Interogasi Andin

1134 Kata
Bu Ranti dan Andin langsung memarkir motor di tempat parkir biasanya. Suasana di SMA Melati Jaya pagi itu ramai dengan riuh motor-motor para civitas akademik yang berlalu lalang. Bu Ranti dan Andin turun dari motor.  “Panas banget,” Bu Ranti melepas blazzer cokelatnya, “tolong bawakan,” Bu Ranti menyerahkan blazzer-nya pada Andin. Andin melipatnya dan menyimpan di dalam tas slempang ungunya. “Ma, Mama baik-baik aja, kan?” tanya Andin. Bu Ranti tidak menjawab pertanyaan Andin. Bu Ranti dan Andin melangkahkan kaki menuju ruang kepala sekolah. “Silahkan masuk,” ucap Pak Ishaq, kepala sekolah SMA Melati Jaya. Bu Ranti dan Andin memasuki ruangan tersebut yang serba putih di dalamnya. Pak Ishaq duduk di atas kursi dan sedang membolak-balikan kertas dalam map hijau. “Silahkan duduk, Bu Ranti dan Andin,” Pak Ishaq menutup map hijau itu dan melipat kedua tangannya di atas meja. Pak Ishaq memandang Bu Ranti dan Della secara bergantian. “Baik, Bu Ranti dan Andin. Sebelumnya terima kasih sudah hadir memenuhi panggilan saya kemarin. Saya bermaksud memanggil Bu Ranti dan Andin ingin meminta klarifikasi perihal tulisan Andin yang beredar di media sosial saat ini,” jelas Pak Ishaq bernada santai. “Maaf, tulisan saya yang mana, Pak?” tanya Andin. Pak Ishaq mengeluarkan ponsel dan menampilkan tulisan Andin di layar ponselnya. “Ini, kamu yang tulis kan?” Pak Ishaq menunjukkan tulisan Andin yang berjudul, “Penundaan Sidang Kasus Pembuangan Bayi, Akankah Kasus ini Terungkap?” Andin mengangguk, “ya, itu benar tulisan saya. Lalu, klarifikasi apa yang Bapak inginkan?” tanya Andin. Pak Ishaq mengusap ke atas layar ponselnya dan memperlihatkan kembali pada Andin, “Coba kamu baca bagian ini,” Pak Ishaq menunjuk salah satu paragraf dengan jari telunjuknya.  (5/9) Sidang pidana atas nama Anggi Hanifah ditunda karena terdakwa mengalami gangguan kesehatan secara tiba-tiba. Terdakwa yang merupakan alumni SMA Melati Jaya ini, ditangkap atas kasus pembuangan bayi. Sampai saat ini, pihak kepolisian masih belum menjatuhkan hukuman kepada terdakwa karena belum ada bukti kuat. Pihak kepolisian masih terus mengusut kasus ini hingga ditemukan siapa pelaku sesungguhnya. “Lalu? Saya merasa tidak ada yang salah dengan tulisan saya, Pak,” ucap Andin setelah membaca habis bagian itu. “Mengapa kamu mencantumkan SMA Melati Jaya di tulisan ini?” tanya Pak Ishaq. “Memangnya kenapa, Pak? Tidak ada yang salah,” balas Andin. “Secara tidak langsung, kamu menyebutkan kalau jebolan dari SMA Melati Jaya itu berpotensi melakukan tindak kriminal,” ujar Pak Ishaq. “Kenapa begitu? Ya tidak semuanya begitu dong Pak,” “Karena kamu menunjukkan kalau pelaku pembuangan bayi itu alumni SMA ini. Sekolah ini menjadi perbincangan orang-orang yang dianggap tidak mampu mendidik muridnya,” Pak Ishaq membeberkan apa yang terjadi belakangan ini. “Kalau begitu jangan salahkan orang yang menulisnya, Pak. Orang-orang saja tuh yang gak pintar analisa tulisan, logikanya b****k. Saya disini hanya menulis alumni, tidak ada kata-kata saya menjelekkan nama sekolah,” beber Andin. “Tidak layak kamu mencantumkan SMA Melati Jaya di tulisanmu. Kalau pihak kami tidak terima, kamu bisa kami tuntut!” ancam Pak Ishaq dengan nada sedikit meninggi. “Baik, Pak, cukup. Apa yang Bapak inginkan sekarang?” Bu Ranti menengahi, menanyakan permintaan Pak Ishaq. “Saya ingin tulisan itu di hapus!” ungkap Pak Ishaq. “Hanya karena menaruh kata SMA Melati Jaya? Padahal data itu bukan bohongan. Itu nyata, Pak!” sanggah Andin. “Mana buktinya? Kamu tidak punya buktinya kan?” Pak Ishaq menyodorkan tangannya. Andin terdiam untuk beberapa saat. Andin teringat ketika Bu Della mengeluarkan foto perempuan berambut sebahu dari dalam dompetnya. Saat itu, Bu Della menanyakan pada Andin, “kamu ingat perempuan ini kan.” “Mana?” tagih Pak Ishaq. “Hmmm,” Andin tak mampu menjawab karena bukti itu ada di Bu Della. Andin menggelengkan kepala dan menunduk. Dalam hati, Andin bergumam, “Sialan! Bisa-bisa aku kalah, mati kutu!” “Selamat pagi, Pak Ishaq! Buktinya ada di saya,” terdengar suara perempuan dari balik pintu. Spontan Andin mencari asal suara itu, yang dirasanya sangat familiar. “Bu Della!” Andin menyeringai. “Anggi Hanifah adalah alumni SMA Melati Jaya yang sudah lulus dua tahun lalu. Saya menyimpan seluruh data alumni, bahkan yang lulus 10 tahun lalu pun ada,” Bu Della menyerahkan dokumen dalam map cokelat pada Pak Ishaq. “Dari mana Bu Della mendapatkan data ini?” tanya Pak Ishaq, sambil membaca isi dokumen tersebut. “Saya sudah bekerja di sekolah ini selama 15 tahun lamanya, sebelum menjadi guru Biologi, saya menjadi tenaga Tata Usaha. Pastinya saya mempunyai data murid yang sudah lulus,” jelas Bu Della. Pak Ishaq terdiam, ia menaruh kembali dokumen ke dalam map cokelat. “Saya sudah paham, terima kasih,” dokumen itu diserahkan kembali pada Bu Della. “Apa yang ditulis Andin adalah kebenaran, Pak. Tidak masalah Andin ingin mencantumkan siapa saja di dalam tulisannya, asal itu fakta. Sebagai lembaga pendidikan, kita jangan serta merta merasa terancam jika identitas itu menyangkut lembaga kita sendiri,” ungkap Bu Della. “Perihal komentar pembaca, itu menjadi urusan dan pendapatnya sendiri. Saya hanya ingin menyampaikan informasi yang benar,” sambung Andin. Pak Ishaq mendengarkan kedua penjelasan itu. Pak Ishaq mengangguk-anggukkan kepalanya dan berbicara, “ada benarnya juga. Tidak semua komentar orang-orang kita anggap masalah besar,” “Tujuan saya menulis itu, saya berharap civitas akademik SMA Melati Jaya bisa membantu memecahkan kasus ini. Disisi lain, sebagai bentuk perhatian dari sekolah bahwa ketika murid sudah lulus, tanggungjawab sekolah tidak terkesan sepenuhnya hilang,”  terang Andin. “Dan juga, memberi gambaran bahwa SMA Melati Jaya ini sangat peduli terhadap kasus di sekitar sekolah. SMA Melati Jaya mampu membantu memecahkan kasus sampai tuntas. Itu menjadikan nilai plus untuk sekolah kita,” ungkap Bu Della. “Saya sudah menangkap maksud dari tulisan itu. Saya meminta maaf kepada Andin karena sudah berprasangka buruk. Sekarang saya paham apa yang kamu lakukan ialah bentuk perhatian kamu terhadap kasus sekitar.” Pak Ishaq melemparkan senyum kepada Bu Ranti dan Andin. “Terima kasih sudah memberikan pandangan yang berbeda, Bu Della,” Pak Ishaq tersenyum lagi pada Bu Della. “Kasus itu benar-benar harus diusut, saya tidak ingin ada lagi kejadian seperti ini,” pinta Andin. “Tapi kok kenapa tidak ada media lain yang menulis kasus ini, ya?” tanya Pak Ishaq memegang dagunya. “Karena tidak ada bagian peristiwa yang bisa dibuat clickbait, ups!” celetuk Andin. Bu Della, Pak Ishaq dan Bu Ranti tertawa mendengar perkataan Andin. “Betul sekali!” Bu Della menyodorkan jempol untuk Andin. “Baik, sekali lagi terima kasih atas klarifikasinya. Maaf sudah mengganggu waktunya, sekarang sudah boleh meninggalkan ruangan saya,” Pak Ishaq mempersilahkan Bu Della, Bu Ranti dan Andin untuk meninggalkan ruangannya. *** “Iya benar, saya Ardella Angkara, ini siapa?” Bu Della mengangkat ponselnya yang sedari tadi berdering. “Saya Yuyun, dokter dari Rumah Sakit Jiwa Seraya, apakah Ibu saudara dari Anggi Hanifah?” “Bukan. Tapi saya guru Anggi waktu dia SMA. Ada apa ya, Bu Yuyun?” tanya Bu Della. “Sedari tadi Anggi memanggil nama Ibu, kami dapat kontak Ibu dari pihak kepolisian. Apakah Ibu bisa ke rumah sakit jiwa sekarang?” jawab Bu Yuyun, dokter Rumah Sakit Jiwa Seraya. “Saya masih mengajar, jam 14.00 WIB saya selesai mengajar. Bagaimana, Bu?” “Baik, jam 14.00 WIB saya tunggu kedatangannya. Ada hal penting yang harus saya sampaikan pada Bu Della. Terima kasih,” Bu Yuyun langsung menutup telponnya. “Hmm, ada apa ya?” batin Bu Della, perasaannya diselimuti rasa penasaran.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN