This Night

1072 Kata
Malam sudah menunjukan pukul 23.00, Beni dan tiga rekannya sudah sampai di depan rumah Naira pada jam tersebut. Naira pun membuka pintu mobil untuk keluar. “Terima kasih ya sudah diantarin sampai rumah. Kalian hati-hati di jalan, selamat sampai rumah,” ucap Naira seraya melambaikan tangan kepada Beni dan dua rekannya yang lain. Beni, Ayu, dan Andin pun membalas lambaian tangan dari Naira. Mereka pun melanjutkan perjalanan untuk mengantar Ayu. Malam itu di dalam mobil terasa sunyi, ditambah musik yang diputar itu mengandung unsur musik jazz. “Mbak Ayu, aku mau bertanya, apakah besok Mbak Ayu bekerja?” tanya Andin membuka pembicaraan. “Iya lah Din, setiap hari kan kerja tanpa libur,” jawab Ayu. “Jam berapa, Mbak?” tanya Andin lagi. “Jam tujuh pagi sampai jam sebelas malam,” jawab Ayu. “Oh ya, aku lupa untuk bertanya mengenai hal ini. Mengapa pada hari ini diperbolehkan untuk pulang lebih awal?” Andin menyimpan rasa penasaran. Ayu tersenyum, “kamu masih ingat saja, Din. Ya, pada hari ini tadi semua karyawan bekerja sama untuk mogok selama setengah hari,” kata Ayu. “Terus, harapannya apa dari aksi mogok setengah hari kerja itu?” balas Andin. “Diharapkan kami diberikan intensif lebih sebagai uang lembur, tapi sampai saat ini tidak ada pemberitahuan apapun dari pihak Riki sebagai pemilik kafe Irama Nada,” ucap Ayu kecewa. “Kalau boleh tau, berapa upah Mbak Ayu dan kawan-kawan selama sebulan itu? Kan jam kerjanya sangat panjang tuh, berapa kira-kira, Mbak?” tanya Andin. Ayu tertawa, “hahaha, kalau kamu mengetahui gaji kami, pasti kamu sangat kecewa, kesal, dan ingin sekali memarahi Riki di depan wajahnya,” ucap Ayu. Andin dan Beni menyeritkan dahi mereka, berapakah sebenarnya gaji yang diberikan oleh Riki? Rupanya, Andin dan Beni memiliki pertanyaan yang sama. “Baiklah, kalau Mbak Ayu keberatan untuk memberi tahu kepada kami, tidak masalah,” Andin membalas dengan senyuman. “Aku tidak enak menyebarkan nominal gaji di tempat kerjaku saat ini, aku masih menghargai Riki sebagai pemilik kafe. Jadi, aku benar-benar meminta maaf pada kalian karena tidak bisa memberi tahukan gaji kami,” ujar Ayu. “Sabar ya Mbak Ayu, semoga ada kebijakan yang lebih baik dari Riki untuk karyawannya yang lain,” doa Andin. “Iya, semoga saja,” Ayu berharap sambil melambungkan senyuman lewat bibirnya. “Ayu, ini untuk ke kontrakanmu baiknya lewat jalan mana, ya?” tanya Beni disela-sela berhentinya pembicaraan Andin dan Ayu. “Lewat jalan Karang rejo saja, nanti belok kanan sampai mentok, ya di situ sudah kontrakanku,” jelas Ayu. Beni pun mengangguk mengerti dan segera menjalankan mobilnya mengikuti arahan Ayu. Masih di dalam perjalanan, Andin tiba-tiba teringat akan sosok Hana. Perempuan manis yang selalu sopan lembut ketika menghadapi pelanggan. “Mbak Ayu, Mbak Ayu apakah tau dimana tempat tinggal Hana?” kepo Andin. “Terakhir aku taunya di Jalan Ringroad, namun akhir-akhir ini kurang paham sih soalnya dia sering pindah-pindah kos atau kontrakan gitu,” kata Ayu tentang Hana. “Sering pindah tempat tinggal dong ya? Gara-gara apa Hana selalu pindah tempat tinggal, Mbak?” Andin kepo lagi. Ayu menarik napasnya panjang dan menghembuskannya, kemudian ia menjawab pertanyaan Andin sebelumnya, “Yang jelas sih susah bayar kontrakan atau kosnya itu. Kasarnya sih dia sering diusir sama pemilik kos ataupun kontrakan,” mata Ayu pun memerah. Melihat kedua mata Ayu yang memerah dan melemah, Andin berinisiatif menyudahi untuk membahas tentang Hana. “Oh begitu, ya Mbak,” pungkas Andin. Padahal, Andin pun ingin sekali mengulas lebih dalam perihal Hana, yang katanya memiliki penyakit vertigo akut. “Hmm, aku ingin sekali mengetahui keadaan Hana, tapi sepertinya ini bukan waktu yang tepat, deh,” batin Andin yang harus mengurungkan niatnya. “Mas Beni, awas kelewatan gangnya!” seru Ayu yang memperingatkan Beni. Beni terkejut dan baru sadar kalau dari tadi ia melamun, “huh, untung saja Ayu menyadarkanku, ternyata aku melamun ketika menyetir!” sahut Beni yang menjewer telinga kanannya sendiri. “Kalau lagi mengemudi, fokus terus ya Mas Beni, itu untuk keselamatan Mas Beni dan penumpang lainnya,” nasihat Ayu ke Beni. “Iya, iya Yu, tumben-tumben saja ini aku melamun, biasanya ya fokus dan tidak pernah pecah seperti ini pikiranku,” Beni pun keceplosan. “Hah? Jadi selama mengemudi ini, Kak Beni pikirannya kemana-mana, gitu?” Andin terkejut langsung mendekatkan wajahnya ke Beni. “Kak Beni gak apa-apa kan? Gak lagi banyak masalah, kan? Gak lagi galau, cemas, atau semacamnya, kan?” Andin memberi bertubi-tubi pertanyaan ke Beni. “Hahahaha gak kok, Din,” Beni menjawab santai supaya Andin tidak terlalu gelabakan. “Apa yang Kak Beni katakan barusan, membuat aku waspada loh, lain kali kalau lagi banyak pikiran gak usah dulu bawa mobil atau kendaraan lainnya, takutnya ada apa-apa lagi,” Andin seperti perhatian sekali sama Beni. “Ehem, Andin kok perhatian begitu ya sama Mas Beni?” Ayu berdehem setelah melihat tingkah laku Andin dan Beni di dalam mobil. Karena lampu di dalam mobil Beni yang tidak menyala saat dikemudikan, wajah merah Andin pun tersamarkan. Andin menutup sebagian wajahnya dengan kedua tangannya. Ayu yang melihat pun langsung melempar pertanyaan. “Kenapa wajah kamu ditutupi seperti itu pakai tangan? Kamu malu atau salah tingkah nih?” Ayu memberi candaan lagi ke Andin. “Enggak.. enggak kok Mbak Ayu, aku hanya ingin begini saja,” balas Andin yang masih menyembunyikan pipinya yang memerah menggunakan kedua tangannya. “Sudahlah, Din, kalau kamu sedang dimabuk cinta gak usah disembunyikan begitu. Aku tau kok kamu senang “ehem” ya sama Mas Beni?” todong Ayu yang melirik bergantian antara Andin dan Beni. Andin pun hanya menggelengkan kepalanya, sementara Beni ikut tersenyum mendengar Ayu membuat lelucon seperti itu, “Ayu, ternyata kamu punya bakat menjadi penyindir yang hebat ya!” balas Beni. “Bukan nyindir lagi Mas Ben, langsung aku katakan di depan orangnya langsung! Hahaha,” Ayu tertawa sambil mengingat ia memarahi Riki tempo hari. “Oh iya! Aku paham, paham! Kamu cocok tuh dijadikan tameng!” canda Beni lagi. “Ah mas Beni! Liat tuh Andin, dari tadi senyum-senyum sendiri loh!” Ayu menyikut Andin pelan. “Gak gak gak!!!!” Andin melemparkan pandangannya ke jendela mobil. Karena di dalam mobil itu lumayan mengasyikan, sampai-sampai lupa kalau mereka sudah sampai tepat di depan kontrakan Ayu. “Udah sampai tuh Yu, terima kasih atas waktu dan klarifikasinya malam ini, semoga kita semua dijauhkan dari marabahaya,” kata Beni ketika Ayu ingin keluar dari mobil. “Iya, aku juga terima kasih pada malam minggu ini sudah terhibur dengan tingkah laku kalian berdua, ahaha,” balas Ayu. Ayu pun keluar lewat pintu mobil dan masuk ke dalam kontrakannya. Ayu sudah masuk ke dalam kontrakannya, Andin yang berada sendirian di kursi belakang membuat Beni kasihan. “Din, kamu pindah ke kursi depan gih, temani aku nyetir,” ucap Beni yang membuat d**a Andin kembali berdegup kencang. “Salah tingkah macam apa lagi ini sedang melandaku?” batin Andin gemetaran.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN