Start It!

2042 Kata
“Sepertinya hari ini kita dapat keberuntungan, deh,” ucap Andin yang mendahului Beni dan Naira untuk duduk di kursi kosong. “Benar, dan hampir saja kita mengganti tempat pertemuan malam ini,” timpa Naira. “Syukurlah, masih ada orang yang baik yang mau membantu kita semua. Padahal kan kita-kita bukan tampang orang kaya, ahaha,” Beni guyon. “Iya, ya syukur saja lah. Oh ya Din, kira-kira narasumber yang bersangkutan sudah sampai mana ya perjalanannya?” tanya Naira ke Andin. Andin menelik jam tangannya, “iya ya, ini sudah mau jam delapan malam tetapi belum ada jawaban dari Mbak Ayu. Baik lah aku hubungi Mbak Ayu dulu,” kata Andin. “Iya, segera dihubungi saja, takutnya nanti perbincangan kita belum selesai dan bisa-bisa tembus subuh,” seru Beni. “Ya jangan sampai seperti itu, lah,” balas Naira. “Sabar, sabar, aku hubungi Mbak Ayu sekarang, nih,” Andin langsung mengeluarkan ponselnya dan menekan kontak Ayu. Tin… tin….. tin.. tin.. Andin menelpon Ayu lewat w******p dan juga telegram. Akan tetapi, tidak ada jawaban yang terdengar dari telepon itu. Andin mendengus, “huft, tidak ada jawaban sama sekali,” tampak raut wajah yang kecewa hadir di wajah Andin. “Kok bisa?” Naira heran. Andin menaikkan kedua bahunya, “entah lah,” seru Andin. “Ya udah mungkin Ayu sedang dalam perjalanan dan sulit untuk mengangkat teleponnya,” ucap Beni untuk menenangkan Naira dan Andin. “Siap lah kalau gitu,” seru Andin lirih. Tokkk, tok, tok. “Permisi…..” perempuan yang memiliki postur tubuh mungil memasuki ruangan VIP kafe. Mendengar ada orang yang memasuki ruang VIP, Beni, Andin, dan Naira mengalihkan pandangannya ke arah perempuan mungil itu. “Mbak Ayu?!” sahut Andin yang wajahnya berubah menjadi ceria. Andin beranjak dari tempat duduknya dan langsung mendekat ke Ayu. Ayu memberikan senyuman manis kepada mereka bertiga yang berada di ruangan VIP itu. “Maafkan saya ya karena sudah lama menunggu,” ucap Ayu yang tersenyum lagi. “Wah tidak apa-apa kok, kita baru aja sampai di kafe ini,” balas Naira yang tersenyum pun. “Iya, kita juga belum pesan makan atau pun minuman kok. Jadi ya gak usah gak enak kayak gitu, Yu,” kata Beni. “Terima kasih loh mbak dan mas sekalian, hehe,” Ayu berterima kasih. “Mari mari, duduk Mbak Ayu, ini ada kursi kosong,” sila Andin yang menuntun Ayu menuju ke kursi yang kosong. “Untung aja kursinya pas untuk kita berempat, ehehe,” seru Andin lagi. Ayu pun duduk di kursi yang diarahkan oleh Andin tadi, “terima kasih banyak loh Andin,” seru Ayu. Teng.. teng.. teng.. jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam.. rupanya, jam dinding yang berada di ruang VIP itu memiliki jam dinding yang bisa memberikan notifikasi kepada tamu yang ada di ruang VIP lewat pesan suara. “Gak kerasa ternyata hari sudah semakin malam, bagaimana kalau kita buka pembicaraan kita malam ini?” tawar Beni. “Setuju, lebih cepat lebih baik dan pasti bakal cepat selesai juga,” sahut Naira. “Iya, saya juga setuju hehehe, walau pun saya yang datangnya paling telat,” Ayu menimpali. “Nah, karena Ayu dan rekan-rekan sudah siap untuk membuka perbincangan malam ini, kita langsung mulai saja ya,” Beni pun siap memandu bahasan di malam minggu itu. “Eh eh maaf nih sebelumnya Kak Beni, Mbak Naira, dan Mbak Ayu, apakah tidak lebih baik kalau kita memesan makanan dan minuman terlebih dahulu?” tanya Andin sebelum perbincangan itu benar-benar dimulai. “Andin, kamu bertanya demikian apakah kamu sangat lapar?” balas Naira tidak memberi jawaban. “Tidak, kok Mbak, bukan begitu maksud aku,” Andin menggelengkan kepala. “Jadi? Apa dong, tuh kamu dari tadi pegang perutmu terus,” Naira memergoki Andin yang memang sedari tadi memegang perutnya. Dan pada waktu yang sama, Andin memang lapar tetapi masih bisa ia tahan. “Gini loh Mbak Nai, kita sudah duduk di ruangan VIP yang istilahnya ruangan mahal dan nyaman. Masa iya kita tidak memesan makanan dan minuman sama sekali? Kita sudah tidak bayar loh menggunakan ruangan VIP ini dan langsung dipersilahkan oleh manager kafe,” jelas Andin yang tidak ingin kedok laparnya terbongkar. “Itu benar apa yang dikatakan oleh Andin. Sebelum memulai bahasan malam ini, kita pesan makanan dan minuman dulu yuk,” Beni langsung sepemikiran dengan Andin. Ayu yang melihat Andin, Beni, dan Naira antusias dalam memesan makanan dan minuman, lain halnya dengan Ayu. Ayu dengan diam-diam membuka tas yang ia bawa dan memeriksa isi dompet yang ia miliki. Nahasnya, Ayu lupa membawa dompet. “Parah! Kok bisa aku lupa membawa dompet sih, padahal kan sudah aku siapkan di atas meja, Ayu, Ayu, masih aja jadi gadis pelupa, malu sama umur tau,” batin Ayu yang menyayangkan dirinya sendiri. Beni memanggil salah satu pelayan restoran untuk memesan makanan dan minuman. Andin dan Naira sergap membaca dan memilih menu yang mereka minati. Akan tetapi, Ayu tidak membuka sama sekali buku menu tersebut dan hanya terdiam sambil menatap sekeliling suasana kafe. Hal itu membuat Beni heran. “Ayu, kamu tidak pesan makanan atau minuman untuk malam ini?” tanya Beni. “Eh.. eng.. eng.. Engggg, enggak usah deh Mas, soalnya dari rumah saya sudah makan kok dan ini bawa minuman sendiri,” balas Ayu yang memperlihatkan botol minuman yang sudah ia isi. Memang, Ayu adalah anak yang terlampau irit. Setiap keluar main atau bekerja, ia selalu membawa botol berisi air mineral dari kontrakannya. “Hebat, eh, ngomong-ngomong berapa usiamu, Yu?” tanya Beni. “Hmmm, kelahiran 1994, itu artinya di tahun 2021 ini usiaku dua puluh tujuh tahun,” jawab Ayu santai. “Ah, kita seumuran ya. Hebat sih perempuan jaman now diusianya yang tujuh puluh tahun tetapi masih membawa botol mineral dari rumah seperti kamu ini. Benar-benar langka!” Beni menepuk tangannya untuk Ayu. Ayu tersenyum melihat tingkat Beni itu, “hahaha bukan begitu Mas, karena ya saya sadar kalau saya ini orang gak punya dan harus menghidupi diri sendiri. Jadi sebisa mungkin saya harus hemat dalam segala situasi,” terang Ayu yang membuat Beni menganggukkan kepalanya. “Oh, maaf loh Ayu jika pertanyaanku tadi menyinggung perasaanmu, kini aku sudah tau apa maksud dirimu membawa botol mineral itu,” Beni minta maaf ke Ayu sambil merapatkan kedua tangannya di depan Ayu. “Sudah, gak apa-apa Mas, namanya juga gak tau, jadi ya wajar kalau seperti itu,” Ayu membalas. “Kalau begitu, biar aku saja yang membayar pesananmu malam ini, Yu. Kamu bebas memesan apa saja yang tersedia di kafe ini, yuk silahkan,” Beni memberikan buku menu yang masih nganggur di atas meja ke Ayu. “Mas, terima kasih banyak atas tawarannya, saya benar-benar tidak enak ini, ehehe,” ucap Ayu. “Biasa aja, santai, Yu, silahkan silahkan pesan saja makanan dan minumannya, gak usah lihat harganya ya!” pinta Beni. Ayu menganggukkan kepalanya dan mulai membuka menu hidangan yang dibawa oleh pelayan restoran tadi. Halaman pertama hingga terakhir, sudah selesai dibaca oleh Ayu. “Ayu, jadi kamu mau pesan apa? Sudah lihat semua menu yang disediakan kan? Silahkan dipesan langsung biar tidak lama-lama,” tandas Beni yang melihat Ayu sudah membaca habis menu hidangan restoran yang mereka kunjungi. “Ehehehehe,” Ayu pun hanya membalas dengan tawaan. Beni pun bingung, “bagaimana Yu, kamu mau pesan makanan atau minuman apa? Biar aku catet nih,” kata Beni. “Kayaknya gak usah aja deh Mas, karena makanan dan minuman disini mahal-mahal semua,” Ayu kembali menaruh buku menu itu seperti ke tempat semula. “Loh? Ada apa? Ya kan biarpun mahal seperti itu tetap aku yang bayar. Jadi, kamu santai aja kali Yu,” Beni memperingatkan. “Bukannya begitu Mas, aku tahu kalau malam ini Mas semua yang bayar, tetapi kan aku sebagai orang yang dibayarin harus tau diri dong. Masa iya mau memesan makanan atau minuman yang mahal? Itu kan artinya tidak tahu diri,” terang Ayu dengan polosnya. “Hahahahaha, Ayu, Ayu, aku mohon ya pikiran seperti itu dihilangkan untuk malam ini. Aku pun mentraktir kamu malam ini karena inisiatif dari aku sendiri. Udah lah, sekarang aku tanya ya, kamu mau pesan apa?” kata Beni. Ayu melirik salah satu menu yang ia ingini saat ia membaca keseluruhan, “Hmm, boleh ya Mas? Kalau begitu saya ingin membeli kebab isi daging sapi dan jus strawberry saja,” jawab Ayu sambil malu-malu. “Udah, itu aja? Apa ada tambahan yang lain?” tanya Beni sekali lagi yang siap mencatat lebihan pesanan. “Iya deh Mas, kayaknya itu aja deh,” Ayu mengangguk. “Oke, udah ya Ayu berarti kamu pesan kebab isi daging sapid an jus strawberry,” Beni mengulang pemesanan Ayu tadi. Ayu menganggukkan kepalanya, “sip, sudah benar itu pesananku Mas. Namun, aku mohon jangan marah jika nominal yang aku pesan itu terlalu besar,” “Tidak masalah kok, anggap saja aku bertanggung jawab atas acara pertemuan malam ini,” Beni menyeringai. Jadi, Beni sudah selesai menulis pesanan untuk Ayu dan dirinya. “Naira dan Andin, kamu mau pesan apa nih makanan dan minumannya?” tanya Beni pada kedua rekan perempuannya yang dari tadi saling diam. “Hmm, kita ikutan dibayarin gak nih?” canda Naira sambil menyipitkan kedua matanya. Andin yang mendengar candaan Naira, hanya menahan geli menutup mulutnya dengan kedua tangannya sendiri. Beni melirik tipis, “apaan sih Nai, kamu ini hobinya selalu aja pengen ditraktir terus, kasihan yang bayarin tau,” balas Beni. “Yeeee, kan gak setiap hari juga, Ben. Gimana gimana, aku sama Andin juga dibayarin gak nih?” Naira bertanya lagi. “Maaf ya Naira dan Andin, bukannya aku pelit, akan tetapi duit yang aku bawa juga sedikit di dompet,” jawab Beni. “Apa? Beni membawa uang sedikit? Itu hanya omong kosong!” balas Naira lagi. “Naira, aku beneran kok hanya bawa uang cash sedikit. Tadinya aku mau mengambil uang lebih di atm, eh atm aku bermasalah. Mungkin besok lusa mau ke atm dulu untuk perbaikan kartu,” terang Beni yang berusaha membuat Naira percaya. Wajah Beni juga disertai dengan wajah memelas. Andin dan Naira saling pandang, mereka tak kuat menahan ketawa melihat paras wajah Beni yang melas seperti itu, “hahahhaa, bercanda kali Ben, kasihan banget kamu dipalak terus sama kita-kita,” ucap Naira cekikikan. Andin pun juga ikutan ketawa lantaran sudah bersekongkol dengan Naira, “kasihan amat dah Kak Beni, ahahahah, iya lah kita gak apa-apa kok bayar sendiri untuk makanan dan minuman malam ini,” ucap Andin. “Syukurlah kalian berdua tidak memberatkanku untuk sekarang, senang ngajak kalian! Hahahaha,” sahut Beni. “Jadi, Naira dan Andin mau pesan apaan nih? Cepetan napa, biar bahasan ini cepat dimulai!” sambung Beni. “Aku mau pesan bakmi komplit plus rendang dan minumannya soda gembira,” tutur Naira. Beni pun menulis apa yang dipesan oleh Naira. “Kamu, Din? Mau pesan apa?” Beni bertanya ke Andin yang masih galau ingin memesan makanan dan minuman jenis apa. “Hmm, setelah mikir yang lumayan panjang, aku mau pesan sushi salmon dan teh tarik hangat saja lah,” ucap Andin. Sama seperti pesanan Naira, Beni juga menulis apa yang disampaikan oleh Andin perihal makanan dan minuman. “Semuanya sudah memesan hidangan makanan dan minumannya kan? Coba baca baik-baik deh, siapa tau pesanan kalian ada yang salah atau ada yang mau diganti?” ucap Beni sambil menyodorkan lembaran catatan pesanan yang ditulis oleh Beni. Andin, Naira, dan Ayu membaca isi catatan Beni. “Sudah, benar!” koor Andin, Naira, dan Ayu. Beni pun segera memanggil karyawan restoran, “ini pesanan kami ya Mas, tolong dipercepat datangnya pesanan kami mengingat waktu sudah semakin larut,” pesan Beni. Karyawan restoran itu pun mengangguk dan meminta Beni untuk menunggu pesanan. “Baik, karena makanan dan minuman untuk kita semua di sini sudah selesai dipesan, kini saatnya kita membuka obrolan yang dirasa penting ya,” ucap Beni dengan raut wajah serius. Merasa obrolan serius itu akan segera dimulai, Andin, Ayu, dan Naira lebih mendekatkan kursinya ke Beni. Mereka memasangkan telinga mereka betul-betul fokus dan akan mendengarkan obrolan mala mini dengan baik. “Jadi begini, Yu, aku dan Andin sudah melihat perdebatan kamu dan Riki ketika di kafe Irama Nada tempo hari. Dari perdebatan itu, aku dan Andin menemukan suatu hal yang janggal dan harus diklarifikasi lebih dalam lagi. Kalau boleh tau, apakah kamu bersedia untuk menjelaskan atau menceritakan kebenaran kepada kami?” Beni menegaskan. Ayu terdiam sejenak, ia memantapkan hatinya terlebih dahulu sebelum bercerita terlalu dalam, “semoga aku tidak salah pilih tempat mengadu, semoga lah,” berdoa Ayu dalam hatinya. “Bagaimana Ayu? Apakah kamu tidak keberatan dengan permintaan kami semua yang ada di sini?” tanya Beni lagi. “Iya, Mas, saya merasa saya tidak keberatan untuk menceritakan apa yang kalian semua ingin tahu,” jawab Ayu yang membuat Ayu, Naira, dan Beni tersenyum. Pada malam itu, mereka bertiga bak melihat tanda hijau untuk meliput suatu hal. “Terima kasih ya Yu sudah mempercayakan kami untuk membuka ceritamu,” ucap Beni. “Iya, Mbak Ayu, dan Mbak Ayu juga tidak keberatan untuk kami ajak bertemu, padahal kan ini waktunya Mbak Ayu istirahat setelah bekerja,” tutur Andin. “Ayu, kita langsung mulai saja ya,” ajak Naira dengan nada lembut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN