On The Way

2040 Kata
Ruang makan milik Bu Ranti seketika terasa sunyi, Andin dan Beni sedang sibuk dengan ponselnya masing-masing sejak dua puluh menit yang lalu. “Andin, apa yang sedang kamu kerjakan dengan ponselmu?” tanya Beni membuka bahasan. “Hanya membersihkan memori telepon saja, ada apa memangnya Kak Beni?” jawab Andin sekaligus bertanya. “Hmm berarti sedang tidak terlalu sibuk ya,” kata Beni. Andin mengangguk tegas, “ya, bisa dibilang seperti itu lah. Hmm, ada apa ya Kak Beni, apakah ada sesuatu yang penting dan harus aku kerjakan?” tanya Andin yang merasa ada suatu hal yang ingin Beni sampaikan. “Aku bisa minta tolong gak ke kamu Din, tolong tuliskan beberapa daftar pertanyaan untuk Ayu nanti malam,” Beni meminta tolong. “Pertanyaan yang berhubungan dengan apa ini? Aku kurang mengerti maksud dari Kak Beni,” Andin meminta pencerahan. “Aku yakin kamu sudah paham dengan masalah atau pertanyaan yang akan kamu sampaikan ke Ayu perihal isu yang menjalar di kepalamu jauh-jauh hari,” ucap Beni. “Maaf Kak Beni, aku kurang mengerti maksud Kak Beni,” seketika otak Andin tidak mampu berpikir jernih. Ia terus saja menyeritkan dahinya dan menerka apa yang dimaksud oleh Beni. Beni berbatin, tidak seperti biasanya Andin tidak mengerti apa yang ia katakana. Biasanya, Andin adalah orang yang tanggap dan selalu cekatan setiap diberikan tugas apa pun. “Andin, kamu sedang mikirin apa, sih?” tanya Beni seduktif. Beni lebih merapatkan posisi duduknya ke Andin. Beni menatap kedua mata Andin yang terlihat kosong. Andin terkejut ketika Beni mulai merapatkan duduknya mengarah ke Andin. Namun, Andin memilih menggeser ke samping kursi yang kosong. “Ah, gak apa-apa kok Kak Beni, aku hanya…..” Andin mencoba mencari alasan. “Hanya apa, Andin? Tolong jelaskan saja kepadaku. Hal seperti ini sangat jarang sekali aku temui di dalam diri Andin. Apalagi tidak bersemangat ketika akan liputan,” jelas Beni. “Hah? Liputan? Apakah nanti malam adalah kita melakukan liputan?” tanya Andin bingung. “Iya, kita sekaligus ingin mengklarifikasi perihal ucapan-ucapan yang ambigu ketika dikatakan Ayu sewaktu ribut dengan Riki di kafe Irama Nada tempo hari itu,” lanjut Beni. Andin mengangguk tanda paham. “Oh, begitu, aku kita nanti malam itu ya kita hanya bertemu Ayu saja sambil mencari isu, dan bukan langsung liputan seperti yang Kak Beni ucapkan barusan,” tutur Andin. Tuturan Andin yang demikian sontak membuat Beni menepok jidat. “Ya elah Andin, kita harus bisa mencari kesempatan dalam kesempitan, kita tetap menggali informasi apa saja dari dalam diri Ayu, sekaligus menyimpan isu yang mungkin bisa kita tulis dalam berita,” jelas Beni. Tidak lama, Andin layaknya mendapat pandangan yang ingin ia gali, “ngomong-ngomong aku sangat penasaran perihal banyaknya karyawan yang cuti dan karyawan lainnya gelabakan tidak mampu menyelesaikan kerjaan dengan baik dan cepat,” ungkap Andin. “Ah, kalau soal itu kan masalah mampu tidaknya karyawan lain untuk diajak bekerja sama menyelesaikan tugas lainnya,” balas Beni. “Oke, soal itu bisa saja diterima. Namun, ada juga yang diungkapkan oleh Mbak Ayu bahwa karyawan yang tidak cuti itu rela melakukan lembur untuk kejar target tanpa uang lembur lho!” Andin mengingat lagi kata-kata Ayu. Beni tersenyum mendengar Andin berbicara, rupanya otak dan diri Andin sudah kembali ke asalnya, “nah ternyata pikiranmu yang kritis itu gak ilang-ilang juga ya walau pun kamu sudah tidak bekerja di media,” ucap Beni senang. Melihat senyuman Beni yang dikhususkan untuk Andin, tiba-tiba detak jantung Andin ikut berdegup kencang, wajahnya mulai membisu. “Kamu kenapa?” tanya Beni melihat tingkah Andin yang tampak polos. “Oh, tidak apa-apa, Kak Beni, mari kita lanjutkan pembahasan yang tadi,” Andin berusaha melarikan pembahasan. “Ya udah, pembahasan kita ya aku minta tolong kamu bikin list pertanyaan buat Ayu itu, sudah paham kan, Din?” balas Beni. “Paham, paham, Kak Beni!” ucap Andin tegas. Andin langsung mengambil buku catatan kecil yang ada di kamarnya dan tak lupa mengambil pulpen untuk menulis. Satu per satu kata ia tuangkan di dalam buku catatan kecilnya yang memang sudah menjadi teman akrabnya untuk menyimpan data. Beni melirik apa saja yang ditulis Andin, dan menganggukkan kepalanya. Selang sepuluh menit kemudian, Andin bertanya, “Kak Beni, gimana soal Mbak Naira, apakah Mbak Naira bisa ikut untuk bertemu Mbak Ayu nanti malam?” Beni yang nyaris lupa, cepat-cepat mencari nomor telepon Naira di penyimpanan kontak teleponnya. “Hampir saja aku lupa, Din, untung saja kamu ingatkan. Terima kasih banyak ya,” ucap Beni berterima kasih sambil menunggu jawaban telepon dari Naira. Andin kemudian melanjutkan menulis beberapa pertanyaan yang ditugaskan oleh Beni pada Andin. Tut.. tut.. tuttttt. “Tidak ada jawaban sama sekali, Din,” seru Beni dengan nada melemah. “Kenapa ya Mbak Naira, dari tadi sudah ditelepon tapi tidak ada balasan sama sekali. Apa kita langsung menjemput ke rumah Mbak Naira saja, ya?” usul Andin pada Beni. “Hmm, tapi apakah Naira ada di rumah? Apakah Naira bisa ditemui malam ini? Yang aku takutkan adalah Naira ada tugas atau kegiatan lainnya yang jauh lebih penting daripada pertemuan malam ini,” balas Beni. “Apa Kak Beni bilang? Ada kegiatan yang jauh lebih penting dari pertemuan malam nanti? Kak Beni jangan asal ngomong ya, ini pertemuan penting! Dan aku rasa semua awak media harus tau karena ini adalah bagian dari projek kita,” Andin berterus terang dengan rasa yang cukup emosional yang ia rasakan. “Tapi….” Ucap Beni yang langsung disahut Andin. “Udah Kak Beni, aku rasa Mbak Naira harus hadir dalam pertemuan nanti malam. Mbak Naira itu rekan penting di media kita kan? Kita pun pasti butuh pendapat atau pikiran yang berasa dari Mbak Naira,” Andin menegaskan. “Tapi loh Naira gak mengangkat teleponku!” Beni rada kesal. “Kita gak tau kan apa yang sebenarnya terjadi di Mbak Naira, yang penting kita datangi aja dulu, siapa tahu memang seharian ini Mbak Naira gak pegang ponsel atau tidak memiliki paket data seluler,” pikir Andin. Beni mencoba menelaah apa yang dipikirkan Andin. Namun, bukan Andin namanya kalau tidak melahirkan ide-ide atau pikiran yang cerdas. “Iya juga ya, kenapa aku tidak kepikiran sampai sana? Apalagi aku tahu sendiri kalau Naira suka meninggalkan ponselnya dalam keadaan apapun ketika ia asyik menonton drama Korea,” ucap Beni. “Tuh kan! Makanya Kak Beni lebih baik kita ke rumah Mbak Naira saja sebelum menemui Mbak Ayu di kafe Jalan Rahayu. Bagaimana, usulku menarik tidak?” Andin bertanya. Beni mengacungkan kedua jempolnya ke arah Andin, “senang aku berkenalan dengan kamu Din, anak perempuan menuju dewasa yang pandai mencari usul, hahaha,” terang Beni. Andin tersipu malu mendengar itu keluar dari mulut Beni. Beberap menit kemudian, tibalah jam dinding menunjukkan angka pukul tujuh malam. Itu artinya, tiga puluh menit lagi, Andin dan Beni akan bertemu dengan Ayu di tempat yang sudah mereka tentukan. “Udah jam tujuh tuh Kak, apa sekarang kita berangkat?” ucap Andin sambil menunjuk ke arah jam dinding yang ada di ruang makan. “Oh iya ternyata sudah jam tujuh malam. Boleh nih kita berangkat sekarang, tapi kamu siap-siap dulu gih sana,” Beni mempersilahkan Andin. “Eh eh Andin, itu pertanyaannya yang aku minta sudah selesai belum?” tanya Beni sebelum Andin beranjak dari tempat duduknya. “Sudah dong, Kak Beni. Tapi coba Kak Beni lihat lagi, siapa tau ada salah atau revisi,” jawab Andin dan memberikan buku catatan kecil yang tadi ia pakai. “Terima kasih ya Din, ya udah kamu langsung ke kamar aja sana, biar aku sambil baca pertanyaan yang sudah kamu buat,” kata Beni. Andin pun mengiyakan perintah dari Beni malam itu. Andin segera masuk ke kamar tidurnya untuk bersiap-siap pergi dengan mengganti seluruh pakaiannya dari rambut hingga kaki. Sementara Beni, tetap menunggu Andin berdandan sambil membaca pertanyaan yang sudah dikerjakan Andin di buku catatan Andin. Rupanya, Bu Ranti yang sedari tadi menguping obrolan Andin dengan Beni di meja makan. Bu Ranti mengetahui bahwa Beni dan Andin akan keluar malam ini. Andin yang sedang mengganti pakaian di kamarnya, tiba-tiba didatangi Bu Ranti. “Hayooo, anak Mama sudah cantik aja nih,” ucap Bu Ranti yang membuat Andin kaget. “Ih Mamaaaa, bikin kaget aja ih. Tumben mau masuk kamar aku tapi pintunya gak diketuk,” balas Andin. “Ya kan kejutan, hahaha. Hmm, anak cantik Mama mau jalan-jalan kemana nih sama Nak Beni?” tanya Bu Ranti merayu. “Mau bertemu dengan narasumber, Ma di jalan Rahayu,” jawab Andin yang tetap merapikan pakaiannya. Dengan jawabannya Andin, Bu Ranti pun tidak sepenuhnya percaya dengan ucapan itu. “Ah bohong ya kamu, Din. Mana ada bertemu narasumber malam-malam begini, hmm malam minggu lagi,” Bu Ranti kembali merayu dan kali ini mentoel dagu Andin. “Mama, malam ini aku beneran mau bertemu narasumber namanya Mbak Ayu. Dia salah satu karyawan di kafe Irama Nada. Ini akan ada pembahasan penting lho Ma!” Andin menegaskan. “Oh iya?” Bu Ranti tampaknya sudah yakin dengan perkataan Andin. Andin mengangguk, “ini adalah momen yang sangat langka dimana Mbak Ayu bisa diwawancarai di waktu yang masih cukup sore ini. Biasanya dia kerja terus gak ada libur hingga pukul sebelas malam,” tutur Andin. Bu Ranti membisu, tidak menjawab tuturan Andin. Kemudian, Andin sudah cantik berdandan rapi dengan baju outer hijau daun dan celana jeans. “Udah selesai!” ucap Andin yang antusias melihat dirinya dari depan cermin. Andin melihat parasnya yang cukup menawan untuk malam ini. “Sudah selesai, Din? Ayo cepat sana temui Nak Beni, kasihan dia nungguin kamu lama-lama,” ucap Bu Ranti sambil keluar dari kamar tidur Andin. “Iya Ma, Iyaaa,” kata Andin. Andin mengambil sepatunya yang berada di bawah tempat tidur dan juga keluar dari kamar tidurnya. Rupanya Beni sudah berada di ruang tamu bersama Bu Ranti. Andin datang dan langsung mengajak Beni untuk pergi. “Kak Beni, ayo kita berangkat sekarang, ini sudah mau jam setengah delapan, kasihan loh kalau Mbak Ayu sudah datang duluan,” ucap Andin yang berkali-kali melirik jam di tangannya. “Lho, gak makan malam dulu kah? Nanti di luar kalian kelaparan lho,” kata Bu Ranti. “Oh tidak usah Te, kami masih kenyang kok tadi makannya banyak banget,” Beni sambil menyeringai. “Iya Ma, tidak usah, lagian kan aku program diet gak mau makan malam hahah,” jelas Andin. “Oke deh kalau mau kalian begitu. Tapi janji loh ya jangan beli makanan di luar, misal kalian lapar ya pulang saja terus makan di rumah,” pinta Bu Ranti. Beni dan Andin saling melempar pandangan dan senyuman. Andin menaikkan dagunya spontan, dan Beni pun sudah tau apa isyarat yang dimaksud oleh Andin. “Tante, aku pamit mau keluar dulu ya, saya pun juga meminta izin ke Tante untuk membawa Andin keluar,” pamit Beni pada Bu Ranti. “Iya, iya, pulangnya tante mohon jangan kemaleman. Dan satu lagi, hati-hati Nak Beni jangan ngebut bawa mobilnya karena kalau malam begini apalagi malam minggu, jalanan pasti ramai,” ungkap Bu Ranti. “Siap siap, Te, tenang aja kok,” Beni tersenyum. Beni dan Andin cepat-cepat masuk ke dalam mobil dan mulai pergi ke tujuan utama. “Kak Beni, jangan lupa untuk ke rumah Mbak Naira,” Andin mengingatkan Beni. “Iya Andin aku ingat kok, ini kita sedang menuju ke arah rumah Naira,” jawab dari Beni. “Baik lah, aku kira Kak Beni amnesia, hahahah,” canda Andin. “Ya enggak lah, kalau sama kamu mah segala sesuatu yang mungkin jadi amnesia,” Beni seolah merayu. “Ih Kak Beni apaan sih, gak usah rayu-rayu gitu lah,” Andin malu. “Dih, siapa yang ngerayu kamu? Jangan kepedean deh, perasaan aku gak ada ngerayu kamu deh,” Beni mengelak. “Ih tadi itu kan ngerayu aku,” Andin pun memerah kedua pipinya. “Hahahaha, santai aja, Din,” ucap Beni. Seperti biasa, terasa sunyi dan kelam jika suasana di dalam mobil tidak dibumbui lagu atau musik yang terputar. Maka dari itu, Andin pun inisiatif menyalakan musik lewat kaset yang sudah dibeli Beni jauh-jauh hari. “Kak Beni, aku izin memutar lagu pakai kaset ini ya,” Andin memperlihatkan kaset yang dimaksud. “Oh oke oke, lah sekarang kamu sudah ketularan aku ya suka dengerin lagu yang mellow,” ujar Beni. “Ya bukan ketularan juga sih, tapi gak ada kaset lain untuk disetel,” Andin mengelak. “Loh kan ada kabel data, bisa dicolok ke ponselmu dan putar lagu yang ada di ponselmu,” ucap Beni. “Gak ah ribet, mending begini deh, masukin kaset dan langsung nyala sendiri musiknya,” Andin tak mau ambil repot. “Iya deh iya, Andin,” Beni pun memilih mengalah saja di depan Andin. Musik yang cenderung pelan itu bermelodi memenuhi sudut-sudut ruangan mobil Beni. Ditemani malam minggu yang ramai itu, lagu itu ikut membuat perasaan Beni dan Andin lebih tenang. Mobil Beni terus berjalan mengitari sisi-sisi jalan yang mulai ramai itu. Sesekali, mereka menyanyikan satu atau dua kalimat dari lirik lagu yang mereka hapal. Aku ingin mencintaimu…. Dengan sederhana… Dengan kata yang tak bisa aku ucapkan… Huhuhu… huhuhu… huhuhu..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN