Andin melamun di sudut kamarnya, seraya terngiang-ngiang bahwa ia sedang berada dalam situasi keadilan. "Akankah Andin berhasil mengungkap kejahatan manusia keji itu?" ia masih melamun.
Bu Ranti yang sedari tadi memperhatikan putri tunggalnya dari balik pintu yang terbuka merasa khawatir.
"Sudah makan, Din?" kata Bu Ranti berusaha menyembunyikan wajah cemasnya.
Entah Andin malas menjawab atau tidak mendengar, sama sekali tidak terdengar sepatah katapun dari mulutnya.
Dalam hati Bu Ranti, ia yakin sekali bahwa anaknya sedang tidak baik-baik saja. Bu Ranti berpikir, ia harus menyediakan makanan kesukaan Andin. "Mungkin Andin langsung mau menceritakan segalanya ke Aku, ya semoga saja," batinnya.
Bu Ranti sigap beranjak dari silanya, dan pergi menuju dapur memeriksa apakah bahan ayam masih tersedia di kulkasnya.
Kreeeek..
Aroma kulkas yang sangat khas itu, membuat Bu Ranti bersemangat. Pasalnya, buah-buahan yang terjejer rapi di rak atas sampai bawah, menyiupkan aroma segar. Seperti niat di awal, Bu Ranti segera membuka laci kulkas yang ada di sudut atas.
"Mana ya ayam goreng kebangganku?" jemari Bu Ranti menjentik di dalam freezer, "nah!" ucapnya sambil menjangkau paha ayam beku itu.
Bu Ranti sesekali mengintip lagi apa yang sedang dilakukan Andin. Seperti biasa, Andin sudah siap di depan laptop yang menyala di atas meja kamarnya. Andin memiringkan kepalanya ke samping kanan dan menopang dengan tangan kanannya. Bu Ranti pun tak melihat bagaimana raut wajah anaknya itu.
"Kenapa, ya? Semoga baik-baik saja, lah," Bu Ranti menghela napas panjang dan.....
Pletakkkkk! Awwwwww!
Seketika ibu jari kiri Bu Ranti tersayat pisau. Rupanya, Bu Ranti tidak konsentrasi memotong pisau dan malah memperhatikan Andin. Mendengar teriakan ibunya, Andin bergegas mencari asal suara itu.
"Ma? Ada apa?" tanya Andin berusaha mencari tahu lewat pengelihatannya.
"Eng... eng... enggakpapa, Nak," jawab Bu Ranti sembari memperhatikan ibu jarinya.
Andin mengintip ke arah ibu jari Bu Ranti, sesuatu berwarna merah cair mulai mengalir dan belum berhenti.
"Lho ini lho, ada apa Ma?" Andin berusaha melihat lebih dekat lagi apa yang terjadi di ibu jari Bu Ranti.
"Kena pisau, ya? Hayo Mama mikirin apa dari tadi? Raganya di dapur, tapi pikirannya mutar di angkasa, ya?" ledek Andin. Bu Ranti menyeringai tak menjawab.
Andin langsung mencari kotak P3K yang berada di ruang keluarga. Andin menggoyang-goyangkan isi obat merah (betadine) yang tidak terdengar lagi cairannya.
"Ya syukurlah, masih ada!" Andin menggenggam obat merah itu di tangan kirinya. Selanjutnya, ia mencari lagi kain kasa dan hansaplast untuk membalut luka Bu Ranti.
Di dalam kotak P3K tampak sepi, hanya beberapa peralatan obat yang terpampang di sana. Maklum saja, semenjak berhenti dari kegiatan Palang Merah Remaja, Andin sudah jarang melengkapi obat pertolongan pertama untuk dipakai di rumah.
"Hansaplast habis, tinggal kain kasa yang masih sedikit terbuka!" Andin menjangkau kain kasa itu dan menggenggamnya di tanga kanannya.
"Lengkap sudah!" dalam hati Andin.
Andin tampak masih lihai memberikan pertolongan pertama kepada Bu Ranti. Andin menuangkan secukupnya obat merah ke luka sobek Bu Ranti. Kemudian, Andin berusaha membalut luka itu dengan kain kasa bersih.
Ya! Kain kasa itu sudah membalut luka sobek Bu Ranti akibat terkena pisau.
"Ternyata kamu masih bisa menangani luka, ya.." ucap Bu Ranti.
"Emangnya harus gimana, Ma? Mama gak percaya aku masih bisa melakukan kegiatan yang berbau Palang Merah?" tandas Andin.
Bu Ranti tersenyum, tampak sedikit senyum khas yang tergambar di bibir Andin.
"Semenjak fokus dengan kegiatan jurnalis, kamu kan meninggalkan kegiatan Palang Merah, Mama kira kamu juga melupakan semua ilmu-ilmunya," ucap Bh Ranti.
Andin mengembalikan obat merah dan kain kasa bekas ke kotak P3K. Disusunnya rapi seperti tak ada bekas orang yang mengambilnya. Bukannya Andin kembali ke kamarnya, ia kembali ke ruang belakang dan duduk di kursi ruang makan.
"Bukan begitu dong, Ma. Walaupun aku sudah tidak di Palang Merah, bukan berarti aku tidak memiliki jiwa Palang Merah sama sekali," balas Andin.
"Oh gitu, kalau begitu sama dong dengan begini. Kamu sudah tidak Sekolah Dasar lagi, bukan berarti sifatnya sudah dewasa," canda Bu Ranti.
"Ye! itu beda cerita lagi lah, Ma. Ya kali Andin yang baik hati dan tidak sombong ini disama-samain sama anak SD!" ujar Andin.
Ruang makan yang tadinya sunyi, tak menyangka menampilkan canda tawa lagi.
Bahan-bahan masakan dan paha ayam beku masih tergeletak di atas laci dapur. Masih bawang putih yang terpotong. Padahal, perut Andin sudah kelaparan dan meminta sesuap nasi untuk menghilangkan laparnya itu. Andin melirik paha ayam beku yang nganggur di atas laci.
"Ma, sesuatu yang dianggurin itu pamali lho!" ucap Andin.
"Kenapa? Kok bisa? ilmu dari mana lagi yang kamu dapat?" balas Bu Ranti.
"Ilmu cenayang! segala sesuatu bisa aja dibahas dengan telepati!"
"Telepati apaan? Ngaco ih!"
Ya, kode yang diberikan Andin tadi rupanya tidak membuat Bu Ranti sadar.
Kreeeeek.
Perut Andin sudah dua kali berbunyi, tandanya, lapar itu sudah tak dapat dibendungnya lagi. Andin berangkat dari kursi yang ia duduki, dan menghampiri Bu Ranti di posisi dapur. Andin sigap memegang dan mengangkat paha ayam beku ke depan wajah Bu Ranti.
"Ini lho Ma maksudku, pahami kalau dianggurin!" ungkap Andin berusaha menyembunyikan gelinya.
Bu Ranti menampol pipi kanan Andin, "Ye! ini namanya bukan pamali, kamu aja yang ngebet minta dibikinin ayam goreng tepung, kan?" Bu Ranti mengambil ayam di kepalan tangan Andin.
"Mama paling tau deh! Cinta," kata Andin merayu.
Bu Ranti kembali memotong bawang merah dan segala bahan untuk memasak. Bu Ranti melirik Andin yang sedang memperhatikan saat Bu Ranti memotong bahan.
"Mau coba?" tawar Bu Ranti. Andin malah tertawa menutup mulutnya.
"Nanti aja deh, Ma. Tunggu aku mau nikah!"
"Kenapa harus nunggu mau nikah? Sekarang aja kali biar jago masak,"
"Belum punya niat dan minat, Ma, gimana dong?"
"Andin, kamu tau cerita jaman dulu gak? Kalau orang lagi lihat orang lain memasak dan tidak membantu, itu pamali!"
"Serius? Cerita jaman kapan itu, Ma?"
Andin mendekatkan diri ke Bu Ranti, wajahnya memikirkan dalam apa yang sebenarnya pamali yang dimaksud Bu Ranti. Pikiran Andin tampak jauh sekali. Tapi, Bu Ranti masih belum menjawab.
"Apaan sih, Ma? Penasaran deh! Definisi pamali kan masih bias," kata Andin. Andin menopang dagunya dan berusaha mencari jawabannya. Bu Ranti pun tak kuasa menahan geli yang merajalela dipikirannya.
"Jaman ketika negara api belum menyerang! Hahaha," tawa Bu Ranti lepas.
"Ye! Avatar kaliiiii! Bohong ya?"
"Satu-satu, ya!" Bu Ranti mencuil hidung mancung Andin.