk merahnya.
“Naira, dari tadi ponsel kamu berbunyi terus. Cobalah kamu lihat, siapa yang terus menerus menelpon kamu, barangkali ada hal yang penting,” sahut Bu Ari, ibu Naira yang sedari tadi asik membaca koran di depan TV.
Naira melemparkan senyum ke Bu Ari, lalu ia menggapai ponselnya yang tergeletak di meja tepat di depan Bu Ari. Naira menekan ponsel “ON” dan kemudian dilihatnya nama Beni yang berkali-kali menelpon dirinya. Bibir Naira yang tadinya datar akibat kedinginan setelah mandi, kini mulai melengkung di sela-sela kiri dan kanan bibir. Ya, tiba-tiba saja bibir Naira begitu bergelora, melengkungkan senyuman setelah membaca nama Beni yang mampir di ponselnya.
“Siapa yang dari tadi menelponmu, Nai?” tanya Bu Ari.
“Beni, Bu,” jawab Naira singkat.
“Oh kamu masih berhubungan dengan dia?” tanya Bu Ari lagi.
Naira pun mengangguk, “iya, bu, sejak aku bekerja di redaksi media lokal di kota ini,” terang Naira.
“Jadi selama ini kamu satu kantor dan satu ruangan bersama Beni?” lanjut Bu Ari.
“Iya, Bu, hampir tiap hari aku bersama dirinya,” kata Naira.
Bu Ari tak melanjutkan pembahasan itu, yang terpenting Bu Ari paham kalau selama ini Naira berat meninggalkan pekerjaannya di jurnalistik ya karena ada Beni di sampingnya, “Apakah Naira masih memiliki perasaan yang dalam untuk Beni?” terka Bu Ari dalam hati.
Pasalnya, Naira suka senyum-senyum manis ketika di layar ponselnya tertera nama Beni. Baru saja Bu Ari membatin, Naira sudah senyum-senyum dan masuk ke kamar tidurnya sambil tetap menatap ponselnya.
“Awas ya cinta lama bersemi kembali,” teriak Bu Ari sembari melihat Naira masuk ke kamarnya.
“Ih, Ibu apaan sih,” balas Naira tak kalah keras.
***
Sekitar lima belas kali Beni mencoba menelpon Naira, akhirnya diangkat juga, “Iya, ada apa Ben?” Naira mengangkat teleponnya.
“Nai, aku minta maaf ya karena janjian tadi aku seenaknya membatalkan,” balas Beni.
“Iya, aku maafkan kok, aku terbawa emosi aja kemarin itu sekaligus bateraiku habis jadi tiba-tiba saja memutus teleponmu,” jelas Naira.
“Oh berarti tadi itu bateraimu habis? Wah aku sudah gelabakan kalau kamu akan marah padaku,” ujar Beni dengan perasaan yang sedikit tenang. Ketakutan akan Naira yang akan marah besar pada Beni, kini tidak terjadi.
“Ya untuk saat ini aku tidak marah padamu, tapi jangan dibiasakan ya,” ucap Naira.
“Iya, siap, siap. Jadi kapan nih kita bisa bertemu berdua? Aku sudah tidak sabar,” Beni antusias.
Mendengar perkataan Beni yang begitu antusias, kepala Naira mulai menegak, lehernya dijenjangkan, dan posisi duduk silanya dirapikan di atas tempat tidur. “Apa? Kamu sudah tidak sabar bertemu aku, ya?” tanya Naira memastikan. Naira pun tidak sabar menunggu Beni membalas, “Ya!”
“Iya, tidak sabar untuk berdiskusi tentang media yang kita buat, bukan yang lain ya, ingat,” cakap Beni. Jawaban “ya” sebenarnya sudah membuat Naira bahagia, akan tetapi kalimat setelahnya yang dikeluarkan Beni itu membuat Naira tidak senang. “Ckck, sialan, aku gak jadi melting karena Beni!” gerutu Naira dalam hati. Naira pun memancungkan bibirnya, dan tidak membalas pernyataan Beni untuk dua belas detik.
“Nai, Naira? Halo, apakah kamu masih berada di telepon ini?” sahut Beni yang mencoba menghubungkan suara ke Naira.
“Eh, eh, iya, masih, kok Beni,” balas Naira yang lamunannya buyar.
“Kamu lagi ngapain, Naira? Sampai-sampai teleponku ditinggalkan seperti itu,” tanya Beni.
“A, a, aku tadi gak ngapa-ngapain, cuma lagi memikirkan sesuatu, sih,” jawab Naira agak kaku.
“Sesuatu yang sangat berat, kah? Kalau iya, lebih baik kita akhiri telepon ini saja,” tawar Beni. “Aku tidak ingin menambah beban pikiranmu,” sambung Beni.
“Eh, bukan, Ben. Udah, gak apa-apa kok, gak usah khawatir lah. Oh ya, kamu tadi mau ketemu kapan sama aku?” Naira lalu mengalihkan pembicaraan.
“Besok gimana? Lebih cepat lebih baik, lah,” kata Beni.
“Bukankah besok kamu harus kerja? Kita harus kerja woy, nanti Kinan marah-marah lagi,” Naira menolak tawaran Beni yang beresiko itu.
“Jadi kamu takut nih kalau Kinan marah-marah? Pengecut ah, ahahaha,” ledek Beni.
“Gak takut Kinan marahnya, takut tiba-tiba dipecat dan aku jadi pengangguran untuk waktu yang cukup lama,” Naira menjelaskan maksudnya.
“Sudahlah, kalau kamu dipecat kan kamu bisa bekerja denganku untuk memperbesar media kita,” kata Beni.
“Ih, enggak ah. Aku kan sudah bilang sama kamu kalau media kita ini bukan untuk mata pencaharian utama, melainkan konter media mainstream yang ada di kota ini,” balas Naira menekankan maksudnya.
“Iya, iya, selow aja, Nai. Besok kita ketemu jam 10 pagi di kafe Irama Madu, gimana?” ajak Beni.
“Hey! Udah aku kasih tau ke kamu kan, kita itu besok kerja,” balas Naira.
“Besok tanggal merah woy! Kita kan libur kalau tanggal merah, semangat sekali kamu mau bekerja biarpun tanggal merah,” mendengar penjelasan itu, Naira melirik kalender yang tertempel di dinding kamarnya. 11 Maret 2021, ya itu tanggal merah peringatan Isra Mi’raj.
“Astaga saking sibuknya aku sampai lupa tanggalan,” ucap Naira menepok jidatnya.
“Tuh kan, kamu sih, jangan kebanyakan mikir deh, santai saja. Hmm, jangan-jangan kamu masih sering mikirin aku, ya?” canda Beni.
“Sok tau eh, kepedean sekali. Gak baik loh kalau jadi orang kepedean!” balas Naira yang padahal di dalam hatinya sudah kesemsem bak dapat doorprize hadiah menarik.
“Ih siapa bilang? Justru kepedean itu membuat semuanya lancar dan istimewa,” Beni tak mau kalah.
“Udah ah, gak penting banget bahasan ini. Eh berarti besok jadi ketemu kan di kafe Irama Madu jam 10 pagi?” Naira mengulang perjanjian yang dibuat Beni.
“Yu hu! Aku tunggu ya, bye! Jangan lupa siapkan bahan-bahan pembicaraan kita yang dirasa sangat penting. Jadikanlah pertemuan ini menjadi sesuatu yang tidak boleh untuk dilewatkan,” tegas Beni.
Naira tersenyum ringan dan membalas, “iya, iya, awas aja besok malah membahas pembahasan di luar kesepakatan! Pokoknya kita bahas mengenai strategi media indie kita, ya,” jawab Naira.
“Benar! Oke, sampai jumpa besok dan selamat beristirahat,” Beni langsung menutup teleponnya. Begitu juga Naira.
Naira merebahkan badannya ke tempat tidur empuknya, memandang langit-langit kamarnya sesekali tersenyum mengingat Beni yang barusan menelponnya.
“Besok jam 10 pagi di kafe Irama Madu, kafe dimana Beni menanyakan kepada diriku apakah mau menjadi pacarnya,” kenang Naira sekitar dua tahun yang lalu. Ya, kejadian itu sontak terlintas di pikiran Naira tentang masa-masa Indah nan romantis bersama Beni, cinta pertamanya.
Flashback dua tahun lalu…
Lampu kuning terang menghiasi sudut-sudut ruangan yang di pintu utamanya tertulis, “Kafe Irama Madu.” Meja-meja bundar yang terbuat dari ulin tersebut, diduduki beberapa pengunjung yang siap menyantap makanan dan minuman yang disajikan. Begitupun dengan dua sejoli yang duduk di sudut kanan, dekat panggung penyanyi kafe.
“Naira, kamu sudah pesan makanan?” tanya Beni dengan lembut.
“Sudah, aku hanya pesan sourdough, bagaimana denganmu?” jawab Naira sekaligus bertanya ke Beni, satu-satunya lelaki yang berada di hadapan Naira.
“Belum nih, aku masih bingung mau pesan apa. Menurutmu dingin begini enak makan spaghetti Bolognese atau sushi salmon, ya?” tanya Beni sambil menatap dua bola mata Naira yang tajam menatap ke arahnya. Naira yang baru pertama kali kencan dengan seorang lelaki yang diidolakannya, seketika merasa seluruh tubuhnya begitu tegang dan enggan berkomentar.