Kalut

1144 Kata
KRINGGGGG…… Alarm Andin telah berbunyi sejak pukul 05.00 WIB. Namun Andin masih saja bergelayut manja di atas kasurnya. Terlebih lagi guling empuk yang sedari tadi dipeluk Andin, terasa lebih mengasyikan menikmati tidur. “Parah lah! Ini alarm gak bisa liat orang senang apa ya..” Andin mencoba menggapai ponsel di meja dekat tempat tidurnya. Matanya masih sipit dan enggan terbuka lebar. Andin kembali menutup kedua matanya, kini dua bantal menutupi telinganya. Dengan begitu, alarm gagal mengganggu tidurnya. “Ya! Ini modifikasi yang sangat mantap!” batin Andin. Hari ini tanggal 6 September, Andin sudah memberi tanda merah pada kalender di tanggal ini. Andin berencana mengikut olimpiade Kimia di SMA Insan Abadi. Tiba-tiba pikiran Andin mengingat rencana yang sudah dibuatnya dua bulan lalu. Rencana yang dianggapnya terpaksa karena mengikuti keinginan Bu Ranti. “Wah! Hari yang aku benci telah tiba,” Andin spontan membuka kedua matanya. Andin melihat jam dinding dan menajamkan pandangannya pada kalender di meja belajarnya. Jam menerangkan pukul 07.00 WIB, Bu Ranti segera membangunkan Andin. “Andin! Ayo bangun, cepat mandi dan sarapan. Ayam gorengnya sudah siap,” teriak Bu Ranti sambil menggedor pintu kamar Andin. Selain alarm, teriakkan Bu Ranti memang manjur untuk membangunkan Andin. Andin membuka pintu kamar dengan rasa malas. Andin tidak langsung ke kamar mandi melainkan duduk di kursi makan dan mengambil satu potong ayam goreng bagian d**a. “Eh! Mandi dulu, sikat gigi juga. Mulut kamu bau banget!” Bu Ranti menyentil tangan Andin. “Mandi dan nyikat gigi bikin habis waktu, bentar lagi mau ke sekolah nih,” Andin melanjutkan mengambil nasi ke piringnya dan melahap hidangan itu. “Oh iya, hari ini kamu ikut olimpiade Kimia di SMA Insan Budi ya?” tanya Bu Ranti. Mendengar pernyataan itu, Andin terbatuk dan makanan yang dikunyahnya muncrat begitu saja. “Uhuk! Mama tau dari mana?” balas Andin. “Mama pernah lihat tanda di kalender meja belajarmu itu, cepat habisin makanannya nanti kamu telat loh,” Bu Ranti antusias sekali mengetahui Andin olimpiade Kimia. Mengikuti kompetisi di bidang akademik adalah salah satu cara Bu Ranti melatih daya piker Andin. “Kayaknya aku gak jadi ikut deh, gak ada persiapan sama sekali,” ujar Andin meneguk air mineral dari gelas. “Heh! Kamu ngomong apa, Andin? Kamu jago Kimia, sayang sekali kalau gak ikut,” ucap Bu Ranti. “Dari pada aku malu-maluin diri sendiri dan sekolahan, mending gak usah ikut,” kata Andin ketus. “Pasti ini gara-gara kamu sok ikut penyidikan kasus pembuangan bayi itu kan? Kamu jadi ngelupain akademik kamu. Malah ngutamain penyidikan yang harusnya kamu tinggalkan,” cakap Bu Ranti sambil menuangkan air mineral lagi ke gelas Andin. “Mama ngomong apa sih? Udah lah pokoknya aku gak mau ikut!” Andin beranjak dari kursi makanannya,meninggalkan sisa nasi dan sepotong ayamnya. Bu Ranti hanya bisa menatap Andin yang meninggalkannya di ruang makan. Andin memasuki kamar tidurnya dan keluar  mengenakan seragam sekolah. “Aku pamit ke sekolah,” pamit Andin tanpa menyalimi Bu Ranti. Andin langsung bergegas melaju dengan sepeda motornya menuju sekolah. Di depan gerbang sekolah sudah ada Pak Ridwan, guru Kimia Andin. Andin berusaha menyembunyikan wajahnya dari Pak Ridwan. Andin memakai masker yang menutupi setengah wajahnya dan penutup helm, “Yay! Pak Ridwan pasti gak tau aku siapa, hihihi,” ucap Andin dalam hati. Perlahan sepeda motor Andin memasuki gerbang sekolah. Fahri, siswa laki-laki di depannya sangat gaduh menyetir motor. Fahri memainkan stir motor ke kiri dan ke kanan. Fahri tidak peduli banyaknya pemotor di belakang yang kesal akan kelakuannya. Andin yang merasa hal itu membahayakan, terus membunyikan klakson agar Fahri menghentikannya. “Eh! Nyetir motor yang bener dong, SIM kamu nembak ya!” ucap Andin sembari terus membunyikan klaksonnya. “Uh, Anggi si cantik, jangan marah dong pagi-pagi,” balas Fahri mengedipkan satu matanya untuk Andin. Wajah Andin meraut kesal dan tidak membalas apapun kepada Fahri. Tidak mau membuang waktu banyak, Andin melajukan sepeda motornya ke tempat parkir yang berada di belakang kantin. Rupanya, Fahri memarkir sepeda motornya tepat di samping Andin. “Kalau jodoh gak kemana sih, parkir motor aja sebelahan. Telepati kita kuat banget, Din,” Andin yang mendengar ucapan Fahri, bergegas membuka helm dan hatinya makin kesal. “Eh, denger ya Fahri, bisa gak sih gak mengganggu cewek? Aku sudah muak sama kelakuan kamu yang kegenitan gini sama semua cewek!” ucap Andin kesal, melototkan matanya. “Aku gak genit, aku cuman mau mengenal kamu lebih dekat,” balas Fahri tertawa sedikit. “Kamu paham cat calling gak sih? Ini tuh termasuk pelecehan seksual!” Andin semakin menaikkan nada bicaranya. “Apaan sih, lebay banget!” ketus Fahri. “Parah kamu ya! Otak kamu dimana sih, kalau aku ngerasa gak aman, aku bisa tuntut kamu loh!” “Tuntut? Kamu mau tuntut aku? Silahkan,” Fahri menantang. “Ayo sekarang kita ke ruang BK! Berani gak kami?!” tantang Andin balik. Keributan itu membuat area tempat parkir ramai. Fahri yang biasanya berhasil menggoda perempuan, kini dilawan Andin. Fahri tidak berkutik, ia diam saja ketika Andin mengajaknya ke ruang BK. Sementara Andin terus menarik tangan Fahri dan memaksa kasus ini selesai dari penyelesaian BK. “Ada apa ini?” suara Pak Ridwan terdengar dekat sekali dengan Andin. Andin menoleh ke belakang, Pak Ridwan ada di belakangnya sambil mengacak tangan ke pinggang. “Ini Pak! Fahri suka sekali ganggu cewek! Risih Pak, saya gak terima!” ungkap Andin ke Pak Ridwan. Namun, Fahri diam saja dan asyik menyisir rambutnya dan memakai pomade. Mengetahui itu, emosi Andin makin memuncak dan Andin spontan menendang ban motor Fahri. “Kamu kenapa sih? Kesurupan ya?” ucap Fahri. “Tuh kan Pak! Laki-laki kayak gini suka lari dari masalah! Gak bertanggungjawab!” “Tenang, Andin. Tolong jelaskan ke Bapak bagaimana kronologinya,” perintah Pak Ridwan. “Dari tadi si Fahri ini terus godain saya, Pak. Bilang cantik lah, jodoh lah, bahkan mau kenal saya lebih dekat. Saya sungguh risih, Pak!” jelas Andin. Pak Ridwan mengangguk-angguk mendengar penjelasan Andin. Pak Ridwan menatap Andin dan Fahri secara bergantian. “Hmm, kalau dipikir-pikir kalian cocok juga loh! Fahri naksir kamu tuh!” ucap Pak Ridwan sambil tertawa. Bukannya berusaha membela dan memberi pelajaran pada Fahri, Pak Ridwan justru membuat suasana seakan-akan lucu. Alhasil, seluruh siswa yang melihat kejadian itu, ikut tertawa karena perkataan Pak Ridwan tadi. “Bapak ini kenapa sih?! Bukannya membela, malah mewajarkan kelakuan si Fahri,” Andin tidak terima. “Gimana ya, namanya laki-laki anak muda, menggoda perempuan itu sudah biasa,” kata Pak Ridwan. “Betul tuh!” sahut Fahri yang langsung meninggalkan tempat parkir tanpa merasa bersalah. “Jadi guru itu harusnya bisa memilah mana yang membuat siswa nyaman dan tidak. Kalau respon Bapak seperti ini, saya yakin akan banyak Fahri-Fahri lainnya!” ucap Andin, Pak Ridwan kembali tertawa. “Enggak lah, itu masih wajar, Din,” Pak Ridwan malah mengentengkan. “Bapak ngerti cat calling gak sih?! Coba deh baca buku sana biar pikiran Bapak lebih teratur dikit,” Andin ketus. “Ngomong-ngomong ayo persiapkan diri kamu untuk olimpiade Kimia. Lima belas menit lagi kita berangkat,” Pak Ridwan mengalihkan pembicaraan. “Maaf ya Pak, BATAL!”Andin meninggalkan Pak Ridwan dan menuju ruang kelasnya. Sesampainya di depan pintu kelas, Bu Della memanggil Andin, “Din! Ibu mempunyai info baru tentang Anggi, ayo sini!” Bu Della menarik Andin ke ruang kesehatan. Bu Della mengeluarkan ponsel dan menunjukkan satu file rekaman, “Coba dengar baik-baik,” Andin mendengar rekaman tersebut dengan seksama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN