Beni dan Andin masih di dalam mobil dan menuju ke rumah Naira. Di tengah perjalanan mereka, Ayu menelpon Andin.
Kring.. kringg.. kringgg Andin segera mengambil ponselnya yang ia simpan di dalam tas slempangnya. “Wah Mbak Ayu nelpon nih, jangan bilang kalau ia sudah tiba di tempat,” Ayu langsung menekan tombol diterima yang tertera di layar ponselnya.
“Hallo, Mbak Ayu?” Andin mengangkat telepon itu.
“Iya, hallo. Andin, kamu sudah ada dimana, ya?” tanya Ayu.
“Hmm, aku masih di daerah Karang rejo. Mbak Ayu apakah sudah ditempat?” jawab Andin.
“Belom sih, ini aku kejebak macet, jadi aku minta maaf kalau aku agak telat ya,” Ayu mengabari Andin disela kebisingan suasana macet itu.
“Oh iya, Mbak tidak apa-apa kok, lagi pula kita masih mau menjemput rekan kami,” balas Andin.
“Siap, Andin. Aku minta maaf loh ya, aku yang menentukan jam ketemuan malah aku yang izin telat, hehe,” ucap Ayu yang meninggikan suaranya karena kebisingan semakin menjadi-jadi.
“Wah, biasa aja Mbak Ayu, tidak mengapa. Namanya juga ibukota, pasti macet dimana-mana, ini kan juga malam minggu, wajar,” ujar Andin.
“Baik, ya udah ya Din, aku mau lanjut perjalanan dulu,” pungkas Ayu dan mematikan teleponnya.
Andin yang usai menerima kabar dari Ayu, segera menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas slempangnya.
“Telepon dari siapa, Din? Dan ada kabar apa?” spontan Beni bertanya.
“Dari Mbak Ayu,” balas Andin singkat.
“Kenapa? Ayu sudah sampai di tempat tujuan kah? Waduh, kita harus percepat mobilnya nih,” Beni menampakkan wajah bersalah.
“Bukan Kak Beni, tenang saja kali. Mbak Ayu izin agak telat karena kejebak macet, Kak,” Andin memberi tahu.
“Hufffttt,” Beni menghela napas banyak dan mengelus dadanya, “syukurlah, aku bakal tidak enak sama Ayu kalau dia sampai duluan,” tegas Beni.
“Hahaha, tidak Kak, sekarang kita ke rumah Mbak Naira saja sepertinya masih cukup waktunya,” ucap Andin sambil melirik jam yang terpasang di tangan kirinya.
“Oke deh, siap!” seru Beni.
Tujuh belas menit kemudian, mobil jazz putih milik Andin sudah tiba di depan rumah Naira. Di halaman rumah itu, sudah ada Naira yang sedang memainkan ponselnya sambil duduk di kursi panjang. Beni lantas memberhentikan mobilnya dan mematikan mobilnya.
Andin dan Beni melepaskan sabuk pengalamannya masing-masing. “Andin, kamu tunggu di dalam mobil saja ya, biar aku saja yang turun,” pinta Beni menahan Andin yang ingin membuka pintu mobil.
“Kenapa begitu, Kak Ben?” Andin bertanya heran.
“Hmm, biar cepat saja sih, hehe,” balas Beni.
Andin merasa balasan Beni itu tidak masuk akal, “maksudnya? Kok bisa supaya cepat, sih?” tanya Andin.
“Ah, sudah lah, kamu di sini saja ya, Din,” ucap Beni sambil tersenyum.
Andin yang enggan berpikir panjang, langsung menyetujui apa yang dipintakan Beni. “Baik lah, Kak Beni cepet turun itu Mbak Naira sudah ada di depan terasnya,” kata Andin sambil menunjuk ke arah Naira.
“Naira?” sapa Beni yang keluar dari pintu mobilnya.
“Eh, Beni?” Naira terkejut dan langsung beranjak dari kursinya. Naira juga spontan memberikan senyum kepada Beni.
“Ayo kita keluar sekarang, kita akan bertemu narasumber untuk malam ini,” kata Beni.
“Hah? Ketemu narasumber? Malam ini banget kah? Kok kamu mendadak gitu kabarinnya,” protes Naira.
“Iya, aku sudah menghubungimu sejak tadi siang namun tak ada jawaban. Jadinya, aku langsung saja ke rumahmu untuk menjemput,” jelas Beni dengan wajah serius.
Naira mengangguk, “kalau boleh tau narasumber siapa yang akan kita temui untuk malam ini?” tanya Naira.
Beni yang tidak ingin memperpanjang pembicaraan, ketika itu juga menolak untuk menjawab, “udah nanti aja aku jawab ya, kita gak punya waktu banyak lagi. Narasumber sudah dalam perjalanan ke tempat janjian,” ucap Beni sambil mengetuk jari-jarinya ke jam tangannya.
“Eh.. hmm, iya deh, tunggu sebentar ya aku ganti baju dulu,” ujar Naira yang cepat-cepat mengganti pakaiannya untuk keluar malam ini.
Sembari menunggu Naira selesai mengganti pakaiannya, Beni duduk di kursi yang tadi Naira duduki. Sesekali Beni mengintip waktu yang tertera di jam tangannya.
Klek.. klek.. klek.. pintu rumah Naira kedengarannya terbuka, Beni yang mengira itu Naira cepat-cepat beranjak dari duduknya.
“Gimana sudah selesai, Nai?” tanya Beni. Beni pun membalikkan wajahnya ke arah Naira. Dan ternyata..
“Sudah selesai apanya, hah?” sahut Bu Ari dengan tangan dilipat di depan dadanya.
Tatapan sinis yang muncul dari pandangan Bu Ari, membuat Beni grogi. “Eh, Tan.. te, saya kesini mau mengajak Naira keluar, Te,” seru Beni dengan nada gugup di hadapan Bu Ari.
“Mau ngapain kamu bawa anak saya malam-malam gini?” tanya Bu Ari dengan wajah yang semakin garang.
“Oh iya maaf Tante, saya hanya mau mengajak Naira untuk liputan, malam ini kami akan bertemu dengan narasumber, Te,” jelas Beni.
“Liputan apa kencan? Kamu jangan sok cari alasan untuk bisa keluar sama anak saya, karena kamu sudah pernah menyakiti hati anak saya,” kini nada Bu Ari semakin membesar dan tatapannya makin serius.
“Eng.. eng.. enggak kok, Tan.. te. Saya beneran mau bertemu narasumber kok, kalau Tante gak percaya, Tante bisa ikut kok untuk membuktikan omongan saya,” Beni menantang.
“Bu, ibu, sudah gak usah ribut begini Bu, malu loh sama tetangga. Aku saja Beni betulan keluar untuk melakukan liputan kok, bukan yang lain-lain,” bisik Naira yang langsung menarik Bu Ari sedikit menjauh dari Beni.
“Ih, Ibu gak akan biarkan kamu dipermainkan dan digodain terus sama laki-laki kayak begitu,” bisik Bu Ari balik.
“Bu, tenang saja, itu cerita lama kok Bu, aku juga makin hari makin dewasa jadi ya sudah paham mana jalan yang harus aku pilih,” terang Naira mencoba meyakinkan Bu Ari.
“Tapi, apa kamu beneran tidak apa-apa, Nai?” Bu Ari tak lupa untuk meyakinkan Naira.
“Ya pasti lah Bu, gak usah khawatir, takut, curiga, atau apapun lah itu yang negatif thinking. Pokoknya segalanya yang positif saja yang Ibu pikirin,” pinta Naira dan kemudian memeluk Bu Ari.
Bu Ari mengelus rambut Naira yang halus itu, “ya udah, kamu hati-hati ya di jalan, kabari kalau sudah tiba di tempat tujuan,” mohon Bu Ari.
Naira melepaskan pelukan Bu Ari dan berjalan bersama Beni ke arah mobil jazz putih yang sudah terparkir di depan halaman rumah Naira sejak setengah jam yang lalu.
“Ben, kamu gak ngajak Andin?” tanya Naira dalam langkahnya tersebut.
“Oh sudah, Andin sudah ada di dalam mobil tuh,” jawab Beni sambil melirikkan kedua matanya ke arah mobil.
Padahal, Andin mengira bahwa dialah orang pertama yang diajak Beni untuk bertemu dengan narasumber. Nyatanya, selalu Andin yang dinomor satukan dalam segala urusan Beni, salah satunya soal media. Naira hanya menganggukkan kepalanya setelah tau bahwa Andin sudah dijemput oleh Beni lebih awal dari pada dirinya.
“Ayo, Nai, segera masuk ke mobil,” ajak Beni dengan membukakan pintu bagian belakang untuk Naira. Naira yang harus bersikap professional pun masuk ke dalam mobil dan mendapati Andin memang sudah ada di dalam mobil lebih dulu.
“Hei Mbak Naira,” sapa Andin yang berada di kursi depan.
“Eh iya, Andin, sudah dari tadi ya nunggu, maaf ya,” balas Naira yang memasang wajah ceria.
“Gak kok Mbak, gak terlalu lama nunggunya,” Andin pun membalas senyuman Naira.
Begitu juga Beni, Beni juga sudah masuk ke dalam mobil dan memakai sabuk pengaman yang ada di kursi duduknya. “Sudah siapkah kalian semua untuk liputan malam ini?” tanya Beni.
“Siap, siap, aku sudah siap sedari tadi, Kak Beni,” balas Andin duluan dengan wajah semangatnya.
“Pasti dong, dan harus siap dalam situasi apapun!” balas Naira juga yang tak kalah semangatnya.
Melihat Andin dan Naira sangat semangat untuk melakukan liputan, Beni pun serasa semangat juga. “Wah aku sangat senang melihat kalian semangat seperti ini, semoga liputan kita hari ini lancar dan narasumber mampu memberikan informasi sedetail mungkin,” harap Beni.
Andin dan Naira saling pandang dan berseru, “Aamiin,”
“Oke, berangkaaaaaaaat!” sahut Beni sambil menyalakan mesin mobilnya. “Oh ya, kan tadi katanya Ayu bahwa jalan yang mengarah ke Jalan Rahayu sedang macet parah, apakah diantara kalian ada yang paham jalan yang lebih cepat tanpa terjebak macet?” Beni bertanya pada Andin dan Naira.
“Wah, aku tidak tau Kak, karena memang aku jarang sekali jalan-jalan dan tak tahu mana jalan tembusannya,” jujur Andin.
“Yah, sayang sekali Ben, aku juga gak tau mana jalan yang cepat. Tapi, aku pernah dikasih tau Wendi sih kalau mau cari jalan bebas macet gitu baca di aplikasi google maps aja,” info Naira.
“Oh ya? kalau begitu kita pakai aplikasi google maaps saja ya, soalnya gak enak semisal Ayu menunggu lama di tempat,” jelas Beni.
Andin dan Naira sangat setuju dengan tawaran tersebut, “Kalau boleh tau nih, ada yang punya aplikasinya gak?” tanya Naira.
Beni dan Andin pun menggeleng. Naira tertawa ringan dan berkata, “mana ponsel kamu, Ben? Biar aku download kan lewat ponselmu saja ya, kalau download lewat ponselku pastinya tidak bisa karena memorinya hampir penuh,” jelas Naira dan langsung menengadahkan tangan ke arah Beni.
Beni memberikan ponselnya ke Naira, “nih, tolong download kan yaa Naira cantik,” minta Beni sambil melemparkan senyuman manis ke Naira.
Naira pun meraih ponsel Beni, “Hmmm, gak usah ngerayu gitu deh,” wajah Naira pun mengecut. Lima menit kemudian, Naira sudah selesai mendownload aplikasi yang dimaksud tadi. “Nih, sudah. Kita langsung ambil arah untuk ke Jalan Rahayu aja ya,” ucap Naira.
“Sip, benar sekali, Nai!” balas Beni.
Mengandalkan petunjuk jalan yang ada dari aplikasi ponsel Beni, Beni berhasil mencari jalan tercepat dan terbebas dari macet yang dikatakan Ayu lewat telepon. Tidak lama kemudian, Andin, Naira, dan Beni sudah tiba di depan kafe yang memiliki tema vintage tersebut.
“Ayo Mbak Naira, Kak Beni, kita segera turun dan mencari tempat yang kosong, sekarang udah jam setengah delapan lewat, loh,” pinta Andin yang khawatir kehabisan kursi kosong karena kondisi di dalam kafe itu memang penuh.
“Oh iya iya,” ucap Naira dan Beni pun juga mempercepat gerakannya.
Andin, Naira, dan Beni berlari ke dalam kafe itu. Andin menengok ke kiri dan ke kanan untuk mencari kursi kosong yang bisa mereka duduki. Tidak hanya Andin, Naira dan Beni juga melakukan hal serupa guna tidak kehabisan tempat duduk.
“Kabar buruk, aku sudah mencari hingga ke belakang malah semakin penuh dan tidak ada yang kosong,” kabar Beni setelah bolak-balik ke sisi depan dan belakang kafe.
“Sama, di lantai atas juga tidak ada yang kosong. Apa kita harus mencari tempat di kafe lain?” Naira mengusulkan.
“Hmm, kayaknya kita tidak bisa mencari kafe lain deh. Tujuan awal ya disini, lagi pula Mbak Ayu sudah dalam perjalanan kan,” ucap Andin.
Andin, Naira, dan Beni sama-sama menampilkan wajah kecewa dan pasrah tidak mendapatkan tempat duduk. Pasalnya, ini adalah pertemuan yang sangat penting dan harus mereka bahas tuntas.
“Apa kita tunggu saja ya sampai ada meja yang kosong?” ujar Andin tak ada pilihan lain.
“Ya, karena itu tidak ada pilihan lain,” kata Beni.
“Iya, daripada kita pindah tempat dan tidak konfirmasi ke narasumber kan makin ribet nanti,” Naira menimpali.
Rupanya, sedari tadi tingkah laku mereka bertiga dilihat oleh sang manager kafe yang berada di ruangan VIP.
“Permisi Mbak, Mas, apakah kalian mencari meja yang kosong?” tanya manager kafe itu.
“Iya, Pak, tapi tidak ada satu pun yang kosong. Ya terpaksa kita harus menunggu sampai ada yang kosong,” balas Beni.
Manager kafe itu tersenyum, “kalian bisa memakai ruang VIP yang letaknya di pojok belakang sana,” manager kafe itu menawarkan ruangan yang lumayan besar itu.
“Wah kayaknya gak deh Pak, kami tidak butuh ruangan VIP karena tidak mampu membayarnya,” tutur Beni menolak halus.
“Ah santai saja Mas, khusus untuk kalian saja berikan gratis saja,” ucap manager.
“Serius, Pak?” Andin tak menyangka.
“Iya, Mbak, pakai saja sampai acara kalian selesai,” terang Manager.
“Wah terima kasih banyak ya, Pak, kami bakal jadi pelanggan setia di kafe ini deh!” ujar Andin saking senangnya.
Kemudian, mereka bertiga segera memasuki ruangan VIP yang telah ditawarkan manager kafe itu. Setelah mendapati tempat duduk dan ruangan yang nyaman untuk meeting, Andin pun mengabari Ayu.
“Mbak Ayu, kami sudah berada di kafe yang ada di Jalan Rahayu, langsung saja masuk ke ruangan VIP yang letaknya ada di bagian pojok belakang kafe ya, kami tunggu kedatangannya,” chat Andin lewat aplikasi w******p.