Kurang lebih menghabiskan waktu selama tiga puluh menit, Bu Ranti, Andin, dan Beni selesai menyantap masakan buatan Bu Ranti. Ketiganya tampak puas mencicipi makanan lezat itu dan perut mereka sudah terasa kenyang. Lantas, mereka semua menyenderkan tubuh mereka masing-masing ke kursi makan untuk menurunkan makanannya yang ada di dalam perut.
“Wah, ternyata Tante Ranti masakannya enak-enak semua, ya,” ujar Beni yang mengelus-elus perutnya yang telah kenyang.
Bu Ranti tersenyum mendengar pujian dari Beni, “ah Nak Beni bisa aja bikin Tante senang. Masakan Tante itu sebenarnya biasa aja rasanya, Nak Beni baru coba satu masakan saja, coba yang lainnya,” balas Bu Ranti.
“Hehehe, mau sih cobain yang lainnya, tapi apakah tiap hari aku harus main ke sini? Kan gak mungkin Te, hehe,” ujar Beni sambil tertawa ringan.
“Lho, gak mungkin gimana? Kalau mau cobain masakan Tante ya tinggal ke sini aja Nak, pintu rumah Tante selalu terbuka untuk Nak Beni,” seru Bu Ranti sembari merapikan piring-piring, gelas, dan sendok, garpu yang ada di atas meja.
Andin yang mendengar ucapan Bu Ranti langsung terbelalak kaget, “kok bisa ya Mama baik banget sama Kak Beni, padahal kan dia adalah orang yang paling mewanti-wanti untuk tidak terlalu baik sama lelaki, apalagi yang belum dikenal lebih dalam,” dalam hati Andin berseru.
Namun, apa pun yang ada dipikiran Bu Ranti tentang Beni, Andin tetap optimis bahwa Bu Ranti tetap memegang teguh prinsip yang dulu dinasehati padanya, yakni lelaki yang belum lama dikenal, jangan terlalu percaya apalagi sampai menaruh hati.
“Din,” Beni menyenggol siku Andin dan membuyarkan lamunan Andin.
“Eh.. eh.. eh, iya, Kak Beni, ada apa ya Kak?” Andin terkaget dan mimik wajahnya seolah bingung.
“Hahahaha, kamu kenapa melamun gitu? Dari tadi mikirin apaan sih, seru gak?” tanya Beni dengan senyuman yang tergambar di wajahnya.
Andin pun membalas senyuman dari Beni dan menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Oh, tidak kok, aku gak ada mikirin apa pun, hanya terdiam untuk sejenak saja,” jawab Andin santai.
Namun, Beni yang merasa Andin menjawab dengan wajah ragu, masih terus melempar pertanyaan ke Andin. “Yakin nih kamu gak mikirin apa-apa? Tapi, raut wajahmu bisa aku baca loh, dan disana menyimpan banyak pikiran semu,” ucap Beni sambil melentikkan jemarinya di depan wajah Andin.
Andin yang heran melihat Beni seperti itu, langsung menepis jemari Beni untuk menghentikannya. “Ih, Kak Beni ngapain sih? Sudah habis ya obatnya? Apa gak ada obat di rumah?” balas Andin.
“Hey! Aku tidak gila atau sakit, Din, jadi aku tidak perlu obat. Kayaknya yang perlu obat itu kamu deh,” Beni pun menopang dagunya dengan kedua tangannya.
Beni melirik tajam ke arah bola mata Andin yang pandangannya sedang kacau. Beni berusaha menyadarkan Andin bahwa dirinya sedang mencari sesuatu hal dari balik bola mata milik Andin.
“Andin ini lama-lama cantik juga ya dilihat,” ungkap Beni dalam hati.
Andin melirik ke sebelahnya, tepati di mana tempat Beni duduk. Betapa terkejutnya Andin ketika tau Beni sedang memperhatikan Andin disertai dengan senyuman manis. Andin yang mengetahui itu, jantungnya seolah bertebar tak tentu arah. Bibirnya tidak dapat berkata apapun. Hanya satu yang ada di pikiran Andin saat itu, salah tingkah karena tatapan bius yang datang dari kedua mata Beni.
“Andin, Nak Beni, ayo disantap lagi nih cucian mulutnya, Tante sudah mengupas buah nada dan mangganya,” Bu Ranti menaruh dua piring berwarna putih yang masing-masing isinya sudah ada buah mangga dan buah naga yang sudah dikuliti dan dipotong kecil.
“Terima kasih ya Te, Tante punya banyak persediaan buah di rumah ya?” tanya Beni dengan memperbaiki posisi duduknya dengan tegak.
“Ah, gak terlalu sih Nak Beni, cuma kalau di rumah gak ada buah-buahan, Tante suka galau,” jawab Bu Ranti sembari mengambilkan garpu untuk dirinya, Andin, dan Beni.
“Ayo, ayo Andin, Nak Beni, dimakan ya buah naga dan mangganya, sudah dikupasin capek-capek lho!” sila Bu Ranti mendekatkan kedua buah itu ke hadapan Andin dan Beni.
“Iya, iya, Te,” ucap Beni tersenyum.
“Duh Ma, aku sudah kenyang sekali lho, sungguh,” Andin manyun dan mengelus perutnya.
“Hah Andin, kamu itu makannya sedikit loh kok bisa makan segitu aja kenyang,” ucap Bu Ranti.
“Iya nih si Andin, makannya dikit banget padahal dalam hatinya pengen banget tuh makan sepuasnya,” kata Beni sambil melempar tatapan mengejek.
Andin mengangkat satu alisnya ke atas, “sok tau ah Kak Beni, aku kan selalu menjaga pola hidup sehat salah satunya tidak makan banyak. Nanti perut aku mirip kayak......” Andin pun sontak melirik ke arah perut Beni. “Ya... kayak perutnya si itu lah,” Andin menyenggol bahu Beni.
Bu Ranti yang sudah mengerti maksud dari perkataan Andin, tak kuasa menahan geli di perutnya. “Hahahaha, Andin Andin, masih saja suka mengejek Nak Beni. Kasihan loh Nak Beni, padahal dia sudah berusaha makan yang bergizi tapi perutnya masih.....” ujar Bu Ranti yang membuat Beni tertegun.
Beni segera menutupi perut buncitnya dengan tangan kirinya. “Sudah, sudah Bu Ranti, Andin, sepertinya saya disini mendapat suatu hal yang tidak mengenakkan tentang perut saya,” Beni berusaha menyembunyikan rasa malunya. Beni yang tadinya sudah melahap buah mangga dan naga, kini memberhentikan aktivitas itu.
“Eh, kenapa berhenti nyemilnya? Ayo makan lagi Nak Beni, kamu tidak usah malu ya sama kita – kita di sini, kita berdua hanya bercanda saja, kok,” Bu Ranti berujar.
Beni pun mangut-mangut dan kembali melanjutkan untuk melahap mangga dan buah naga yang masih tersisa. Bu Ranti dan Andin yang melihat Beni lahap seperti itu, jadi memaklumi perihal perut buncitnya yang selalu membesar itu.
“Ya berarti tidak salah lah ya,” ujar Andin yang menyimpan teka-teki.
Sekitar delapan belas menit kemudian, Beni, Bu Ranti dan Andin selesai menghabiskan buah yang dimaksudkan sebagai cucian mulut itu. Seperti biasa, Bu Ranti lah yang membawa piring dan sendok kotor menuju wastafel yang ada di dapur, dan dibersihkannya tak tersisa noda-noda.
“Kak Beni, aku mau bertanya sesuatu deh,” Andin kembali membuka pembicaraan.
“Iya, apa itu Din?” Beni mempersilahkan Andin.
“Kapan kita membahas atau mengkritisi soal rekaman Riki dan karyawannya di kafe Irama Nada?” tanya Andin serius.
Beni mengangguk, “astaga aku hampir lupa, terima kasih sudah mengingatkan tentang hal ini, Din. Hmm, enaknya kapan ya? Kita harus berkumpul tuh antara aku, kamu, dan juga Naira,” jawab Beni.
“Yap, benar sekali kita bertiga harus segera berkumpul. Kalau aku sendiri kapan saja bisa sih, asal jangan kemaleman saja nanti Mama bakal marah,” terang Andin.
Beni memikirkan waktu pertemuan itu dengan memegang dagunya menggunakan tangan kanannya. “Bagaimana kalau nanti malam? Menurutmu gimana, apa terlalu cepat?” tanya Beni yang mengusulkan waktu.
“Kalau aku sendiri sih, tidak masalah dengan jam itu. Namun, aku tidak paham tentang Mbak Naira, dia bisa atau tidak,” balas Andin yang rupanya menyetujui.
“Apa aku harus mengabari Naira sekarang, ya?” pikir Beni.
“Nah, itu ide yang keren Kak Beni. Langsung saja hubungi Mbak Naira, kalau pun ia bisa nanti malam meeting, itu jauh lebih baik, kan?” Andin membalas apa yang diusulkan Beni barusan.
“Sip lah, kalau begitu aku menelpon Naira sekarang deh,” Beni yang juga sepakat, langsung menggapai ponselnya yang tersimpan di saku celananya. Lalu, Beni menyalakan ponselnya itu dan menelpon kontak yang ia simpan bernama “Naira”
Kring.. kring.. kring.. bunyi telepon berasal dari suara ponsel Naira yang terletak di depan TV. Naira yang duluan sudah masuk ke kamar, rupanya tidak menyadari bahwa ponselnya berdering. Kebetulan, Bu Ari yang masih betah menonton di depan TV, langsung memeriksa siapakah yang menelpon Naira.
“Hah, Beni?” ucap Bu Ari pelan dan menyeritkan dahi. Spontan, Bu Ari mematikan telepon dari Beni.
Sekitar dua menit kemudian, ponsel Naira kembali berbunyi. Kringggggggggg....
“Apaan sih si Beni ini, butuh apa sih sama Naira?” tak menghiraukan segala apa pun, Bu Ari lantas menolak telepon itu lagi.
Kemudian, sekitar sepuluh menit kemudian sudah tidak ada telepon lagi dari Beni.
“Huft syukurlah kalau Beni tidak menelpon lagi, ganggu waktu istirahat anakku saja,” kesal Bu Ari. “Dan juga, telah tidak mengganggu waktuku menonton sinetron selanjutnya,” sambung Bu Ari yang menggonta ganti saluran TV untuk memukan sinetron kesukaannya, yaitu Ikatan Cinta.
Di sisi lain, Beni dan Andin yang masih menanti jawaban dari Naira, hanya bisa pasrah karena terjadi penolakan telepon dua kali oleh Naira.
“Gimana, Kak Ben? Masih belum terhubung dengan Mbak Naira, kah?” tanya Andin yang sedari tadi ikut menunggu jawaban telepon dari Naira.
Namun, Beni menggelengkan kepalanya dan menunjukkan raut wajah yang sedih, “tidak ada balasan atau jawaban Din, malahan langsung ditolak saja teleponku,” jawab Beni lirih.
“Serius kah hanya ditolak? Wah, kenapa ya Mbak Naira,” Andin pun tanpa sadar ikut tak senang.
“Entahlah, padahal tadi waktu kita bertamu ke rumahnya ya baik-baik aja, kan?” bahas Beni.
“Iya, benar. Tidak ada masalah atau kekecewaan apa pun juga kan yang sedang dialami Mbak Naira?” Andin memastikan.
“Itu dia, ya mungkin beberapa menit lagi akan aku hubungi kembali,” Beni sudah pasrah dan kali ini chatnya juga tidak dibalas bahkan dibaca.
Tak lama kemudian, Bu Ari berteriak dari arah dapur, “Andin, ini ponsel kamu berdering terus dari tadi, coba dilihat dulu siapa yang menelponmu,” kata Bu Ari.
Andin yang mengetahui info tersebut, langsung berlari mengambil ponselnya dan mengeceknya, “siapa nih yang nelpon,” ucap Andin sambil melihat satu per satu panggilan yang tidak terjawab di ponselnya.
Andin pun tertegun ketika kontaknya yang bernama “Tolong Kami” lah yang menghubunginya beberapa menit lalu. Dan karena kontak itu sedang online, Andin cepat-cepat menghubungi balik kontak itu yang sebenarnya itu adalah Ayu.
Tinnnnn... tin.... Andin menelpon Ayu dan syukurnya diangkat oleh Ayu sendiri.
“Hallo Andin?” Ayu mengangkat telponnya.
“Iya, Mbak. Mbak Ayu, maaf aku tidak mengangkat telepon Mbak Ayu barusan karena sedang makan keluarga. Kalau boleh tau, ada apa ya Mbak?” Andin membuka obrolan tanpa basa – basi.
“Maaf sebelumnya, apakah kamu saat ini sudah tidak sibuk, Din?” Ayu malah balik bertanya.
“Tidak Mbak, aku sudah tidak ada kesibukan lagi dari sekarang hingga malam nanti,” jawab Ayu.
“Oh baguslah kalau begitu. Andin, aku tidak mungkin menjelaskan ini terlalu panjang lebar lewat telepon perihal ini. Bisakah kita atur waktu untuk bertemu saja?” Ayu meminta.
“Hmm, bisa Mbak. Tapi kapan ya, aku hanya menyesuaikan jam Mbak Ayu saja karena kan mbak Ayu sibuk bekerja,” Andin melempar balik.
“Bagaimana kalau nanti malam sekitar pukul setengah delapan?” Ayu pun langsung memberikan usul.
“Bisa kok, tapi apa Mbak Ayu gak bekerja di jam tersebut?” jawab Andin.
“Tidak, kebetulan hari ini semua karyawan dipulangkan cepat,” kata Ayu.
“Lho? Kok bisa Mbak? Ah tapi syukurlah kalau pulang cepat, jadi kan beberapa karyawan bisa istirahat,” ujar Andin dari balik telepon.
“Masalah dipulangkannya karyawan dengan waktu cepat tidak seperti biasanya, akan aku ceritakan ketika kita bertemu saja ya. Bagaimana Andin, apakah kalau kita bertemu malam ini kamu bisa?” Ayu kembali memastikan.
Andin memalingkan pandangannya sejenak ke arah Beni, dan melanjutkan untuk menyetujui ajakan Ayu.
“Andin, bagaimana?” Ayu kembali menanyakan.
“Iya, boleh, Mbak, malam ini kita akan bertemu jam setengah delapan ya, dan kalau soal tempatnya, dimana Mbak Ayu?” ucap Andin.
“Di kafe yang ada di sekitar Jalan Rahayu, gimana? Karena itu dekat dengan kontrakan saya, biar pulang dan perginya tidak banyak ongkos gitu,” usul Ayu.
“Oke baik lah, itu pilihan yang bagus juga....” kata Andin. “Andin, sudah dulu ya aku ada urusan lain nih, sampai bertemu nanti malam ya,” ungkap Ayu seperti tergesa-gesa. Andin pun mengiyakan dan menutup telepon mereka.
Setelah mendapat telepon dari Ayu dan sudah janjian bertemu, Andin segera memberi kabar itu ke Beni yang masih terduduk di kursi makan itu.
“Kak Beni, Kak Beni,” seru Andin dengan volume suara kecil.
“Iya, kenapa Andin?” Beni mulai memperhatikan Andin.
“Nanti malam Kak Beni ada acara, gak?” tanya Andin berbisik.
“Gak ada, kenapa ya Andin?” jawab Beni ikutan berbisik.
“Aku ada mau bertemu dengan salah satu karyawan di kafe Irama Nada, dia seperti ingin memberi tahu aku sesuatu hal penting. Apakah bisa nanti malam kita bertemu dengannya? Namanya Ayu,” terang Andin.
Beni mencoba mengingat kembali karyawan yang ia kenal di kafe Irama Nada, “oh Ayu yang waktu itu ribut sama Riki di depan kita, ya?” Beni pun masih mengingat kejadian.
“Nah iya benar! Yang waktu itu membela karyawan lainnya bernama Hana. Aku yakin deh pasti Kak Beni kenal Mbak Ayu,” timpa Andin.
“Oh oke, oke, aku setuju kalau kita bertemu nanti malam bersama Ayu. Kalau boleh tau jam berapa dan dimana?” tanya Beni.
“Kalau kata Mbak Ayu sih jam setengah delapan malam di kafe yang ada di sekitar Jalan Rahayu,” jawab Andin menirukan Ayu.
Beni mengangguk, “pilihan yang bagus, sekarang kamu siap-siap saja untuk meeting nanti malam,” ucap Beni.
Seketika, suatu hal muncul dari pikiran Andin, “Kak, apa kita ajak Mbak Naira juga? Soalnya kan dia salah satu dari rekan media kita,” Andin memberikan saran.
“Ya tentu saja kita harus mengajak Naira, nanti biar aku saja yang menghubungi dia,” ungkap Beni.
“Sip lah kalau begitu,” Andin pun mengacungkan jempol pada Beni.
“Semoga rencana kita berhasil dan menemukan isu yang baru,” harap Beni.
“Semoga!” seru Andin. Andin dan Beni pun melakukan toss agar semua yang dilakukan berjalan mulus dan tidak ada hambatan.