Penundaan Sidang

1201 Kata
Ini pertama kalinya Anggi memasuki ruangan yang ukurannya 2 meter x 3 meter dan dihuni tiga orang perempuan. Ditatap sekeliling ruangan itu, pelapon putihnya sedikit terbuka dan banyak rayap berkerumun. Anggi menatap baik-baik perempuan di sebelahnya yang selalu menunduk itu. “Kamu orang jahat?” todong Anggi pada perempuan di sebelahnya. Belum saja perempuan itu menjawab, perempuan lain yang ada di pojok ruangan tiba-tiba berdeham. Perempuan berbadan kekar tersebut selalu mengawasi Anggi, mengepalkan tangan kanannya ke arah Anggi dan berjalan mendekat. Spontan pula Anggi tertawa keras dan membuat seisi ruangan terkejut. “Kamu mengejek saya, ya?!” ujar perempuan berbadan kekar itu, menggapai dagu Anggi. Tubuh Anggi yang awalnya terduduk, kini berdiri mengikuti gerakan tangan perempuan yang memegang dagunya. Masih saja Anggi tertawa, tanpa menjawab pertanyaan yang dituju padanya. Perempuan tadi semakin melototkan kedua matanya, Anggi berusaha melepaskan dagunya dari sebuah cengkraman. “Lepaskan! Kamu orang jahat juga ya?! Pantas saja kamu masuk penjara!” ucap Anggi melihat kepalan tangan seorang perempuan yang siap menghajar wajahnya. Keringat Anggi mulai bercucuran, ditepisnya kepalan tangan itu dan mulai memutarnya. “Heh kamu ngaca dong! Kamu juga orang jahat, buktinya kamu disini!” teriak perempuan kekar tadi dan menarik tangannya. “Cepat lepaskan tanganku, sakit!” pinta perempuan itu. “Gitu aja kesakitan. Percuma punya badan kekar, tangan diputar udah kesakitan!” ejek Anggi dan memilih menghindar dengan duduk di dekat pintu. Anggi mengistirahatkan tubuhnya di kursi pendek berwarna cokelat. Matanya menatap ke luar ruangan, tidak ada satupun orang yang melukis senyuman untuknya. Padahal Anggi melemparkan senyum siapapun yang lewat di depannya. Dua orang polisi datang membuka pintu ruangan, Anggi beranjak dari duduknya dengan cepat. Salah seorang dari polisi itu memberi isyarat kepada dua orang perempuan di ruangan. Anggi melirik sembunyi-sembunyi, kedua perempuan itu menunjukkan wajah ceria dan saling berpelukan. Satu perempuan yang sedari tadi menunduk telah meninggalkan ruangan sambil tersenyum lebar. Bahkan perempuan kekar yang hampir menghajar Anggi pun telah bersiap menyusul meninggalkan ruangan. Tatapan sinis mengarah ke Anggi, melemparkan senyuman terpaksa dan berkata, “makanya punya keluarga kaya dong! Kalau kamu berbuat jahat, uang akan bermetamorfosis jadi malaikat.” Anggi menelan ludahnya dalam-dalam, menundukkan kepalanya dan mencoba mencerna perkataan perempuan itu. Uang akan bermetamorfosis jadi malaikat, batin Anggi menimbulkan banyak pertanyaan, “apakah aku bisa terbebas dari ruangan ini jika memberikan banyak uang kepada polisi?” “Saudari Anggi! Silahkan ikut saya ke ruang sidang!” seru seorang polisi menjemput Anggi dan mengarahkan menuju ruang sidang. Anggi memasuki ruangan berisi meja dan kursi cokelat yang tersusun rapi. Anggi diminta duduk di kursi yang berada di bagian belakang ruangan. Di depan ruangan sudah ada tiga kursi kosong yang sedikit lebih tinggi dibandingkan kursi lainnya dalam ruangan. Anggi membaca tulisan yang tertera di setiap meja di sekitarnya. Sebelah kirinya ada meja penuntut umum, sebelah kanannya ada meja penasihat hukum dan di depannya meja majelis hakim. “Hari ini, Rabu tanggal 5 September 2020 yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dengan nomor register 55/Pidana.P/2020/PN.PBG atas nama Anggi Hanifah. Sebelum siding dimulai, ijinkan saya membacakan tata tertib persidangan,”  ucap laki-laki berjas hitam dengan pita merahnya. Laki-laki tersebut sebagai Panitra dalam sidang kali ini. Seluruh orang yang berada di dalam ruang sidang mendengarkan baik-baik aturan sidang yang dibacakan Panitra. Namun, Anggi tampak gelisah selalu memutar-mutarkan badannya ke kiri dan ke kanan. Andin dan Bu Della turut hadir menyaksikan jalannya persidangan Anggi. “Eh Bu, liat deh gelagatnya Anggi. Seperti ada yang aneh,” tanya Andin ke Bu Della. Bu Della pun memastikan maksud dari pernyataan Andin. Bu Della tidak membalas pernyataan Andin. Bu Della tetap memperhatikan si Panitra membacakan aturan saat sidang yang berlangsung hingga usai. “Baik, majelis hakim akan memasuki ruang sidang, para hadirin dipersilahkan untuk berdiri,” lanjut Panitra. Dua orang laki-laki dan satu orang perempuan memasuki ruangan sidang. Ketiga orang tersebut mengenakan toga hakim, simare warna merah hati dan bef yang terbuat dari kain baptis putih. Langkah demi langkah mengantarkan tiga orang itu duduk di kursi majelis hakim. Andin bergegas mengeluarkan ponselnya dan siap merekam kata demi kata yang keluar saat persidangan. Tak lupa pula mengambil foto suasana persidangan lewat ponselnya. “Hmm, kok tidak ada wartawan yang meliput ya? Padahal kasus pembuangan bayi ini selalu digembor-gemborkan,” ujar Bu Della sambil melihat para hadirin. Andin yang mendengar itu, langsung membalas, “karena kasus ini dilakukan oleh orang tidak terkenal. Percuma saja kalau menulis, nanti beritanya gak ada yang baca.” Andin mengeluarkan buku kecil serta pulpen merahnya. “Saya akan mencatat dan menulis perihal ini, Bu,” balas Andin. Bu Della mengacungkan jempol tangan kanannya ke Andin. Andin menyeringai. “Baik. Sidang perkara pidana hari ini Rabu tanggal 5 September 2020 yang memeriksa dan mengadili tindak pidana nomor register 55/ Pidana.P/2020/PN.PBG atas nama terdakwa Anggi Hanifah, dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum,” ucap Hakim Ketua yang kemudian mengetukkan palu sebanyak tiga kali. “Saudara Penuntut Umum, apakah siap untuk menghadirkan terdakwa? Tanya Hakim Ketua pada Penuntut Umum yang ada di sebelah kanannya. “Siap Yang Mulia,” jawab seorang perempuan sebagai Penuntut Umum. “Silahkan hadirkan di muka sidang dalam keadaan bebas,” perintah Hakim Ketua. Anggi Hanifah, memposisikan dirinya untuk duduk di kursi merah yang ada di hadapan meja majelis hakim. Atmosfer dalam ruang sidang seketika hening dan mulai memanas. Anggi terlihat menunduk dan kedua tangannya mengepal. Tiba-tiba Anggi teriak nyaring sekali dan tertawa keras hingga memegang lehernya. “Hahahahaha,” Anggi berlutut di lantai mencoba memberhentikan tawanya. Tangannya melambai minta pertolongan, Bu Della yang dari awal sudah khawatir akan kondisi Anggi, langsung menolong dan membawa Anggi keluar dari ruang sidang. “Tolong bawa Anggi ke rumah sakit. Anggi sedang tidak baik-baik saja!” pinta Bu Della yang panik melihat Anggi masih tertawa. Anggi juga tersedak-sedak dan merasa kesakitan di bagian lehernya, “Tolong, ini menyakitkan,” kata Anggi. Anggi pun di bawa menuju rumah sakit memakai mobil Bu Della. Suasana di ruang sidang tampak kacau, Hakim Majelis juga sepakat untuk menunda sidang sampai kondisi terdakwa pulih kembali. “Baik, karena kondisi yang kurang baik dialami terdakwa, kita akan menunda sidang ini sampai mendapatkan kabar bahwa terdakwa mampu mengikuti persidangan,” ucap Hakim Ketua. “Baik, sidang ini kami tutup,” Hakim Ketua pun mengetuk palunya sebanyak sekali. *** Anggi pun tercengang dengan fenomena itu, baru kali ini dia melihat kakak kelasnya seperti itu. Ternyata, keanehan Anggi yang dilihat Andin pun terjawab sudah. “Aku harus cari tahu apa yang diderita Anggi!” batin Andin. Andin pulang menuju rumahnya dan membuka laptop kesayangannya. Sayangnya, Andin mengalami kesulitan karena data yang didapatnya kurang cukup. Andin hanya mendapatkan informasi bahwa persidangan Anggi ditunda karena kondisi Anggi yang tidak memungkinkan. “Berita tentang kasus ini harus terus berjalan. Bagaimanapun juga, ini penting untuk mengedukasi orangtua dan anak-anak,” ungkap Andin. Andin mulai menuliskan kata demi kata yang diyakininya mampu memberikan informasi untuk dikonsumsi publik. Anggi, Penundaan Sidang dan Kesehatan Mental, tiga hal itu menjadi topik yang akan ditulis Andin. Kurang lebih dua jam Andin menulis berita, Andin langsung membagikannya ke seluruh media sosialnya dengan judul, “Penundaan Sidang Kasus Pembuangan Bayi, Akankah Kasus ini Terungkap?” Merasa berhasil menulis sesuai dengan keinginanya, Andin merebahkan tubuhnya ke kasur, “semoga kasus ini berakhir baik dengan keadilan. Semoga hukuman yang didapat Anggi bisa diringankan mengingat kondisi Andin yang tidak baik-baik saja,” katanya. Belum saja satu jam berita itu dibagikan, Bu Ranti menggedor pintu kamar Andin dan berkata, “Andin! Tolong jangan suka membesar-besarkan sebuah kasus. Kasusnya belum jelas aja kamu sudah buat berita begini!” Bu Ranti berbicara dengan nada tinggi dari balik pintu kamar Andin. Andin mengigit kuku tangannya dan menggelengkan kepalanya.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN