Problem (1)

1036 Kata
“Itu suara Anggi?” tanya Andin. Andin mencoba menerka-nerka kepemilikan suara dalam rekaman itu. Bu Della mengangguk. “Dari mana Ibu mendapatkan rekaman ini?” tanya Andin lagi. “Ibu merekam diam-diam saat interogasi Anggi di kantor polisi,” jawab Bu Della. “Tanpa persetujuan Anggi?” Andin memastikan. “Gimana mau minta persetujuan, Ibu aja spontan nanyain kok,” Andin menggelengkan kepala, “Tau gak, apa yang dilakukan Ibu adalah ilegal! Kalau Anggi gak terima, Ibu bisa dituntut loh!” Bu Della mengangkat bahunya, “maaf Andin, Ibu salah. Ibu gak tau kalau perbuatan Ibu ini ilegal.” Bu Della tertunduk lesu. Awalnya ingin menginformasikan pada Andin, malah kena semprotan anak muridnya itu. “Lain kali Bu, kalau mau merekam sebagai sumber informasi, harus minta ijin sama orangnya. Biar dikemudian hari tidak ada kesalahpahaman,” ucap Andin. Bu Della pun mengangguk, “iya Andin, kamu benar.” TENG....TENG....TENG.... Suara bel sekolah yang khas berdengung menandakan seluruh murid harus masuk memulai pelajaran pertama. Andin yang mengetahui pelajaran pertama hari ini ialah Sosiologi, langsung pamit pada Bu Della, “Bu, jam istirahat kita bertemu ya, bye!” Andin berlalu masuk ke  kelasnya. Andin duduk di kursi paling depan, tidak ada satupun teman sekelasnya yang berminat duduk di depan saat pelajaran Sosiologi berlangsung. “Betah amat Din duduk di depan waktu Sosiologi,” ucap Fahri diantara riuhnya suasana kelas. “Emang kenapa? Gak usah ngurusin orang ya,” balas Andin sedikit teriak. Tak.. tuk.. tak.. tuk.. suara sepatu wanita mendekat ke arah kelas. Semua murid di dalam kelas seketika hening menyambut kedatangan wanita itu. Dari balik pintu, muncullah Bu Della. “Yeeeeeee!” koor seluruh murid. Bu Della menempatkan telunjuknya di depan bibir, “Husssst, kalau ribut saya gak jadi masuk lho.” Bu Della duduk di kursi depan kelas tanpa membawa buku bacaan satupun. Hal itu sungguh tidak biasa sekali, “Bu, kok Ibu yang masuk?” tanya Andin. Namun, Fahri langsung membalas ucapan Andin, “ya bagus dong, bukan Bu Olla si killer itu yang masuk, Ups!” Andin menatap Fahri, Andin menaikkan ujung bibirnya dan membentak, “bukan kamu yang saya tanya!” “Sudah, sudah! Hari ini Ibu menggantikan Bu Olla karena beliau sedang merawat anaknya yang sakit,” info Bu Della. “Lalu, untuk tugasnya merangkum jurnal yang berhubungan dengan kesehatan mental, ya,” pinta Bu Della. Andin tidak lupa mencatat perintah Bu Della di buku catatan kuningnya. Setiap guru yang memberikannya tugas, di buku catatan itu pasti tertulis. “Deadline kapan, Bu?” tanya Andin. “Tiga hari lagi, dikumpulkan ke email Ibu,” jawab Bu Della. “Sekian pertemuan hari ini karena seluruh guru akan rapat dadakan, langsung pulang ke rumah masing-masing.” Pernyataan Bu Della membuat seisi kelas bising, “jam kosong adalah pelajaran paling mengasyikkan!” ucap Fahri. Satu per satu murid berpamitan dan  meninggalkan ruang kelas. Seperti biasa, Andin menjadi orang terakhir yang akan pulang. Andin menggapai tangan Bu Della untuk bersalaman, tiba-tiba Bu Della berbisik, “seluruh guru akan rapat perihal tulisan yang kamu bagikan, Din.” Andin terdiam sejenak, tertawa kecil dan berseru, “akhirnya tulisanku bisa terbaca hingga guru pun tau.” Bu Della mengacungkan jempol ke Andin. *** “Mama cantik, aku pulang!” Andin membuka pintu rumah dengan semangat. “Kok sudah pulang? Ini masih jam 10 pagi,” tanya Bu Ranti. “Semua guru pada rapat Ma,” jawab Andin sembari melepas sepatu dan kaos kakinya. “Berarti lomba olimpiademu gak jadi ya?” tanya Bu Ranti lagi. “Gak jadi ikut, aku kesal sama Pak Ridwan, melanggengkan pelecehan di kalangan murid,” jawab Andin. Bu Ranti yang mendengar itu langsung mematikan televisinya. “Maksud kamu?” “Katanya Bu Della gitu, tulisan yang aku bagikan kemarin sudah dibaca sama seluruh guru. Semoga saja mereka mau membantu memecahkan kasus ini,” jelas Andin. Bu Della yang sempat membaca tulisan itu juga merasa khawatir ketika Andin menuliskan identitas “Anggi” sebagai terdakwa. “Kamu sudah yakin tulisan kamu tidak bermasalah?” “Sudah dong!” Andin masuk ke kamarnya dan mengganti pakaian. Andin membuka laptopnya dan mengecek sudah berapa orang yang membaca tulisannya. “Woah! Lima ribu orang yang membaca dalam sehari. It’s amazing!” Andin kembali memastikan angka pembaca yang tertera di media sosialnya itu. Banyaknya komentar yang masuk membuat Andin penasaran juga, “tumben amat tulisanku ada yang komen, biasanya dicuekin.” Andin membaca semua komentar, ada yang membuat Andin setuju, menggeleng, bahkan tertawa. “Netijen memang beda-beda ya otaknya!” ucap Andin. Sedang asyiknya Andin membaca komentar, Bu Ranti masuk ke kamar Andin dan berkata, “cepat hapus tulisan itu!” ucap Bu Ranti. Andin mengalihkan pandangannya ke Bu Ranti, mamanya sudah berdiri di depan pintu sambil memegang ponsel Andin. “Kenapa Ma? Ada yang keberatan?” tanya Andin. “Tadi kepala sekolahmu menelpon Mama, mereka keberatan kamu membawa nama SMA Melati Jaya dalam tulisanmu,” balas Bu Ranti. Anggi berjalan menuju Bu Ranti, mulai memegang pundak Bu Ranti, “tenang Ma, aku bisa mempertanggungjawabkannya.” “Sudah ya Andin, kamu itu masih kecil. Hal seperti ini bisa jadi petaka buat kamu!” “Petaka? Enggaklah, aku gak nulis berita bohong kok,” “Andin, tapi kalau mau nulis harus mikir juga bagaimana efek untuk kamu kedepannya. Kalau pada gak terima, kamu harus mau hapus tulisanmu,” Bu Ranti memberi nasihat. Andin terdiam sejenak, berpikir kata-kata apa yang pantas dikeluarkan untuk membalas pernyataan Bu Ranti, “tetap gak mau.” “Yaudah kalau gitu besok ikut Mama bertemu kepala sekolahmu! Ponsel kamu Mama sita!” Bu Ranti lantas menutup pintu kamar Andin. Andin tersenyum kecil, Andin paham jika Bu Ranti sedang khawatir atas masalah yang ditimpa Andin. “Duh, Mama, tenang saja, aku bisa mengatasinya kok!” ucap Andin dari balik pintu kamarnya. *** Hal yang membosankan menurut Andin telah tiba, ponselnya disita. Andin tidak bisa bermain Hago untuk meninggikan levelnya. Demi mengatasi kebosanan itu, Andin membuka catatan kuningnya, “Nah! Lebih baik aku ngerjain tugas aja,” kata Andin. Andin mengetikkan keyword, “Kesehatan mental terhadap anak-anak dan remaja,” di pencaharian Google. Tampak banyak sekali blog yang membahas perihal kesehatan mental mulai dari tulisan serius hingga bercandaan. Andin mulai memilah mana tulisan yang dianggapnya layak, mana yang tidak. “Hmm, paragrafnya terlalu panjang,” Andin menutup salah satu laman. “Capek banget bacanya, gak ada titik!” Andin menutup lagi. “Ini lagi nulisnya gak sesuai kaidah PUEBI,” gerutu Andin. “Ih, tulisan sampah!” Andin semakin kesal. “Kok orang-orang nulis gak ada yang bener sih?” Andin menutup laman internet di laptopnya. Sudah berniat mematikan laptop, masuklah sebuah email dari platform yang mengatasnamakan kesehatan mental. Platform itu telah diikuti Andin dalam tiga bulan terakhir. Email masuk dari platform ini selalu dinantikan Andin. Andin meng-klik simbol email dan mulai membacanya. Subjek email tertulis, “Gangguan pada sistem saraf otak yang mengatur ekspresi seseorang, sering tertawa dan menangis tanpa sebab, Pseudobulbar!”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN