Flashback (lagi)

1151 Kata
Lamunan Naira seolah menari tak ingin berhenti walau sejenak. Ya, Naira masih mengingat kembali masa-masanya bersama Beni. Tepat sekali di ruang kafe berukuran mini itu, Naira dan Beni saling mengungkapkan perasaan. Masih flashback dua tahun lalu, tentang Naira dan Beni. “Oh, aku pesan spaghetti Bolognese saja, Ben,” jawab Naira yang cepat-cepat memalingkan wajah, tak melihat ke arah Beni. “Baiklah, sudah ya itu saja?” tanya Beni lagi. “Iya, itu saja, Ben. Oh ya, totalnya berapa?” jawab Naira sembali mengambil dompet yang berada di dalam tas hitamnya kala itu. Naira mengambil uang sebesar serratus ribu rupiah dari dalam dompetnya, dan disodorkannya ke Beni. “Ini,” ucap Naira sambil menyodorkan uang yang baru saja ia ambil dari dalam dompet. “Oh gak usah, biar pakai uang aku saja,” balas Beni yang enggan mengambil uang pemberian Naira. “Kok gitu? Kamu kan belum kerja, nanti uangnya habis terus dimarahin orang tuamu, gimana dong?” ujar Naira yang berusaha memberikan uang seratus ribuan tadi. “Naira, aku kan yang mengajak kamu ke sini untuk makan malam, dan aku sudah menabung sedikit demi sedikit uang khusus untuk acara malam ini,” terang Beni dengan tatapan mata yang tajam ke mata Naira. Naira menunduk, tak kuat menatap balik tatapan yang dilontarkan Beni. “Mengerti, Nai?” tanya Beni. Naira pun mengangguk. Beni langsung berdiri dari tempat duduknya dan berbalik badan menuju meja kasir. Lalu, Naira tersenyum senang seiring menatap pundak Beni dari belakang. *** “Nai, Naira, ini dokumen-dokumen kamu penting gak sih? Kok berserakan di lantai ruang tengah,” teriak Bu Ari, tepat di balik pintu kamar Naira. Lamunan indah yang tadinya sangat merona, seketika terhambur bak diterpa angina topan. Jreeet, lamunan yang melukiskan kenangan manis masa lalu pun terhenti akibat teriakan Bu Ari yang lumayan keras itu. “Eh, iya Bu, maafkan aku, setelah ini aku akan bersihkan kok,” Naira membalas ucapan Bu Ari. “Beneran ya, Nai? Kalau memang penting segera dibereskan loh, nanti ada yang hilang Ibu gak mau tanggung jawab,” Bu Ari memberi peringatan, masih di balik pintu kamar Naira. “Iya, Bu, Naira janji kok,” balas Naira. Bu Ari pun pergi meninggalkan bilik pintu tersebut dan kembali membaca koran di ruang tamu. Ya, Bu Ari yang sudah berusia enam puluh tujuh tahun itu masih saja segar dan tidak mau ketinggalan berita apapun di sekitarnya. Maka dari itu, Naira memutuskan untuk b**********n koran khusus untuk Bu Ari. Naira keluar dari kamar tidurnya dan bergegas menuju ruang tengah. Lembaran-lembaran dan map berwarna hitam putih pun turut memenuhi ruang tengah di depan TV. “Duh, aku paling malas kalau sudah membersihkan begini,” gerutu Naira. Mau tidak mau, Naira harus membereskan berkas-berkasnya sebelum Bu Ari yang membersihkannya dan memarahi Naira habis-habisan. Satu, dua, tiga, empat, hingga ke sepuluh, dokumen itu sudah tersusun rapi di dalam rak buku di sebelah meha TV. “Yes, akhirnya selesai juga, ini pinggang bener-bener encok, dah!” ujar Naira yang senang sudah membereskan dokumen yang berserakan. Naira pun merebahkan badan mungilnya di atas matras yang tergelar di depan TV. “Yak! Begini saja sudah membuatku lebih nyaman dan mengurangi lelahku,” ucap Naira sambil memijit-mijit pinggangnya. Tubuh Naira seolah direlaksasi di atas matras, Naira merasa lelahnya sedikit demi sedikit memudar. Belum lagi kepalanya yang sedari tadi kelelahan, sudah menemukan tempat sandarannya. Tak hanya itu, mata Naira yang seperti berkunang-kunang tadi mulai dipejamkan hingga akhirnya Naira tertidur. “Nai, aku sengaja mengajakmu ke tempat ini sekaligus mengulang masa lalu kita yang pernah begitu indah,” kata Beni, menatap dalam ke mata Naira. “Hmm, mengulang masa lalu seperti apa maksudmu, Ben?” tanya Naira penuh dengan tanda tanya. “Ah, kamu gak usah pura-pura gak tau, aku aja masih tau kalau kamu suka mengingat kejadian tentang kita dua tahun lalu,” jawab Beni yang membuat Naira semakin bertanda tanya. “Ben, gak usah suka membuat tebakan seperti itu deh. Kamu sendiri kan tau kalau aku paling tidak suka menjawab pertanyaan aneh dari kamu,” kata Naira. “Hehehe, iya deh, maaf, Naira, sungguh aku masih mencintaimu,” akhirnya, Beni mengakui maksud perkataannya yang tadi membuat Naira tanda tanya. Mendengar maksud Beni yang seperti itu, gelora bahagia dalam diri Naira mulai membabi buta, senyum di bibirnya sulit untuk tidak tersenyum. “Naira, aku sangat senang sekali melihat senyum indahmu itu lagi,” ucap Beni yang membuat Naira makin kalang kabut. Naira tak mampu berkata apapun. Bibirnya seolah membeku tak ingin bicara. Jadinya, Naira hanya tersenyum dan menginginkan waktu itu lebih panjang lagi untuk dirinya dan Beni. *** Dressss…. Dres… dres…. Air dingin yang berada dala ember hijau itu ditumpahkan begitu saja ke tubuh Naira. Naira yang tadinya sedang dalam gelora bahagia, seketika pecah dan tak kuat menahan dinginnya air yang mengenai raganya. “Rasain! Orang dari tadi dibangunin kok malah makin ngorok aja!” teriak Bu Ari dengan memegang ember hijau di tangan kanannya. Kemudian, tangan kirinya mengacak pinggang dengan mata yang sedikit melebar. “Hufff, huff, huff, Ibu!!!!! Jangan begini dong, airnya masih semua ke hidungku!” balas Naira yang berusaha mengeluarkan air yang terlanjur masuk ke lobang hidungnya. “Kamu sih kebiasaan jam segini tidur terus, gak baik!” kata Bu Ari. “Ibu, lagian namanya orang kecapean terus dia ketiduran kan gak bakal ngelihat waktu, bukan salah aku dong, Bu!” ucap Naira tak mau kalah. Merasa gemas dengan Naira, Bu Ari mengambil jam kecil di dalam kamarnya. “Naira, ini sudah jam berapa, coba lihat, ayo dilihat!” ujar Bu Ari sambil menunjuk jam kecil di tangan kirinya. Mata Naira yang masih samar-samar itu, tidak menjawab apa yang ditanyakan Bu Ari. Gimana mau menjawab, nyawa tidur belum terkumpul semua aja sudah disuruh mikir. Gak bisa lah, Bu! “Naira, ini sudah mau senja, sudah jam enam. Gak baik perempuan tidur jam segini,” cakap Bu Ari. “Kok gak baik bagi perempuan? Berarti bagi laki-laki, baik dong?” sahut Naira. “Ya sama aja, laki-laki dan perempuan gak boleh tidur ketika hari mau senja. Pamali!” jelas Bu Ari. “Ya elah Bu, jaman sekarang ini 2021 udah gak ada tuh pamali-pamalian. Lagian, itu kan gak akan kejadian. Dan, jangan musyrik, Bu!” balas Naira yang tak ingin kalah. “Kamu itu anak kecil tau apa, Ibu sudah banyak bukti dan cerita tentang hal itu dari nenek moyang terdahulu,” “Terserah Ibu saja lah, aku mau ganti baju dulu ah, kesel banget baju baru ganti udah ditumpahin air aja,” ucap Naira sambil beranjak dari matras dan kembali memasuki kamarnya. *** “Andin, serius?????????” tanya Beni yang tidak percaya berkali-kali lewat telepon ke Andin. “Aku harus bilang apalagi Kak supaya kamu percaya? Iya, aku beneran serius!” Andin memastikan ucapannya lagi. “Terima kasih ya Andin sudah mau membantu aku membesarkan media ini. Aku yakin media yang baru aku buat ini bisa memberikan pengalaman dan ilmu baru untuk kamu,” ucap Beni ke Andin. “Iya, Kak, semoga saja aku bisa mengambil banyak ilmu jurnalistik lewat media baru ini,” harap Naira. “Baiklah, kalau begitu kapan kita bisa berkumpul untuk membahas kelanjutan dari media kita? Kita akan membahas bagaimana strategi untuk menciptakan media yang berkualitas, produktif dan pastinya professional,” kata Beni serius. “Sebisanya Kak Beni dan rekan lainnya saja, aku ngikut deh,” pungkas Andin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN