Andin, Naira dan Beni sudah duduk di satu meja yang melingkari meja berbentuk bulat di hadapan mereka. Beni masih sibuk dengan ponselnya, sementara Andin dan Naira membuka pembicaraan terlebih dahulu. Naira cukup kesal dengan Beni yang sibuk menatap layar ponselnya, dan mendiamkan Naira serta Andin sekitar lima belas menit. “Ini si Beni gimana sih, ngajak ketemu di sini tapi kita berdua malah didiemin,” batin Naira jengkel.
Akhirnya, untuk mencairkan serta menghidupkan suasana, Naira pun memulai mencari topik pembicaraan.
“Andin, apa kesibukanmu sekarang setelah berenti dari media lokal?” tanya Naira santai.
“Hmm, tidak ada, kesibukanku hanya menenangkan hati dan pikiran supaya berdamai dengan duniaku sendiri,” jawab Andin.
Naira memanyunkan bibirnya dan mangut-mangut, “kok bisa? Apa yang terjadi dengan duniamu sehingga kamu berpikir untuk menenangkannya?” tanya Naira lagi.
Andin mendesah, “Huft, entahlah, itu cukup rumit dan aku sendiri tidak memahami lebih jauh tentang diriku ini,” jawab Andin lagi.
Naira melirik ke arah Beni, masih tetap sama yang sibuk dengan layar ponselnya. Malahan, Beni terlihat banyak sekali membalas chat dari media sosial maupun w******p-nya. “Katanya mau memberikan aku kejutan untuk pagi ini, kok malah kayak gak tau diri gitu ya ini orang,” batin Naira lagi yang ditujukan kepada Beni.
“Ben!” Naira menegur Beni. Beni terbelalak kaget dan cepat-cepat memasukkan ponselnya di balik kantong celananya. “Eh, maaf, maaf Naira dan Andin, aku diemin kalian dari tadi,” balas Beni tanpa perasaan bersalah. “Ih, kesel amat aku!” batin Naira meronta.
“Jadi gini, rencana aku mengumpulkan kalian berdua disini adalah untuk membahas perihal media yang baru aku cetuskan,” kata Beni, membuka maksud pertemuan kepada Andin dan Naira.
Naira membatin lagi, ucapan Beni seolah-olah sudah diatur dan memang hanya untuk kepentingan media yang ia buat saja, “Hah? Mengumpulkan kita berdua?” ucap Naira dalam hati sambil melirik ke arah Andin yang tetap memperhatikan Beni berbicara. “Apakah ini yang dimaksud kejutan untukku? Bertemu dengan Andin? Ah! Kejutan macam apa ini,” gumam Naira yang wajahnya masam seketika.
Beni mengambil buku catatan kecil dari balik kantongnya dan pulpen berwarna biru dari balik kantongnya juga. “Aku sudah membuat beberapa strategi agar media kita bisa dikenal lebih luas di masyarakat saat ini,” Beni pun mengarahkan telunjuk kanannya ke bagian halaman pertama dari buku catatan itu.
Andin terlihat antusias dan memperhatikan kemana arah telunjuk Beni mengarah. Sementara itu, Naira yang sudah merasa hal ini tidak sesuai ekspetasi, malah bersandari di kursinya dan melipat kedua tangannya.
“Misi paling utama dari media kita adalah kebermanfaatan bagi masyarakat dari seluruh kalangan dan umur, itu artinya berita atau artikel yang kita sajikan harus memperhatikan kebutuhan pasar berbagai kalangan tersebut,” terang Beni yang mulai serius berbicara.
“Bagaimana bisa tulisan kita itu bermanfaat bagi seluruh kalangan? Kan tidak semua kalangan dan umur mau membaca tulisan kita,” tanya Andin.
Mendengar pertanyaan Andin, Beni mengangguk dan memberi jawaban, “nah itu kita harus riset, paling mudahnya sih ikutin media sosial yang sedang maju saat ini, bagian mana yang sedang trending dan bisa kita jadikan topik tulisan,” kata Beni.
Naira masih saja tidak menikmati pembahasan pagi itu, lirikan matanya mengarah ke isi buku catatan Beni, namun pikirannya terbang entah kemanapun ia pergi. “Ya, ya, ya,” balas Naira.
“Bagaimana, Naira, apakah kamu memiliki masukan untuk strategi riset kita?” tanya Beni pada Naira yang sedari tadi diam.
“Itu sudah bagus, hanya saja konsisten menganalisis topik yang sedang trending itu cukup sulit. Mau tidak mau, suka tidak suka, menarik tidak menarik, semuanya harus kita rangkum dan sajikan dalam tulisan kita,” beber Naira.
“Pernyataan yang ciamik, Naira!” ujar Beni dan melemparkan senyum manis ke Naira.
“Maaf, untuk soal konsisten itu aku rasa kita bertiga harus niat dari awal. Karena konsisten itu suatu hal yang sulit, akupun kurang bisa menerapkan hal itu dalam jangka panjang,” jujur Andin.
“Aku tau, ya kita juga sama-sama tau lah bagaimana konsisten itu sebegitu sulitnya. Nah, kita pelan-pelan saja dan gak usah menaruh target yang tinggi untuk kualitas tulisan kita,” balas Beni.
“Hah? Tidak menaruh target yang tinggi? Maksud kamu berita yang kita tulis dibiarkan gak jelas dan tidak tentu arah, begitu?” Naira spontan kaget.
“Bukan begitu, yang penting tetap bermanfaat untuk semua kalangan dan umur tadi, persis seperti misi yang kita bentuk diawal,” jelas Beni. Naira dan Andin pun mengangguk mengerti.
Selang lima belas menit kemudian, seorang perempuan berpakaian rapi nan tersenyum itu berjalan kea rah meja tempat Beni, Naira dan Andin. Perempuan itu adalah Hana, si barista yang menyapa Andin dan Naira dengan manisnya. “Ini pesanannya ya, Nona, hot green tea dan dessert cake masing-masing satu porsi,” ucap Hana sambil menaruh pesanan Andin dan Naira di atas meja.
“Terima kasih, Hana, kamu baik sekali,” kata Andin.
“Tapi maaf ya Nona-nona sekalian karena pesanannya lama datang soalnya bahannya tadi ada yang habis, jadi harus membelinya dulu di swalayan seberang,” terang Hana meminta maaf.
“Oh tidak masalah itu, daripada sama sekali pesanan kita tidak dibuatkan, malah tambah marahlah kita,” tandas Naira.
“Baik, terima kasih atas kerjasamanya, Nona. Kalau mau nambah pesanan lagi, silahkan langsung ke meja barista saja, ya,” ucap Hana dan membalikkan badan untuk kembali ke balik meja barista tempatnya bekerja.
Beni melihat pesanan yang tertera di atas meja, dua porsi itu untuk Naira dan Andin. “Loh, kok cuma dua porsi sih pesanannya? Untuk aku, mana?” tanya Beni mencari mana menu yang dipesankan untuk dirinya.
Naira tertawa, Naira benar-benar tidak mengingat kalau ada Beni di tempat itu, “maaf, Ben, aku sama sekali lupa untuk memesankanmu makanan, lagipula aku tidak tau menu apa yang kamu suka,” Naira berusaha agar tidak disalahkan. Andin yang tak kuat menahan tawa melihat wajah Beni yang lugu, terpaksa mengeluarkan tawanya, “Ya elah wajahnya kak Beni ngenes sekali, beneran mau dipesankan minum, nih?” kata Andin.
Beni makin melugukan wajahnya, bibirnya sengaja dimanyunkan dan matanya lesu seperti kosong. “Mau, pesanin dong, Andin. Andin baik deh,” rayu Beni dibalik kelesuannya itu.
“Iya, iya, Kak Beni mau apa? Ini akan aku pesankan,” ucap Andin yang sudah siap-siap bangkit dari kursi duduknya.
“Apa aja deh yang enak, kalau bisa sih kopi Thailand saja yang panas,” ujar Beni.
“Oke, siap, tunggu ya,” Andin berdiri dari tempat duduknya. Tiba-tiba, Naira juga ikutan berdiri dan menahan Andin untuk pergi, “Andin, biar aku saja yang memesankan Beni, kamu di sini saja sambil menyantap dessert cake pesananmu,” kata Naira sambil tersenyum manis.
Andin yang merasa hal itu wajar dan tidak masalah, langsung menuruti permintaan Naira untuk duduk kembali. Akhirnya, Naira berdiri dari tempat duduknya dan menuju ke meja barista, “lain kali bilang di awal ya Ben, biar semua pesanan datang jadi enak meetingnya,” seru Naira dengan wajah sinis.
“Aku kira kamu masih tau apa minuman atau makanan favorit kesukaanku, tapi nyatanya kenangan dua tahun lalu kamu lupakan begitu saja, Nai,” balas Beni ke Naira.
Naira yang sudah membalikkan badan ingin menuju ke meja barista, seketika tersenyum malu mendengar ucapan itu keluar dari mulut Beni. “Ada-ada saja kamu Ben, paling bisa membuat senyumku kembali lagi disaat moodku turun drastis,” ucap Naira dalam hati.
Menunggu Naira kembali ke meja bernomor dua puluh dua, Beni menanyakan kembali sesuatu kepada Andin.
“Andin, apakah kamu benar-benar mau dan niat membantuku untuk membesarkan media yang baru saja aku buat ini?” tanya Beni dengan tatapan tajam, kedua bola matanya tak lepas menatap kedua bola mata Andin.
Andin menundukkan kepalanya, “untuk saat ini aku masih yakin dengan keputusanku, yaitu menerima tawaran Kak Beni untuk membantu di media Kak Beni,” jawab Andin.
Beni pun tersenyum mendengar jawaban Andin yang seperti itu. Beni mengganti posisi duduknya, yakni tepat di samping Andin, menduduki kursi kosong milik Naira. Tidak hanya itu, Beni juga mendekatkan lagi kursi miliknya ke tempat Andin. Perasaan Andin tiba-tiba tidak menentu dan deg-degan tiada henti di jantungnya. “Ada apa dengan diriku? Kenapa diriku mendadak bergetar begini saat Kak Beni duduk di sebelahku dengan dekatnya?” batin Andin.
“Andin, aku mau mengucapkan terima kasih atas segala bantuanmu, baik itu di media yang kemarin kamu bekerja, maupun sekarang yang akan kamu lakukan,” kata Beni sambil tersenyum manis dan menatap kembali kedua mata Andin.
Entah mengapa, hati Andin semakin gemetar ketika Beni melemparkan senyuman sangat manis yang sangat langka ia lihat. Bahkan, Andin tak percaya senyum manis itu sengaja dilemparkan Beni untuk dirinya, Andin. Andin berkata, “sama-sama, semoga media ini bisa membuat kita lebih berkembang lagi, Kak.” Lagi-lagi Andin menunduk karena tak sanggup melempar balasan apapun kepada Beni.
“Kopi hitam Thailand satu, ya. Nanti kasihkan saja ke meja nomor dua puluh dua sama seperti tadi,” kata Naira kepada Hana.
“Baik lah, Nona, mohon ditunggu sebentar,” balas Hana.
Naira melempar senyum ke Hana, dan mengambil bil p********n pesanan barusan. Naira berbalik badan dengan niat kembali ke meja nomor dua puluh dua. Ternyata, suatu pemandangan yang tidak mengenakan hati Naira terjadi. Penampakan Beni dan Andin yang begitu dekat posisi duduknya dan Beni yang terlihat tersenyum bahagia ke Andin. Begitu pula dengan Andin yang sedang tersipu malu sambil menundukkan kepalanya.
“Sialan! Kejutan apa lagi yang dibuat Beni?! Tadi sudah membuatku bete banget, terus dibikin senyum, dan sekarang dibikin bete lagi. Maunya dia apa sih!” gumam Naira yang menghentikkan langkahnya kembali ke meja itu.
Naira mempercepat kakinya menuju toilet kafe. Tanpa sadar, air matanya terjatuh dan tidak mampu ia bendung lagi. Naira mengelus dadanya yang kesesakan menahan tangis akan dirinya. Mulutnya ditutup dengan tangannya sendiri agar tangisnya tidak terdengar hingga luar toilet.
“Beni! Kamu jahat Ben! Aku sudah menaruh ekspetasi yang cukup tinggi kepadamu perihal kejutam yang kamu janjikan itu. Bukannya membuatku bahagia, malah membuatku sakit berkecamuk bukan main!” omel Naira yang melihat dirinya sendiri di depan cermin toilet.
Naira memukul-mukul wastafel yang disediakan di dalam toilet. Kekesalannya terhadap Beni tiba-tiba memuncak tak tertahankan. “kalau boleh aku menguapkan amarah ke kamu, akan aku lakukan Ben! Sayangnya, aku tidak berhak melakukan itu dan aku bukan siapa-siapa untukmu,” lanjut Naira. Hingga akhirnya, tangisan Naira kembali tumpah.
“Mbak, Mbak, Mbak Naira,” seorang perempuan menepuk pundak Naira, Naira membalikkan badan dan ternyata itu Andin.
“Mbak Naira kenapa menangis? Mbak, cerita lah kepadaku jika ada sesuatu hal yang membuat hati Mbak menderita,” ucap Andin yang mengelus pundak Naira. Kali ini, elusan itu semakin kuat.
Naira berusaha menghapus air matanya dengan tangannya yang sudah terlanjur banyak itu. Andin pun membantu mengusap air mata milik Naira, “Mbak, sudah dong, kira-kira apa yang bisa aku bantu untuk diri Mbak Naira?” tanya Andin lagi.
Naira pun menggelengkan kepala, dan mencoba mendiamkan tangisnya secara perlahan. Disamping itu, Andin terus mengelus pundak Naira dan menenangkannya. Sekitar sepuluh menit kemudian, tangisan Naira mulai terhenti. Namun, mata sembabnya yang tampak merah itu tidak dapat disembunyikan pada siapapun.
“Mbak, ayo kita kembali ke depan, Mbak sudah lebih tenang, kah?” tanya Andin.
Naira mengangguk. “Iya Andin, aku sudah lebih tenang,” jawab Naira yang melihat wajah sembabnya dari cermin toilet.
Andin menggenggam tangan Naira, mereka keluar berdua dari toilet dan menuju meja bernomor dua puluh dua yang sudah ada Beni menanti disana.
“Naira, kenapa kamu? Kok mata kamu sembab dan merah begitu?” tanya Beni dengan mimik penasaran.
“Ah? Gak apa-apa kok, gak apa-apa, tenang aja,” balas Naira memaksakan tersenyum.
“Andin, kenapa Naira? Apa kamu tau apa yang menyebabkan dia menangis?” tanya Beni ke Andin.
“Gak tau, Kak, waktu aku ke toilet Mbak Naira sudah menangis dan tidak memberi tahu aku apa yang sebenarnya terjadi,” jawab Andin.
Beni pun tidak puas dengan jawaban yang ia dapatkan dari Naira dan Beni. Sebagai laki-laki yang membuat pertemuan pagi itu, Beni mencari cara bagaimana agar pertemuan dan pembahasan perihal media itu bisa dilanjutkan.
“Gimana, Naira, Andin, apakah pertemuan kita ini bisa dilanjutkan untuk membahas media?” tanya Beni yang sedikit khawatir semuanya akan berjalan tidak kondusif.
“Aku menurut kepada Mbak Naira saja, kalaupun ditunda dulu tidak masalah, yang aku takutkan adalah hati Mbak Naira masih tidak nyaman untuk hadir dalam pertemuan ini,” beber Andin.
Akan tetapi Naira tidak menjawab pertanyaan Beni.
“Nai, daripada aku menyimpan beribu pertanyaan di dalam hatiku, kalau boleh dan tidak keberatan silahkan saja kamu bercerita kepadaku apa yang kamu rasakan saat ini,” ujar Beni yang memberi pandangan seduktif ke Naira.
“Udah Ben, kan aku sudah bilang tadi kalau tidak ada apa-apa dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” jelas Naira.
“Lalu, apakah bisa kita lanjutkan bahasan hari ini?” tanya Beni lagi untuk memastikan.
“Iya, silahkan saja,” cakap Naira.
“Baik lah, kita lanjutkan pembahasan kita. Aku akan membagi tugas untuk kita bertiga dalam menjalankan media ini. Aku sudah membuat catatan rincian tugas dan kalian boleh saja protes atau memberikan saran untuk lebih baik lagi,” ungkap Beni.
Andin dan Naira memperhatikan catatan yang sudah dibuat Beni.
“Untuk aku sendiri, aku akan menjadi penanggungjawab seluruh tulisan yang dibagian di media kita, semua tulisan harus melalui sunting dan persetujuan dariku,” kata Beni.
“Maaf aku potong, Kak. Untuk proses sunting tulisan sendiri, apakah dilakukan bersamaan kita bertiga atau hanya Kak Beni sendiri?” tanya Andin disela pembicaraan berlangsung.
“Jelas kita bertiga, kalian masih aku beri kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dalam hal penyuntingan. Ya, itung-itung belajar supaya tulisannya makin hari makin baik,” jawab Beni yang membuat Andin dan Naira puas akan hal itu.
“Sepakat!” seru Naira.
“Oke, kita lanjutkan ya. Kemudian untuk Naira, kamu bisa mencari isu dan menganalisa trend apa saja yang sedang berkembang pada masanya, kemudian kamu paparkan dan kemudian kita bahas siapa yang akan mengeksekusinya,” terang Beni.
“Aku tidak bisa fokus untuk mencari trend, karena aku terlalu masa bodoh untuk menelik itu lebih dalam,” balas Naira.
“Perlahan saja, tidak usah terlalu diperhatikan dengan detail, permukaannya saja,” kata Beni.
“Terus, untuk pengembangan tulisannya, bagaimana?” tanya Naira lagi.
“Itu akan menjadi bahasan selanjutnya ketika kita sudah mendapat siapa yang mengeksekusi isu tersebut,” jawab Beni. Naira mengangguk, “oke, aku paham, silahkan dilanjutkan,” kata Naira.
“Yang terakhir dan untuk anggota yang sangat kompeten, Andin. Kamu diberikan tugas untuk melakukan investigasi mendalam khusus untuk berita yang berhubungan dengan sisi kemanusiaan. Dan kamu juga yang menulis berita itu,” terang Beni.
“Hah? Melakukan investigasi? Aku sendirian? Tidak mungkin bisa Kak Beni, aku masih pemula sekali dalam dunia investigasi,” protes Andin.
“Jangan khawatir, aku akan membantumu untuk melakukan investigasi itu. Jadi, kita berdua bisa saling bekerja sama dan saling mengumpulkan bukti yang kuat,” sahut Beni.
“Wah, ide bagus. Kalau kayak gitu, aku malah semakin suka melakukan investigasi jika dibantu Kak Beni. Karena memang aku butuh pendamping untuk mengerjakan itu semua,” ungkap Andin.
Sahutan Beni yang terakhir itu nyatanya membuat Naira makin emosi. “Kurang ajar! Ujung-ujungnya mereka kerja berdua, dan aku kerja sendiri!” batin Naira kesal.
“Oke deh, jadi gimana nih tentang tugas yang sudah aku bagikan ke kalian. Apakah ada yang keberatan atau masukan lainnya?” kata Beni.
Wajah Naira pun kembali murung lagi dan ia yakin tidak akan bisa bangkit bahagia lagi.
“Andin, apakah kamu sudah setuju?” tanya Beni.
“Setuju banget, Kak Beni!” balas Andin antusias sekali hingga matanya terbelalak terang. Beni pun turut senang melihat respon Andin yang ekspresif itu. “Aku tidak salah memilih kamu, kamu adalah anak yang haus belajar dan ingin bekerja keras,” batin Beni sambil melempar senyum ke Andin.
“Naira, menurutmu gimana tentang tugas yang aku bagikan barusan?” tanya Beni lagi ke Naira.
“Hmm, aku tidak bisa menilai dengan cepat, lakukan saja sebagaimana mestinya jika ada hal yang perlu diperbaiki, bisa dievaluasi biar lebih baik lagi,” beber Naira.
Beni yang merasa pembahasan hari itu sesuai dengan rencananya jauh-jauh hari, ia merasa bahagia, “syukurlah, rencana yang sudah dibuat jauh hari ini sudah diterima oleh rekan semuanya, semoga media yang kita buat ini bisa menjadi batu loncatan bagus untuk mengedukasi masyarakat!” kata Beni.
“Baik, sepertinya sudah selesai bahasan kita pada hari ini, kurang lebihnya mohon maaf, dan selamat bertugas!” kata Beni dan langsung men-toss Naira dan Andin.
Andin, Beni dan Naira pun bergegas untuk pulang, dan tak lama kemudian…
“Maaf, Nona dan Tuan, ini kopi hitam Thailandnya, maaf baru datang karena saya lupa ada pesanan,” tiba-tiba Hana datang membawakan pesanan Naira dengan wajah penuh bersalah.
Beni mendesah, “ya udah Mbak, buat kamu aja,” pungkas Beni.
Naira dan Andin tertawa melihat Hana yang lupa memberikan kopi hitam Thailand itu kepada Beni. “Kasihan deh loooo,” koor Naira dan Andin ke Beni.