Problem (2)

1072 Kata
Gejala umum yang dialami penderita Pseudobulbar, seperti menangis dan tertawa secara berlebihan. Padahal, ekspresi tersebut tidak menggambarkan suasana hati sebenarnya atau tanpa maksud apapun. Andin membaca paragraf pertama artikel yang dikirimkan oleh platform kesukaannya itu. Seketika Andin mengingat rekaman suara ilegal yang didengarnya dari Bu Della, “jangan-jangan?” Andin mengabaikan pikiran negatifnya. Dilanjutkannya membaca artikel itu untuk mencari informasi lebih banyak lagi. Secara langsung, penderita Pseudobulbar tampak memiliki emosi yang normal. Namun, ekspresi berlebihan itu seringkali muncul saat waktu yang tidak tepat. Ekspresi yang berlebihan tadi berlangsung cukup lama dari orang normal lainnya. Andin kembali ingat rekaman itu, Anggi terus-menerus tertawa dan menangis saat diinterogasi. “Wah, ini semakin jelas!” batin Andin. Suara tertawa dan tangisan Anggi di dalam rekaman itu tergambar jelas seperti ekspresi yang dipaksakan. Andin yakin betul mental Anggi benar-benar terganggu. Andin sengaja membaca dua paragraf saja dari artikel itu. Bayang-bayang Anggi terus memutar dalam dimensi Andin yang membuat Andin tidak fokus. “Apa kah ini bisa dihubungkan dengan kondisi Anggi, ya?” Andin menjentikkan tangan kanannya di atas meja. Andin bergumam, “Hmm, aku harus cari info lebih, nih!” Mengetahui ponselnya masih disita Bu Ranti, Andin menghubungi Bu Della lewat media sosial i********:. “Ardella Angkara......nah! aku dapat,” Andin berusaha menuliskan nama lengkap Bu Della di kolom pencaharian i********:. “Waw! Rupanya Bu Della aktif di media sosial juga ya, seperti anak gahooool saja,” gumam Andin. “Bu, ponsel saya disita,” pesan Andin terkirim ke Bu Della. TOENGGGG.... Belum ada satu menit, laptop Andin berdering tanda ada pesan yang masuk. “Mantap memang Bu Della, tak salah jika banyak yang menyukai kepribadiannya, kalau lagi situasi darurat, fast respon!” Andin kegirangan mendapat notif dari Bu Della. “Terus gimana? Apa mau saya belikan ponsel?” balas Bu Della tanpa emotion seperti biasanya. “Tidak perlu, saya malas untuk memasukkan seluruh kontak teman-teman saya lagi,” ucap Andin. “Anda saya prankkkkkkk!” Bu Della membalas lagi dengan stiker tertawa. Anggi menggelengkan kepada dan kembali membalas disertai stiker menepok jidat, “Apaan sih Buuuu, gak berfaedah.” “Oke, saya gagal. Besok saya akan mendapatkan jackpot!” Bu Della kembali membalas yang lebih nyeleneh. “Garing deh Bu Ah!” “Ya sudah, ada apa Andin? Kayaknya penting banget sampai kirim pesan lewat media sosial segala,” tanya Bu Della. “Barusan saya baca artikel tentang pseudobulbar dan saya berpikir itu berkaitan dengan kondisi Anggi,” balas Andin. “Tapi sebelumnya maaf kalau saya lancang, Bu,” lanjutnya. Pesan tersebut terkirim tidak sampai tiga puluh detik. Andin sengaja tidak menutup kolom pesan karena ia yakin Bu Della akan membalasnya seperti kecepatan halilintar. Lima belas menit kemudian, Bu Della tidak juga membuka pesannya. “Duh, padahal Bu Della lagi online lho, itu tandanya ada hijau-hijaunya.” Andin manyun. Tiga puluh menit kemudian, Bu Della membaca pesan itu. “Yes, dibaca!” Andin menyeringai. Andin menunggu balasan dari Bu Della sambil menopang dagunya dengan kedua tangan. Empat puluh menit kemudian.. Lima puluh menit kemudian, Bu Della online tetapi tidak membalas. Satu jam kemudian, Bu Della membuat story. “Lho? Ibunya gak sibuk-sibuk amat, kok gak balas pesanku ya?” ucap Andin. “Apa pesanku kurang sopan, ya?” Andin kembali membaca pesan yang berhasil dikirimnya satu jam yang lalu. “Kayaknya kurang sopan deh, soalnya aku kayak nodong gitu, Aduh!” Andin menepok jidatnya, kali ini tanpa stiker. “Harusnya aku gak nyebutin nama Anggi, aku kok sok tau banget sih!” Andin memukul-mukul ringan kedua pipinya. Andin mencoba menarik pesan yang dirasanya tidak sopan, “ah sialan! Gak bisa ditarik lagi, pasti urusannya bakal panjang nih!” gerutu Andin. Andin menghentak-hentakkan kedua kakinya ke lantai dengan keras sambil berseru, “Andin begooooo, Andin begoooooooooooooooooooo!” “Aku harus minta maaf nih!” ide Andin. Andin mulai mengetikkan kata-kata halus sebagai permintaan maaf pada Bu Della. Bu Della, saya memohon maaf atas pesan saya yang dirasa kurang sopan terhadap Bu Della. Jujur, saya tidak berniat menjatuhkan siapa pun untuk kepentingan pribadi. Sebaik-baiknya manusia dialah yang memaafkan makhluk lainnya. Pesan terkirim! Pelipis Andin mulai mengeluarkan air keringat, jantungnya berdegup kencang tidak beraturan. “Aku gak nyangka banget Bu Della bisa ngambek kayak gini,” ujar Andin mengigit bibir bawahnya. Lima menit kemudian, simbol pesan terbaca muncul dari bilik pesan i********:. Ardella Angkara mengetik......... “Wah, ngetiknya lama, pasti balesnya panjang nih! Pasti Bu Della gak ngambek,” terka Andin. Namun, ketika Andin menunggu dua menit kemudian, Bu Della offline, “lho? Gak jadi ngebales? Yaelah Ibuuuuuuu!” Andin semakin geregetan. Andin pun menempatkan dua telunjuknya ke arah pelipisnya. Andin berpikir bak Sherlock Homes yang sedang mencari jalan ninja. “Apa aku spam saja, ya? Biar Bu ponselnya Bu Della bunyi terus dan membuka pesanku!” Andin menjentikkan jarinya dan memulai aksi yang baru saja dipikirkannya. “Hallo, Bu Della?’ “Ibu Ardella Angkara......” “Bu Della, guru Biologi saya, minta tolong Bu Della membalas pesan saya, Bu,” “Bu, saya minta maaf setulus-tulusnya, Bu!” tidak lupa Andin membubuhi emot sungkem. “Bu Della, jelaskan padaku isi hatimu, kalau Ibu marah, saya minta maaf,” emot sungkem kembali digunakan Andin. Sepuluh menit kemudian, Bu Della online dan membaca pesan tersebut. Andin kembali menantikan balasan dari gurunya itu, dua puluh menit hingga satu jam kemudian, tidak ada jawaban. “Huffft, jadi gak enak sama Bu Della. Pasti bakal canggung nih kalau ketemu,” ujar Andin sambil menghela napas panjang. *** “Ma, jadi?” Andin keluar dari kamar tidur, jiwanya setengah sadar dan masih ingin bermesraan dengan kasur. “Jadi, kamu cepat mandi,” balas Bu Ranti yang sudah rapi mengenakan blazzer cokelat dan jeans hitam. “Hmmm, oke.” Andin mengucek kedua matanya berharap auto melek. Selesai mandi, Andin langsung mengenakan seragam sekolah dan tak lupa merangkul tas slempang ungunya. Andin duduk manis di atas kursi makan, “Mama masak apa hari ini?” tanya Andin mengelus perutnya. “Tidak ada. Setelah bertemu kepala sekolahmu, baru kita cari makan di luar,” jawab Bu Ranti. Bu Ranti memanaskan motornya sekitar 15 menit, “Ayo, berangkat,” pinta Bu Ranti. Andin duduk di atas motor tepat di belakang Bu Ranti. Dipeluknya pinggang Bu Ranti dan kepalanya bersender di bahu Bu Ranti. Andin membisikkan sesuatu, “Cie Mama gak tenang ya, khawatir ya, baru gitu aja kok panik!” “Sok tau deh!” celetuk Bu Ranti. “Kalau gak khawatir, kenapa gak masak sarapan?” tanya Andin. “Mama belum beli bahan masak,” balas Bu Ranti. “Bohong, di kulkas lho banyak banget. Itu jatah bahan seminggu,” Andin mencoba jawab. “Udah jelek semua itu,” “Mama pernah bilang kalau gak masak artinya antara dua, satu stok makanan beneran gak ada, dan kedua moodnya lagi gak beres. Betul gak?” Andin memastikan sambil melirik raut wajah Bu Ranti lewat kaca spion. “Gak usah ikut campur masalah orangtua ya! Diam kamu!” Bu Ranti membentak Andin. Andin langsung membatin, “apa benar-benar karena aku ya, mood Mama jadi gak beres? Kalau memang iya, susah nih cara balikinnya. Aku harus beliin tas Hermes original!”      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN