Good Job!

2069 Kata
Ayu menyetujui tawaran rekan media malam itu untuk lebih cepat memulai membuka pembahasan. Seperti biasanya layaknya seorang wartawan professional, Andin, Naira, dan Beni pun mengeluarkan buku catatan mereka masing-masing dan menyalakan ponsel khususnya untuk merekam suara. “Mbak Ayu, aku izin merekam pembicaraan kita malam ini, boleh?” izin Andin yang masih belum meletakkan ponselnya di atas meja untuk merekam. Mendengar permintaan izin dari Andin, Ayu pun mengangguk, “silahkan,” ucapnya. “Aku juga boleh minta izin merekam ya, Yu?” izin Naira juga. Namun, Ayu terdiam sejenak, “maaf, kenapa ya harus direkam di banyak ponsel begini? Bukan kah direkam pada satu ponselnya saja sudah cukup?” tanya Ayu. “Begini Yu, kita ingin membuat copy data saja, supaya tidak kehilangan atau kececer,” jawab Naira. “Kenapa tidak satu ponsel saja yang merekam dan setelahnya bisa dikirim ke ponsel kalian masing-masing?” minta Ayu. Beni yang tidak ingin perdebatan kecil semakin berlanjut, memilih untuk menyudahinya, “udah, soal rekaman itu biar lewat ponsel Andin saja, Naira tidak usah merekam biar dikirim lewat w******p atau Bluetooth aja nanti,” pinta Beni. “Baik lah,” ucap Naira yang mengurungkan niatnya untuk merekam. “Maaf ya Mbak Naira, jangan diambil hati, saya tidak ada maksud apa-apa, kok,” kata Ayu sambil memegang pundak Naira. Naira tersenyum dan tidak mempersalahkan hal itu, “gak apa-apa kok Mbak, tidak masalah dan soal rekaman pembicaraan pada malam ini bisa memakai ponselnya Andin saja,” tutur Naira. “Siap, bagaimana Mbak dan Mas sekalian, bisa kah kita mulai sekarang untuk bahasannya?” tanya Ayu. “Silahkan dimulai, Yu,” balas Beni. “Iya Mbak Ayu, silahkan sekarang saja dimulainya,” timpa Andin. Ayu mengangguk. “Mulai dari mana kira-kira kita membuka pembahasan ini?” tanya Ayu lagi. “Kita langsung saja mengonfirmasi perihal ucapan Ayu bersama Riki di kafe Irama Nada,” jawab Beni. “Ucapan yang mana, Mas? Maaf, aku nyaris tidak mengingat lagi kata-kata yang aku keluarkan saat itu,” ucap Ayu. Beni membuka grup chat antara dirinya, Naira, dan Andin yang ada di w******p-nya. Lalu, Beni memutarkan rekaman yang sempat Andin rekam dan dikirimkannya di grup w******p tersebut. “Ini, kami memiliki rekaman antara kamu dan Riki waktu itu, dan maaf jika kami lancang merekamnya,” ujar Beni. Ayu tersenyum, “selama itu bisa membantu liputan atau investigasi kalian ya tidak masalah. Boleh aku mendengar isi dari rekaman itu, Mas?” Ayu meminta. “Oh, tentu saja, Ayu,” Beni memperbolehkan dan mulai memutarkan rekaman suara antara Ayu dan Riki lewat ponselnya. Rekaman suara berkisar beberapa menit itu didengarkan bersama-sama antara Andin, Ayu, Beni, dan Naira. Kebetulan Beni lah yang memutarnya, maka ia sengaja memperbesar volumenya agar terdengar jelas oleh Ayu, Naira dan juga Andin. Mereka pun mendengarkannya dengan tenang dan tanpa ada yang berbicara satu pun. “Ya, begitu lah rekaman yang sempat Andin rekam,” ucap Beni saat rekaman suara itu berakhir. “Oh, jadi Andin yang merekam percakapan aku dengan Riki?” tanya Ayu pelan. “Iya, Mbak Ayu, aku minta maaf kalau tidak izin sebelumnya, karena memang suasana untuk izin saat itu tidak memungkinkan. Aku terima kok kalau Mbak Ayu keberatan atau memberiku sebuah hukuman atas kesalahanku,” ungkap Andin lirih mengingat saat itu. Sebenarnya Andin paham bahwa yang ia rekam belum ada izin dari orang yang bersangkutan. Namun, karena Beni bilang bisa izin dilain waktu, maka Andin tetap merekamnya. “Sekali lagi aku minta maaf ya Mbak Ayu,” Andin minta maaf dengan merapatkan kedua tangannya ke depan dadanya. “Andin, apa yang kamu lakukan tidak sepenuhnya salah, kok. Tidak apa-apa kamu merekam pada saat itu, aku juga tidak menyadari bahwa apa yang aku ucapkan ketika itu membawa banyak pertanyaan bagi para professional kritis seperti kalian,” balas Ayu menatap satu per satu ke Andin, Beni, dan Naira. “Terima kasih banyak, Mbak Ayu, aku pikir Mbak Ayu akan menyuruh kita semua untuk menghapus rekaman itu, hehe,” Andin sempat gelabakan. “Tidak kok, tidak. Ya kalau tidak ada rekaman itu, aku tidak tahu apa yang aku katakan ke Riki. Dan karena rekaman itu juga aku baru sadar kalau aku telah mengatakan hal tersebut,” terang Ayu. “Terus, bagian mana yang mau kita bahas pertama kali?” lanjut Ayu. Beni pun melirik ke arah Andin, “din, keluarkan pertanyaan yang sudah kamu buat kemarin,” pesan Beni. Andin mengangguk dan membuka catatan kecilnya, serta berhenti ke lembaran yang disana bertuliskan, “daftar pertanyaan untuk Mbak Ayu.” “Aku tidak langsung menembak pada inti pertanyaan ya, namun aku mencoba untuk bertanya sesuai alur dari awal, biar Mbak Naira selaku orang yang tidak ada di tempat kejadian makin paham,” jelas Andin. “Ya, setuju!” sahut Naira. Melihat semuanya setuju atas saran Andin, ia mulai membuka pertanyaan untuk Ayu, “Mbak Ayu, apa yang membuat perdebatan itu terjadi pada awalnya?” “Oke. Semula karena aku sendiri mendengar Riki marah dengan nada keras, awalnya aku tidak paham kenapa ia berlaku demikian. Namun, aku yang mendengar amarah itu makin lama makin keras, aku langsung keluar dari dapur kafe,” cerita Ayu. “Dan ternyata….. Riki memarahi Hana yang polos dan penyabar itu,” sambung Ayu. “Apakah Mbak Ayu mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Riki ke Hana pada saat itu?” tanya Andin. “Aku tidak terlalu mendengar jelas ya, karena posisiku saat itu ada di dapur kafe dan sedang membuatkan beberapa pesanan yang masuk,” jawab Ayu. “Pada saat itu Mbak Ayu berada di dapur kafe. Hm, seingatku, Mbak Ayu bekerja di belakang meja barista bersama Mbak Hana, kenapa bisa saat itu Mbak Ayu sibuk di dapur kafe untuk membuatkan pesanan para tamu?” Andin memandu semua pertanyaan saat itu. “Ya apa yang dikatakan Andin memang benar, saya, Hana, dan satu orang karyawan laki-laki lagi memiliki tugas di belakang meja barista. Dan ketika itu saya memang ada di dapur kafe karena para karyawan yang bertugas di sana sangat kewalahan. Saya yang kebetulan sedang tidak terlalu sibuk, ya ikut membantu saja karyawan lain yang ada di dapur kafe,” ucap Ayu. Andin mengangguk, dan merasa jawaban Ayu sangat membawa titik terang. “Oh ya, sebelum aku melanjutkan untuk bertanya ke Mbak Ayu lebih jauh, apa kah Mbak Naira dan Kak Beni bisa memahami apa yang aku dan Mbak Ayu bicarakan tadi?” tanya Andin pada Beni dan Naira yang sedari tadi mengikuti jalannya wawancara itu. “Iya Andin, aku bisa memahaminya lebih detail, karena aku masih ingat sedikit-sedikit kenapa percekcokan di kafe Irama Nada itu terjadi,” jujur Beni. “Bagaimana dengan Mbak Naira?” tanya Andin. “Syukurnya aku bisa mengikuti alur wawancara antara Andin dan Ayu. Aku cukup paham dengan alur dan inti permasalahan di bagian awal,” jawab Naira. “Aku juga sudah mencatat beberapa hal-hal penting di buku catatanku sendiri,” lanjut Naira sambil memperlihatkan lima baris tulisan biru yang ia tulis di buku catatannya itu. “Bagus lah, sekarang bisa kita lanjutkan lagi, ya,” pinta Andin. “Yes!” seru Naira dan Beni bersamaan. “Mbak Ayu, mengapa karyawan yang ditugaskan di dapur kafe waktu itu merasa kewalahan? Bukankah sudah menjadi kewajiban mereka ya bekerja di dapur dan melayani beberapa pesanan yang masuk,” Andin melanjutkan pertanyaannya. “Ya, tugas karyawan yang bekerja di dapur adalah membuat masakan berat saja. Nah untuk masakan ringan diamanahkan ke meja barista untuk sementara waktu ini. Akan tetapi, pada saat itu karyawan dapur kafe sedang banyak yang cuti, dan hal itu wajar saja membuat karyawan yang tersisa makin gelabakan,” terang Ayu. “Kalau boleh tau berapa sisa karyawan dapur yang bekerja pada saat itu? Dan, berapa banyak pula karyawan yang cuti?” “Sebenarnya untuk jumlah keseluruhan karyawan yang memegang tugas dapur itu ada lima orang, dan karena banyak yang cuti dari ke lima karyawan tersebut, jadi ya sekarang sisa dua orang saja,” jawab Ayu. “Nah, soal banyaknya karyawan yang cuti dan hampir setengahnya ini sangat menarik. Hal ini juga menjadi ucapan Mbak Ayu yang saya garis bawahi. Kalau boleh tau, kenapa Mbak Ayu mempermasalahkan hal itu?” “Begini, aku tidak mempersoalkan karyawan yang lainnya untuk cuti. Tetapi, aku menyayangkan sikap Riki yang serta merta memperbolehkan setengah dari karyawan di dapur untuk cuti. Lucunya lagi, ia tidak membuat strategi agar karyawan di dapur tidak kewalahan. Malahan, kita nih karyawan lainnya yang membuat strategi itu,” ungkap Ayu yang sedikit meninggikan nadanya. “Dan syukurnya karyawan lain benar-benar mau membantu ya, istilahnya saling bekerja sama gitu,” Andin mengapresiasi. “Iya, itu jadi nilai tambah atas kerja sama karyawan di kafe Irama Nada, saling membantu tanpa pamrih. Itu salah satu sifat rekan kerja yang aku suka,” kata Ayu. “Bagus lah. Oh ya Mbak Ayu, soal strategi yang dibuat oleh kalian nih untuk menekan kewalahan karyawan dapur itu apa sudah diketahui Riki sebagai pemilik kafe Irama Nada?” tanya Andin kembali. “Ya jelas tahu, dong,” jawab Ayu mantap. “Terus, apa tanggapan Riki? Apakah ia mengapresiasi atas kerja sama yang dilakukan oleh karyawannya?” “Hahahahahaha,” Ayu tertawa geli. “Tidak ada dong, Din. Tidak ada apresiasi sama sekali. Malah nih ya, Riki mengklaim kepada teman-teman sebayanya bahwa ialah yang membuat strategi itu. Kan kita-kita kesel dong! Dia hanya terima jadi, kita yang mikir!” sahut Ayu. “Sabar, sabar, Yu,” sahut Beni berusaha menenangkan Ayu yang kelihatannya memarah. “Mbak Ayu, semoga Mbak Ayu masih bisa menekan emosinya ya. Apa bisa kita lanjutkan lagi pembicaraan ini?” Andin memastikan ke Ayu. “Iya, Din, bisa kok. Aku pasti bisa menekan emosiku supaya tidak meledak-ledak. Baik, kita lanjutkan saja sampai tuntas pembahasan ini,” pikir Ayu. “Siap. Kita lanjut ke pertanyaan lain ya Mbak Ayu, saya masih ingin mengulik tentang apresiasi yang diberikan Riki pada karyawan bawahannya. Masa sama sekali tidak ada di beri apresiasi? Misalnya dengan memberi intensif tambahan gitu, karena kan jam kerja kalian juga sangat padat dan panjang sekali,” ucap Andin. Ayu menggelengkan kepada setelah mendengar ucapan Andin. “Itu adalah hal yang tidak mungkin terjadi, sih. Selama aku bekerja di kafe Irama Nada sekitar 3 tahun lamanaya, aku tidak pernah merasakan bahkan diberi intensif tambahan jika aku bekerja lembur atau merangkap seperti halnya saat ini,” terang Ayu. “Sumpah? Jadi tiap hari Mbak Ayu bekerja di pukul 7 pagi hingga 11 malam, tidak ada tambahan uang lembur, libur, atau semacamnya?” Andin seolah tidak percaya. “Uang tambahan lembur, libur, atau bahkan apalah itu yang membuat karyawan bisa istirahat itu sangat tidak ada. Gaji juga tetap tidak ada penambahan, apalagi libur? Tidak ada, kita terus bekerja hingga Senin ketemu Senin,” jelas Ayu lagi. “Ckckck, aku baru tau ada orang yang mempekerjakan orang lain seperti itu, sabar ya Mbak Ayu,” balas Andin lirih mendengar penjelasan dari Ayu. “Hmm, aku tidak menyangka bahwa teman sekolah menengah atasku yang aku banggakan karena usahanya yang lancar itu ternyata berkelakuan demikian,” seru Beni yang menggelengkan kepalanya. Ayu tertawa kecil, “semua itu sudah kita rasakan sejak pertama kerja hingga sekarang, dan kami tidak tahu harus melapor kemana,” ucap Ayu menunduk kecewa. “Tenang Mbak Ayu, doakan saja semoga kita semua di sini dapat membantu menyalurkan aspirasi Mbak Ayu ke orang banyak,” balas Andin mengelus bahu Ayu. “Mbak Ayu, aku baru ingat, kan Mbak Ayu berkata bahwa tidak ada libur bagi seluruh karyawan kafe dan ditambah dengan jam kerja lembur tiap hari. Apakah ini penyebab Mbak Hana sakit?” sambung wawancara Andin. Ayu mengangguk tegas, “ya.. ya. Ya! Itu sangat benar sekali, Din!” seru Ayu. “Oke, jadi masalah yang bisa aku tangkap di sini adalah kurangnya tenaga kerja, jam kerja yang cenderung lembur dan tidak ada intensif tambahan, dan juga libur yang tidak diberikan pemilik kafe,” Beni mencoba menyimpulkan. “Benar, dan perlu digaris bawahi adalah pemilik kafe cenderung tidak memperhatikan kesehatan para karyawannya,” sahut Naira. “Ya, Mbak dan Mas sekalian benar. Itulah yang ingin kami sampaikan, dan itulah maksud kenapa aku menyimpan nama kontakku menjadi, “Tolong Kami,” diponsel Andin,” Ayu berterus terang. “Oh begitu, Mbak Ayu, aku juga awalnya merasa bingung kenapa Mbak Ayu memberikan nama kontak seperti itu padaku. Dan ternyata ini toh maksud dari segalanya,” Andin mengangguk paham. Ayu pun melempar senyum ke Andin. “Oh ya Mbak Mas, apakah ada pertanyaan lain yang belum saya jawab? Kebetulan jam semakin larut, dan saya ingin pulang untuk beristirahat,” pungkas Ayu. Beni, Naira, dan Andin kembali melihat catatan yang sudah mereka buat di dalam buku catatan masing-masing. Mengetahui Ayu ingin pulang untuk beristirahat, mereka memeriksa lagi satu per satu apakah ada ucapan yang kurang dimengerti. “Bagaimana, Mbak Naira dan Kak Beni?” tanya Andin kepada dua rekannya yang masih memeriksa buku catatannya. “Aku rasa aku sudah jelas semuanya,” timpa Beni. “Kamu Naira?” tanya Beni ke Naira. “Aku juga sama demikian, tidak ada lagi pertanyaan yang menjalar di pikiranku. Semuanya sudah clear!” jawab Naira. “Oke deh, karena Mbak Naira dan Kak Beni sudah selesai dan paham semuanya, kita cukupkan saja pertemuan ini, bagaimana?” usul Andin. Usul Andin memang selalu baik, dan kemudian Beni, Naira dan Ayu beranjak dari tempat duduknya dan memutuskan untuk pulang. Ya, pertemuan malam minggu tersebut membawa banyak titik terang bagi Naira, Andin, dan Beni.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN