Andin dan Beni mengitari jalanan ibukota yang lumayan ramai itu menggunakan mobil jazz putih milik Beni. Di dalam mobil itu, Beni memutarkan sebuah lagu dari kaset yang baru ia beli tempo hari. Beni yang kurang suka kesunyian ketika ia mengendara, memilih untuk tetap menyalakan lagu di mobilnya, walaupun dengan lagu yang kurang ia suka.
Mungkin hari ini, hari esok atau nanti..
Berjuta memori yang terpatri dalam hati ini..
Mungkin hari ini, hari esok atau dan nanti..
Tak lagi saling menyapa meskiku masih harapkanmu..
Sebuah lagu yang nada dan iramanya tampak sendu itu, menghiasi alunan di dalam mobil Beni yang berjalan. Namun, Andin yang kurang suka dengan lagu seperti itu, langsung mengganti lagu dengan cepat-cepat.
Ctek.. ctek.. ctek.. Andin mencari-cari lagu dari kaset itu, mana yang cocok untuk ia dengar saat ini.
Kuingin kau tahu, diriku disini menanti dirimu…. Ctek. Andin mengganti lagu putaran pertama.
Sebagai kekasih yang tak dianggap aku hanya bisa, mencoba bersabar, menahan setiap amarah.. Ctek.. Andin mengganti lagu lagu di putaran kedua.
“Kak Beni, kok lagunya tipe sedih semua sih, coba yang mengobarkan semangat gitu loh,” keluh Andin yang masih tetap mencari lagu lain.
“Hahaha, aku memang spesialis pendengar lagu itu, Din. Aku selalu suka lagu yang sedih dan sendu, persis seperti perasaanku saat ini,” balas Beni yang nadanya mulai merendah juga mengikuti lagu yang disajikan di dalam mobil.
Andin menyeritkan dahinya, “apa? Kak Beni sekarang hatinya sedang sedih dan sendu, begitu?” tanya Andin. Beni tersenyum dan menganggukkan kepala.
Andin ikutan mengangguk juga, dan enggan bertanya lebih jauh lagi. Andin yakin, ketika seseorang sedang mengalami kesedihan atau sendu, pasti ia sedang berdamai dengan drinya sendiri untuk kembali ceria.
Mau dikatakan apalagi, kita tak akan pernah satu..
Engkau di sana, aku di sini meski hatiku memilihmu..
Salah satu yang kemudian terputar di dalam mobil itu adalah lagu milik penyanyi Raisa dengan judul “Mantan Terindah,” dan Beni ikut menyanyikan lagu itu lirik demi lirik, nada demi nada, dan tanpa sadar raut wajah Beni tergambar jelas apa arti sendu dan kesedihan itu.
Dalam pikiran Andin pun mengambil kesimpulan sesuatu. “Jangan-jangan Kak Beni ini lagi sedih dan sendu karena ingat sama mantan, ya?” batin Andin mengiang-ngiang.
Tetapi, Andin tidak mau bertanya tentang hal itu pada Beni. Menurutnya, itu adalah hal yang tidak perlu ditanyakan dan tidak penting juga.
“Namun, kenapa perasaanku sangat penasaran sekali ya tentang Kak Beni?” batin Andin meronta lagi. “Ah tidak, tidak. Aku tidak boleh mengurusi sesuatu hal yang tidak ada hubungannya denganku,” lanjut Andin di dalam hatinya berbicara.
Beni yang melirik Andin di sampingnya hanya terdiam dan membisu selama perjalanan, juga menimbulkan pertanyaan di pikirannya. “Si Andin kok gak ngomong apa-apa, ya? Biasanya paling gak suka tuh sama lagu yang modelnya beginian,” ujar Beni dalam hati dan tetap memperhatikan Andin yang melamun menatap ke arah jendela mobil.
“Kok makin kesini si Andin makin imut dan menarik ya kalau diam begitu?” tiba-tiba dalam hati Beni berpikir seperti itu. “Ah, gak boleh lah ya, namanya dia rekan kerjaku sedari di media lokal sampai sekarang, mana mungkin aku menyukai dirinya.” tandas Beni dalam hatinya.
“An.. din?” tegur Beni yang membuyarkan lamunan Andin. Andin pun agak terkejut mendengar teguran dari Beni itu.
“Eh.. eh.. i.. ya, Kak Beni,” balas Andin dengan senyuman.
“Kok kamu gak kayak biasanya, sih?” tanya Beni.
“Apa? Gak kayak biasanya seperti apa? Ya aku ini Andin yang seperti biasanya, Kak,” jawab Andin tenang.
“Bukan begitu maksud aku, kamu itu bukan seperti Andin yang biasanya ceria dan suka protes kalau ada lagu sendu dan sedih begini, ahaha,” ujar Beni.
Andin ikutan tertawa karena Beni, “ya gak apa-apa, kan aku lagi menyesuaikan situasi saja, kalau sedih ya sedih, senang ya senang, dan sebagainya lah Kak,” kata Andin.
Beni yang mendengar kata dari Andin itu langsung menganggukkan kepala, “oh begitu, akan tetapi bukan karena lagu yang aku putar sedari tadi itu mewakili perasaanmu, kan?” tanya Beni lagi.
Andin tertawa ringan dan menggelengkan kepala, “ya tidak sama sekali lah, Kak. Lagu itu tidak ada hubungannya dengan apa pun yang aku rasakan,” terang Andin.
“Sungguh, benarkah itu, Andin?” Beni seolah tidak percaya.
“Sunggug dan benar-benar sekali, Kak Beni,” Andin pun meyakinkan Beni. Beni yang melihat jawaban Andin yang mantap itu merasa percaya juga. “Baik lah, kita lanjutkan perjalanan ini ditemani lagu yang berputar ringan di telinga kita,” ucap Beni.
“Siap! Laksanakan saja, kalau perlu kita ikut bernyanyi juga tetapi dengan perasaan yang tidak terlalu sedih,” usul Andin.
“Wah Andin, kamu selalu memiliki ide yang bagus. Baik lah, kita lakukan itu!” Beni menyetujui.
Beni kembali fokus mengendarai mobil jazz putihnya, dan lagu yang diputarkan kali ini memang mengandung kesedihan. Akan tetapi, Beni dan Andin menikmati itu dan ikut bernyanyi bersama.
Tapi kini dia menghilang, dan tak tau entah dimana..
Diary-ku, kumerindukannya..
Pujaanku engkau ada dimana..
Telah habis habis air mata, dan sekedar kata-kata..
Telah kucurahkan.. Ohh..
Haruskah aku berlari sampai keujung dunia..
Untuk mencarinyaaaaaa….
Begitulah lirik lagu yang saat itu bermain di dalam mobil Beni dengan syahdunya. Lagu milik grup band bernama “Ratu” itu masih membuat kesan baik di hati pendengarnya walau sudah tidak bersama lagi sekian tahun.
Ngeng.. ngeng.. ngeng.. mobil Beni itupun melaju dengan kecepatan empat puluh kilometer per jam. Beni dan Andin menjajaki pemandangan ibukota dengan lagu yang dinyanyikan oleh mereka berdua. Satu lagu, dua lagu, dan tiga lagu pun habis dinyanyikan oleh Beni dan Andin.
Selang lima belas menit kemudian, Beni dan Andin sudah sampai ke sebuah kafe yang waktu itu mereka membuat pertemuan kecil-kecilan dengan Naira. Ya, kafe yang dominan dengan hidangan kopi itu namanya “Irama Nada,”
“Kita sudah sampai dan akan bertemu klien!” seru Beni, sambil memarkir mobilnya yang berada di depan halaman kafe.
“Oh di kafe Irama Nada ini toh, kita sudah pernah kesini kan Kak sama Mbak Naira juga?” kata Andin.
“Iya, benar. Beberapa waktu lalu kita sudah pernah kesini membahas perihal strategi media baru kita kedepannya,” balas Beni. Andin pun mengangukkan kepalanya.
“Nah, kita sudah dapat parkir mobil nih, ayo kita turun,” Beni langsung mematikan mesin mobil jazz putihnya dan melepas sabuk pengaman. Begitu pula dengan Andin yang segera melepas sabuk pengamannya yang mirip seperti yang dipakai Beni.
Beni dan Andin membuka pintu mobil dengan bersamaan dan segera masuk ke arah pintu kedatangan kafe Irama Nada. Setelah masuk, rupanya sudah ada seseorang laki-laki yang memakai jas hitam berdandan rapi sekali. Rambut laki-laki itu diberi pomade jadi tampak rambutnya rapi pula. Laki-laki itu berjalan ke arah Andin dan Beni serta berjabat tangan duluan pada Beni.
“Halo Ben! Udah lama ya kita gak ketemu,” sapa laki-laki berjas itu dengan senyuman dan memeluk tubuh Beni.
“Halo Rik! Iya nih, udah lama gak ketemu tapi kamu sudah sukses begini. Punya kafe yang besar seperti ini pun,” balas Beni.
“Ah biasa aja, ini juga masih merintis, kok,” kata laki-laki berjas itu. “Eh silahkan kalian duduk di situ saja, sudah sengaja aku pesankan khusus untuk kalian,” ujar laki-laki itu dengan ramahnya.
Andin, Beni, dan laki-laki berjas itu berjalan menuju ke meja yang ia maksud. Meja itu adalah satu-satunya meja yang memiliki ukuran paling besar diantara meja yang tersedia di kafe itu. Terlebih lagi, kursinya juga terbuat dari besi dan ada bantalan empuk di bagian bawahnya. Jadi, orang yang menduduki kursi itu tidak akan merasakan lelah dan sakit walaupun duduk berlama-lama di atas kursi.
“Oh ya Rik, kenalin ini Andin, rekan kerjaku yang juga akan membantuku bekerja di media,” Beni memperkenalkan Andin pada laki-laki berjas tadi.
“Oh Andin, kenalin saya Riki, teman SMA nya Beni waktu di Bogor, hehe,” kata laki-laki berjas itu yang ternyata bernama Riki.
“Iya, Kak Riki, senang bertemu dengan Kak Riki,” ucap Andin sambil melengkungkan senyuman.
“Senang juga bertemu dengan kamu, Andin. Oh ya, kalian mau minum dan makan apa nih? Pesan aja gak usah malu-malu,” tawar Riki. Beni dan Andin malah tersipu malu. “Maaf loh ya jadi ngerepotin,” ujar Andin dan Beni bersamaan. Andin dan Beni pun saling menatap dan heran kenapa mereka bisa berujar dengan kata yang sama. Karena Andin dan Beni menyadari itu, spontan mereka tertawa karena geli.
“Karyawan, saya mau pesan makan dan minuman, tolong antarkan daftar menu ke meja biasa yang saya gunakan meeting!!!!” teriak Riki memanggil karyawannya. Namun hingga sepuluh menit kemudian, tidak ada satu pun karyawannya yang datang bahkan menyahuti teriakan dari Riki. “Ckckc, mana ya ini karyawanku, kok gak ada yang ngasih daftar menunya sih,” ujar Riki kesal.
“Sudah, gak apa-apa, ditunggu aja kali Rik!” ucap Beni santai. Riki yang tadinya kesal, tiba-tiba mereda akan ucapan Beni. Riki pun membuka pembicaraan ke Andin dan Beni yang kemudian mengalihkan ke pembiacaraan yang lain.
“Hahahah, kenapa kalian bisa bersamaan seperti itu ucapannya?” Riki pun ikut tertawa mengetahui itu.
“Entah lah, mungkin saja telepati yang muncul diantara kita berdua,” ucap Beni dengan raut wajah meyakinkan.
“Kak Beni, tidak mungkin telepati bisa hadir diantara kita, itu gak masuk akal, dan gak akan mungkin terjadi,” sahut Andin.
“Andin, kamu jangan meragukan sesuatu hal. Semuanya bisa saja terjadi kalau sudah takdir. Salah satunya ya kita berdua ini yang bertemu,” nada Beni yang dirasa Riki merayu Andin, membuat Riki malah mengejek Beni dan Andin.
“Ehem, sepertinya diantara kalian berdua ada sesuatu hal yang spesial, ya?” Riki menerka sambil memincingkan kedua matanya.
“Eh, enggak, enggak, kak, enggak ada kok,” Andin langsung mengelak. Beni yang melihat Andin mengelak dengan raut muka yang panik, sontak langsung tertawa.
“Hahahaha, lucu sekali wajahmu, Din, jadi pengen ngerayu terus,” kali ini Beni bercanda. Andin yang kurang enak dirayu, memilih diam saja dan gak mau membalas apapun perkataan Beni.
“Sudah, sudah, Ben. Kamu jangan terlalu begitu sama perempuan, terutama berhadapan sama orang yang kamu suka.” Riki memberi tahu. “Jadi, lakukanlah rayuan itu dengan tenang tanpa diketahui dia kalau kamu sedang merayu, merayu dalam diam dan sikap gitu,” lanjut Riki dengan cara berbisik ke Beni.
Beni yang sudah mendapatkan informasi dari Riki itu, menganggukan kepalanya pertanda bahwa ia paham, “siap, siap, sepertinya aku sudah lumayan paham apa maksud perkataanmu itu, Rik!” Beni membalas bisikan itu dan menajamkan tatapan ke arah Andin. Akan tetapi, Andin malah melihat ke sekeliling kafe Irama Nada saja.
Dua menit kemudian, seorang karyawan kafe datang ke meja mereka dengan tergesa-gesa.
“Iya, Tuan Riki, ada apa ya? Maafkan saya yang tidak langsung ke meja Tuan, karena di dapur banyak sekali pekerjaan,” ujar karyawan perempuan itu dengan mimic wajah yang cemas. Karyawan perempuan itu parasnya sangat tidak asing bagi Andin dan Beni, dan rupanya ia adalah Hana.
“Apa-apaan kamu ini! Kerjanya lambat dan lemah sekali! Kamu jangan banyak alasan ya, di dapur itu banyak orang yang bekerja, kamu bisa memberi tugasmu ke karyawan lain!” ujar Riki dengan nada suara yang meninggi. Andin dan Beni tampak kaget mendengar ujaran Riki yang seperti itu kepada Hana.
“Aku kira Riki adalah orang yang penyabar, ternyata bisa marah juga,” batin Andin yang tidak menyangka bahwa Riki melakukan demikian.
“Ma.. ma.. maaf Tuan sekali lagi. Karyawan yang seharusnya bekerja di posisi dapur itu kebanyakan yang cuti. Dari lima karyawan, hanya dua orang yang masih tersisa, yaitu Mbak Ina dan Mbak Nita,” Hana memberi tahu bahwa kondisi karyawan yang ada di dapur hanya sedikit.
“Hana, kamu jangan banyak alasan, deh, karyawan di dapur itu sudah professional dibandingkan kamu, jadi jangan sok ngajarin atau membantu mereka, ya!” Riki memaki Hana yang berdiri di depannya. Hana hanya terdiam dan menundukkan kepalanya menghadap ke arah lantai.
“Sa.. saya min.. ta ma.. maaf, Tuan,” Hana terus saja meminta maaf pada Riki atas kesalahannya. Riki yang memarahi Hana siang itu, membuat seluruh seisi kafe mengarah ke meja Riki. Bahkan, beberapa karyawan berhenti sejenak dari tugasnya dan melihat ke arah Hana dan Riki.
Riki pun berdiri dari tempat duduknya, dan berjalan ke arah Hana yang masih menundukkan kepalanya. “Hana, jangan hanya karena kamu memiliki penyakit vertigo dan maag, kamu bisa-bisanya seenaknya tidak menuruti perintah saya,” kata Riki ke Hana. “Semuanya sama! Mau karyawan magang atau tetap kek, karyawan penyakitan atau enggak kek, semua aturannya sama!” sambung Riki yang matanya semakin melotot.
Ayu yang dari tadi melihat Hana dicaci maki oleh Riki, segera melangkahkan kakinya ke meja Riki dan menghampirinya.
“Sudah, sudah, cukup, Tuan Riki!” pinta Ayu, yang berhasil memisahkan sedikit jarak antara Hana dan Riki.
“Ayu, kenapa kamu melerai kami? Aku hanya ingin meluapkan unek-unek saja selama ini ke dia!” balas Riki sambil menunjuk Hana.
“Tuan Riki, sudah jangan lakukan itu lagi pada Hana, aku mohon maafkanlah dia,” Ayu memohon dengan wajah memelas.
“Ayu, aku sudah banyak sekali memberi kesempatan dan meringankan hukuman untuk Hana. Akan tetapi tidak ada iktikad baik dari dirinya, selalu saja lambat dalam bekerja,” terang Riki.
“Tuan Riki, kita semua karyawan di sini saling bahu membahu ketika ada yang kesulitan, Hana dari tadi bekerja rangkap, sebagai bagian dapur, barista, bahkan cleaning service. Itu karena memang kondisi karyawan di sini sedang banyak yang izin untuk cuti, Tuan Riki,” Ayu bersaksi.
“Ayu, aku mohon hentikanlah sikap kamu yang suka memberikan rasa manja ke Hana. Itu gak baik! Kita semua harus sama perlakuannya, jadi tolong dimengerti ya,” pinta Riki.
“Bukan begitu maksud saya, Tuan Riki. Maksud saya itu bukan memberi rasa manja ke Hana, melainkan karena memang banyak tugas kita disini. Aku pun meminta tolong untuk Tuan Riki mengerti keadaan kita semua disini,” Ayu kembali menjelas.
Karyawan lain masih terdiam dan tidak melanjutkan pekerjaan mereka setelah melihat Ayu, Hana, dan Riki berseteru.
“Saya bertanya kepada Tuan Riki, karena banyaknya karyawan yang cuti dan di sini sangat kurang tenaga kerja, apakah Tuan Riki memberi solusi agar kita tidak kewalahan?” tanya Ayu dengan nada menentang.
“Kita rela loh lembur setiap hari kurang lebih enam bulan, masuk pagi jam tujuh dan pulang pukul dua belas malam tanpa digaji lebih!” Ayu melemparkan fakta ke Riki.
“Udah gitu, performa kita selalu dituntut oleh Tuan Riki untuk selalu mengejar target. Untung saja selama ini targe kita terpenuhi, kalau tidak? Pasti ancamannya adalah PHK!” terang Ayu lagi.
Riki hanya bisa mendengar penjelasan Ayu kalimat demi kalimat. Entah mengapa, tidak ada satu pun perkataan Beni yang dibalas oleh Riki.
“Mohon maaf sebesar-besarnya Tuan, kami sangat merasa kecewa dengan system kerja di kerjaan ini!” pungkas Ayu yang langsung menarik Hana kembali menuju meja barista.
Tanpa disadari, mata Hana sudah berlinangan air mata tanpa tahu kapan air mata itu terjatuh. Sampai di belakang meja barista, Hana memeluk erat Ayu yang memang menjadi tempat curhat dan teman seperjuangan selama kurang lebih enam bulan ini.
“Terima kasih banyak ya Mbak Ayu, Mbak Ayu sudah banyak sekali menolong aku baik di masalah kerja maupun masalah pribadi. Semoga Mbak Ayu gak bosan-bosan menemani aku yang manja dan penyakitan ini, ya,” tutur Hana dengan nada tersedu-sedu karena masih menangis. Tak lama kemudian, karyawan lainnya datang menghampiri Hana dan Ayu dan saling berpelukan.
“Terima kasih banyak Ayu, kamu sudah berhasil menyampaikan unek-unek kita semua kepada Tuan Riki,” Mbak Ina berterima kasih ke Ayu.
“Iya, Ayu. Saya juga berterima kasih sama kamu karena sudah membantu kami yang memang kewalahan akhir-akhir ini. Dan kamu mau menjadi orang yang mengatur dan membagi tugas agar kami semua tidak merasa kecapean,” ujar Mbak Nita bercerita tentang jasa Ayu.
“Buat Hana, tetap semangat ya, kami sudah menganggap kamu sebagai adik di sini. Kalau pun ada yang menyakitimu, katakan dan laporkan saja ke kami,” pinta Mbak Ina.
“Iya, Hana. Sudah, kamu jangan menangis ya, ada kami di sini keluarga kamu, yang selalu menemani kamu di kala kamu sedih,” ucap Mbak Nita yang membuat tangis Hana semakin menjadi-jadi.
Disisi lain, Riki yang berusaha meredam emosinya kembali duduk di kursi semula, bersama Andin dan Beni. Setelah kejadian itu, situasi yang awalnya cerita, kini tampak membisu dan canggung.
“Huft, maaf ya Andin, Beni, tadi ada masalah kecil antara aku dengan karyawanku. Biasa lah masalah perusahaan pasti ada lika-likunya. Jadi, mohon dimaklumi,” Riki kembali ke Andin dan Beni.
Andin yang dari tadi sudah merekam pembicaraan antara Riki, Ayu, dan Hana lewat ponselnya. Andin merasa seperti mendapat sebuah petunjuk. Pada saat itu, Andin memang kurang jelas mendengar percakapan langsung mereka, Andin pun sudah memiliki niat untuk mendengarkan pembicaraan ulang itu di rumah.
“Aku yakin akan mendapat sebuah petunjuk dari masalah yang ada, aku sangat yakin!” batin Andin sambil menyimpan rekaman suara yang berdurasi lima belas menit itu ke dalam memori ponselnya. Tak lupa, Andin mengirimkan langsung rekaman itu ke grup w******p yang isinya adalah Beni, Naira dan Andin.
Rekaman suara itu tertunda karena sinyal seluler Andin yang sedikit, ditambah ukuran rekaman yang dikirim itu lumayan besar. “Ah, lama sekali terkirim, ayo lah sinyal kali ini bersahabatlah denganku,” mohon Andin dalam hati. Lalu, lima menit kemudian sinyal ponsel Andin kembali stabil 70% 80% 90% dan 100%. Rekaman suara itu berhasil di kirim ke grup w******p media.
“Kak Beni, Mbak Naira, berikut aku kirimkan rekaman suara yang barusan aku dapatkan. Coba kalian pahami apa yang sebenarnya terjadi, apa isu yang bisa kita angkat, dan bagaimana eksekusinya,” Andin mengirimkan pesan singkat ke dalam grup itu. Andin berharap, media mereka kali ini dapat membantu memecahkan masalah.
“Semoga kita bisa menyelesaikan kasus ini dan mendapatkan titik terang secepatnya, semoga,” Andin kembali mengirim pesan singkat.
Lima menit kemudian, waktu yang sangat singkat itu ternyata Naira dan Beni sudah membaca pesan singkat yang dikirim Andin digrup.
“Siap, akan kita eksekusi secepatnya,” ujar Beni di grup w******p.
“Ini rekaman yang menarik, semangat mencari titik terang wahai rekan-rekan!” sahut Naira di grup juga.