Dipecat

1755 Kata
Andin diam saja setelah permintaan Beni terucap dari bibirnya. Jantung Andin yang berdegup kencang, telapak kaki dan tangannya semakin dingin karena suasana malam dan air conditioner. Beni melirik sosok Andin lewat cermin kecil yang ada di mobilnya. “An.. din?” ujar Beni berusaha membuyarkan lamunan Andin. “I.. i.. iya, Kak Ben?” Andin langsung menggenggam kedua tangannya lebih erat. “Kamu dengar apa yang tadi aku katakan, kan?” tanya Beni. “Oh, iya, dengar kok Kak Beni,” jawab Andin sambil menenangkan dirinya yang masih salah tingkah. “Apa coba?” Beni membalikkan badannya ke Andin yang duduk di belakang kursinya. Beni menatap perempuan mungil itu dengan kedua tangan yang digenggam. Darah Andin semakin berdesir hebat ketika kedua mata Beni mendarat tajam ke kedua matanya pula. Andin tak sanggup untuk membalas pertanyaan itu, bibirnya seakan terkunci. “Duh, kenapa ini bisa terjadi? Bisa mati terduduk kalau ditatap begitu terus,” Andin berupaya memalingkan pandangannya ke segala arah. Nahas, tiap kali mata Andin berselancar ria, kedua mata milik Beni pun terus mengikutinya. “Andin, kamu kenapa? Kok diam?” tanya Beni lagi. Mau tidak mau, Andin harus menjawab pertanyaan itu. “Hmm, gak apa-apa Kak, dingin banget soalnya, hehe,” Andin menjawab apa yang sedang ia rasakan. “Kalau begitu pindah duduk ke depan aja nanti kamu pakai jaket kulitku saja agar tidak terlalu dingin,” tawar Beni. Baru saja Beni menawarkan hal itu, spontan Andin menolaknya dengan tegas, “oh, tidak, tidak, tidak usah kak Ben, enak di belakang saja tidak langsung kena air conditioner,” kata Andin. “Yakin? Kamu gak mau temani aku di kursi depan?” Beni bertanya lagi. “I.. i.. iya Kak, aku lebih nyaman duduk di kursi belakang, hehe,” balas Andin. Beni mendengus, merasa kecewa tawarannya ditolak oleh Andin, “yah, kamu...” Beni kembali memperbaiki posisi duduknya seperti semula, menghadap ke setir mobil. “Maaf ya Kak Ben,” ujar Andin lirih dalam hatinya. Beni kembali melajukan mobilnya menuju rumah Andin. Selama perjalanan itu, Andin terlihat diam saja membayangkan beberapa hari lalu ia bersama Beni ketika di dalam mobil yang sekarang ia tumpangi juga. Flashback Sepulangnya dari pertemuan dengan Riki di kafe Irama Nada, Andin duduk di samping Beni saat di dalam mobil. Sambil bernyanyi ria, tidak sengaja Andin memegang tangan kiri Beni dengan erat karena Beni yang mengerem mendadak. “Haaaaaaaaaa!” Andin terkejut. Citttttt citttttt..... ciiiiiit. “Kak Ben! Hati-hati dong, itu di depan banyak sekali mobil yang melintas, jangan pasang kecepatan mobil ini terlalu tinggi,” teriak Andin setelah kepanikan itu terselesaikan. “Din, jangan kagetan gitu napa, lucu tau wajahmu hahaha,” balas Beni malah meledek Andin. “Kak!!!! Aku itu lagi panik, takut Kak Beni nabrak apapun yang ada di depannya,” Andin masih syok. “Sudah, harap tenang ya Din, aku hanya gimmick aja kok, ahahaha,” kata Beni. Merasa dibohongi, Andin manyun dan melipat kedua tangannya. “Dasar ya Kak Beni, buat apa coba boongin aku dengan rem mendadak seperti itu?” Andin mulai menajamkan dua bola matanya ke arah Beni. “Mau tau aja atau mau banget?”balasan Beni yang demikian membuat Andin kesal. “Kak Beni tuh ya sudah bikin kesel malah makin kesel akunya,” Andin pun tak sudi menatap wajah Beni lagi dan memalingkan wajahnya ke jendela. “Iya, iya, sabar dong, Din. Aku itu sengaja rem mendadak biar tanganku bisa dipegang kamu,” jawab Beni. Glek.. Andin yang wajahnya cemberut, tiba-tiba memerah bak bunga mawar merah yang merona. Wajahnya yang masih menatap ke arah jendela, tampak tersenyum setelah mendengar jawaban dari Beni. “Kenapa senyum-senyum woi!” sahut Beni yang mengagetkan Andin lagi. “Ih Kak Beni ih!!” Andin memukul pelan bahu Beni sambil tersenyum. “Kamu seneng ya aku ngomong kayak tadi, ngaku deh!” Beni menodong. “Sok tau ah! Jangan sok tau deh ya..” ucap Andin mantap. Selesai flashback... “Din, kamu melamun apa tidur nih?” Beni sudah duduk di samping Andin, dan melambaikan tangan kanannya di depan wajah Andin. ‘ Seperti disambar petir, Andin menepuk-nepuk wajahnya yang sedari tadi memikirkan flashback itu. “Din, kamu ngapain sih?” Andin pun belum membalas perkataan Beni. “Hehehehe,” Andin hanya membalas dengan tawa ringan. “Eh, kita udah sampai di depan rumahmu lho, kamu ini ketiduran pasti ya?” Beni terus menerka-nerka. “Hehehehehehehe,” Andin terus saja tertawa. “Kamu lagi ngantuk nih dari tadi ketawa mulu, ya udah turun sana, nanti dicari sama Mama kamu,” pinta Beni. “Iya, Kak Ben, gak mau mampir dulu ketemu ibu mer—“ Andin spontan menutup mulutnya yang sepertinya salah ucap. “Apa, apa? Coba diperjelas gitu ngomong apa tadi,” tekan Beni ke Andin. “Gak deh, lupain!” Andin pun turun dari mobi. Andin berjalan ke pintu rumahnya yang tertutup rapat malam itu. “Bertemu ibu mertua maksudmu?” bisik Beni tepat di telinga Andin, yang ternyata Beni mengikuti Andin dari belakang. Raga Andin sontak terkejut, “Kak Ben!!!!!!” ingin rasanya Andin meremas wajah Beni yang tertawa puas. “Hahaha Andin, Andin,” Andin menciutkan bibirnya, ia tak ingin melihat Beni yang sedang tertawa itu. “Udah ya, bye!” Andin mempercepat langkahnya untuk memasuki rumahnya. “Bye, mimpi indah ya Andin,” tak lupa Beni memberi sahutan keras ke Andin. Kini Andin sudah masuk ke rumahnya. Beni pun dengan cepat masuk ke mobilnya dan pergi untuk pulang, “wah sudah jam sebelas malam, pantes aku ngantuk banget!” gumam Beni. *** Pagi itu, telepon seluler Beni berdering untuk kesekian kalinya. Pesan di w******p, direct message, maupun sms biasa terus menerjang telepon seluler Beni. Beni yang masih bergelayut manja di kasurnya, tak menghiraukan bunyian itu. Hingga akhirnya jam menunjukan pukul 9 pagi. Klakson sebuah motor matic berkali-kali terdengar dari depan rumah Beni. Saking terganggunya, Beni membuka jendelanya dan ingin memarahi sang pelaku. “Eh diam ya ini masih pagi, kamu ini—“ Beni terhenti ucapannya. Tepat di depan rumah Beni, seorang perempuan berparas jangkung sudah berkacak pinggang menatap tajam ke jendela Beni. Jadi, Beni dan perempuan itu saling tatap mata. “Sudah puas tidur panjangnya?” tanya perempuan yang tak asing lagi, Kinan. Beni menutup gorden jendelanya secepat mungkin, dan membalikkan badannya tidak mengarah ke Kinan. “Dih Kinan kok bisa tau rumahku ya, padahal seluruh karyawan di kantor gak ada yang aku kasih alamatnya,” Beni berpikir. “Ah sudahlah, apa sih yang gak bisa dilakukan oleh Kinan?” kata Beni. Mau tidak mau Beni harus menemui pemimpin redaksinya yang sudah ada di depan rumah. Beni langsung membasuh wajahnya dan membersihkan kotoran-kotoran yang melekat di gigi, mata, hidung, dan telinganya. Agar tampilannya terlihat professional, Beni memakai kemeja dan celana kain yang rapi. “Hmm, tampannya diriku seperti karyawan yang akan naik jabatan. Tapi nyatanya sudah bekerja bertahun-tahun tidak naik jabatan juga, nasib.. nasib,” keluh Beni di depan cermin. “Ben, ayo cepat keluar,” teriak Kinan. Beni berlari menghampiri Kinan sebelum celotehan layaknya mak lampir itu menghujani diri Beni. Klek.. klek.. klek.. “selamat pagi Kinan, ada apa ya pagi-pagi sudah mampir ke rumahku?” tanya Beni yang sudah rapi lengkap dengan senyumannya. “Selamat pagi juga, Beni. Kira-kira kalau dari raut wajahku saat ini, apa kamu tau tujuanku datang ke rumahmu sekarang?” jawab Kinan lebih menajamkan tatapannya. Dalam hati Beni ingin sekali menjawab, “dari dulu muka kamu bawaannya pengen marah terus, PMS terus apa gimana ya,”. Namun, demi menjaga kehormatan antar anggota redaksi dan pemimpin redaksi, Beni mencari jawaban yang lebih sopan. “Maaf Kinan, sepertinya aku kurang tau apa maksud kedatanganmu ke sini, hehe,” Beni memasang wajah tak bersalah. “Oh, beneran gak tau?” tekan Kinan. Beni menggeleng. Kinan mengeluarkan secarik amplop berwarna putih dan di dalam amplop itu sudah ada kertas putih yang bertinta. “Aku hanya mau memberikanmu ini,” Kinan menyerahkan amplop yang tadi ia keluarkan. Beni mengambil amplop putih itu dan samar-samar terlihat tulisannya di dalam. Beni mengupas perekat amplop yang tertempel di belakang amplop, “eh, jangan dibuka dulu deh, itu surat pasti membuat dirimu bahagia, tenang saja,” ucap Kinan. “Aku mau lanjut ke kantor dulu, tunggu aku sudah pergi dari sini baru kamu boleh membuka dan membaca surat itu,” tegas Kinan. Beni pun mengiyakan ucapan Kinan. Sepuluh menit kemudian, Kinan sudah melaju dengan motor matic yang dibawanya. Beni cepat-cepat menutup pintu rumahnya agar Kinan tidak kembali lagi. Brak.. brak.. brak.. pintu rumah Beni tertutup rapat. Beni menarik napasnya panjang-panjang dan lega Kinan tidak berontak hebat di rumahnya. “padahal aku sudah siapkan nomor telepon satpam komplek dan ketua RT untuk menyelamatkanku,” seru Beni. Bukannya langsung membaca surat yang diantar oleh pemimpin redaksinya itu, Beni malah meletakkan surat itu di atas meja ruang tamunya. “Oh surat cinta, aku tidak mood membaca surat pemberian dari Kinan, big sorry to you,” Beni meninggalkan surat itu sendirian, sedangkan Beni kembali ke kamar tidurnya. Baru saja menjatuhkan tubuh di atas tempat tidur, telepon seluler Beni langsung berbunyi. “Hallo, siapa nih?” Beni mengangkat telepon itu. “Naira, kamu sudah bangun?” ucap sang penelpon yang ternyata itu Naira. “Ya sudah dong, buktinya aku mengangkat teleponmu, Nai,” balas Beni. “Tadi pagi Kinan ke rumahmu, gak?” tanya Naira yang tumben-tumbennya membahas seorang Kinan. “Bukan tadi pagi sih, barusan aja pulang. Cuma sebentar saja,” jawab Beni. “Wah berarti sama dong, terus dia ngapain ke rumah kamu?” tanya Naira lagi. “Gak ngapa-ngapain sih tadi—“ ucap Beni. “Ah masa? Dia ke rumahku untuk memberikan amplop putih saja padaku,” timpa Naira. “Oh iya iya aku baru ingat, dia juga memberiku amplop putih. Tapi belum aku buka dan aku baca sih, males banget soalnya kalau segala hal tentang dia,” terang Beni. “Dasar kamu ya, coba buka lalu kamu baca deh, kayaknya isi suratnya sama kayak punyaku,” kata Naira. “Hah? Sama? Apaan dong? Langsung jawab aja Nai, biar aku gak buang-buang tenaga untuk membacanya,” Beni memelas. “Yakin kamu mau tau?” “Iya lah, buktinya aku bilang begitu tadi,” “Hmm, silahkan tarik napasnya panjang-panjang dulu lalu hembuskan secara perlahan ya,” ucapan Naira makin semrawut. “Apaan sih, Nai, ini masih pagi loh kamu jangan ngomong aneh-aneh, ayo cepetan baca sekarang, Nai!” “Oke, aku bacakan sekarang ya, ehem..” Naira mulai membuka surat itu. Dear Naira.. Terima kasih sudah berdedikasi menjadi tim redaksi dan menemaniku selama sekian tahun. Aku minta maaf apabila ada salah kata maupun perbuatan yang menyakiti hatimu. Hanya lewat surat ini aku bisa menyampaikan pesan untukmu, bahwa kamu tidak bisa lagi bergabung ke dalam tim redaksi. Beberapa pertimbangan sudah aku bicarakan dengan Pak Leon untuk memutuskan hal ini. Semoga keputusan ini adalah yang terbaik untuk kita dan bisa lebih baik bagi kita kedepannya. “Hah? Sumpah?! Kita dipecat dong?!” Beni terkejut hingga membuatnya beranjak dari tempat tidurnya. “Iya Ben! Coba kamu baca deh surat itu, pasti sama deh kayak punyaku!” pinta Naira. Tut.. tut.. tut.. Beni mematikan telepon itu dan pergi ke ruang tamu untuk mengambil surat dari Kinan itu. Satu, dua, dan tiga, lembaran putih yang berada di dalam amplop mulai bisa terbaca. Beni pun membaca kata demi kata hingga ia berseru, “sialan! Aku sama Naira beneran dipecat. Tapi aneh banget, apa sebab kami dipecat?” Beni menyimpan pertanyaan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN