Bab 12: Impian Arkarna 2

2006 Kata
# “Mama.” Itu suara Kirana. Dan Laras mengenal dengan jelas suara itu. “Kirana!” teriak Laras dengan putus asa. Dia seakan berada di tempat yang sangat luas namun tanpa ada seorang pun disana. “Mama.” Suara Kirana kembali terdengar. Laras masih mencari, dan saat dia berpaling dilihatnya seorang gadis tengah berdiri membelakanginya. Bahkan tanpa harus melihat wajah gadis itu sekalipun, Laras tahu kalau itu adalah putrinya. “Kirana,” panggilnya dengan suara yang gemetar. Betapa dia merindukan putrinya itu. Dengan tergesa-gesa, Laras menghampiri gadis itu dan meraih bahunya. “Kirana, ini Mama,” ucap Laras lagi. Gadis itu berbalik, namun kemudian dia menghilang. Anehnya, kini yang berdiri di hadapan Laras adalah Arkarna dewasa yang berlutut di depannya dengan kepala berlubang dan tiba-tiba saja di tangan Laras sudah ada senjata yang dulu pernah dia gunakan untuk menghabisi pemuda itu. “Tante, ingin aku mati?” tanya Arkarna. Kedua mata Laras berkaca-kaca. Dia menatap sorot mata gelap Arkarna yang kali ini terlihat kosong. Tepat sebelum dia menarik pelatuk senjatanya. Sosok Arkarna dewasa memudar dan berganti dengan Arkarna kecil yang tidak memiliki luka di kepalanya. “Tante, ingin aku mati?” tanya Arkarna kecil. Kedua mata Laras semakin berkaca-kaca. Memang itu yang seharusnya dia lakukan bukan? Dia ingin Arkarna di masa ini mati sebelum mampu melakukan semua kejahatannya saat anak itu tumbuh dewasa nanti. Tidak masalah meskipun Kirana tidak hidup di masa ini. Dia hanya ingin Arkarna di masa ini tidak menyakiti siapa pun lagi. Dia tidak ingin ada orang lain yang menderita karena perbuatan Arkarna, sama seperti yang pernah terjadi pada Kirana, putrinya di masa yang berbeda. Saat itu seseorang memeluknya dari belakang. “Mama.” Itu adalah suara Kirana. Laras mengenali tangan putrinya. “Aku ingin Mama bahagia,” ucap Kirana. Dia meraih senjata di tangan Laras dan melepaskannya. Senjata itu menghilang bagai asap. Laras meraih tangan Kirana yang kini melingkar di perutnya. “Aku memilih hal yang salah seperti Oma dan itu membuat Mama menderita, maafkan aku,” ucap Kirana dengan berbisik di telinga Laras. Laras mulai menangis. Dia berbalik dan akhirnya kini dia bisa kembali melihat wajah cantik putrinya yang sangat dia rindukan. “Ya Tuhan Kirana. Mama sangat merindukanmu,” ucap Laras. Dia kembali memeluk tubuh Laras. Saat yang sama, jemari kecil Arkarna meraih ujung bajunya. Laras melirik anak itu. “Tante,” panggil Karna. Bersamaan dengan itu perlahan sosok Kirana memudar dan Laras merasakan kalau tempatnya berpijak perlahan hancur dan dirinya terjatuh begitu saja. * “Non Laras?” Laras bisa mendengar panggilan Bik Darmi. Perlahan dia membuka matanya dan melihat wanita paruh baya itu menyodorkan segelas air kepadanya. “Mimpi buruk lagi?” tanya Bik Darmi. Laras mengangguk lemah. Dia ingat langsung tertidur begitu tiba di rumah karena merasa kelelahan. Meski begitu, ini adalah mimpi yang baru pertama kali dialaminya. Kirana tidak pernah muncul dalam mimpinya dengan cara seperti itu, terlebih juga bersamaan dengan Arkarna. Terkadang Laras merasa kalau dirinya mungkin akan segera kehilangan kewarasannya karena menanggung dua garis hidup yang berbeda sekaligus. Kehidupannya di masa lalu dan kehidupannya yang sekarang. “Obatnya,” pinta Laras. Bik Darmi mengeluarkan sebuah wadah dari dalam sakunya dan mengambil satu butir obat. Namun Laras menahan tangan wanita paruh baya itu. “Berikan aku tiga butir. Aku membutuhkannya,” ucap Laras. Akan tetapi pintu kamar Laras mendadak terbuka dan Tuan Bamantara mendadak melangkah masuk ke dalam kamar sambil menatap Laras dengan sorot tegas. “Kalau kau tidak mampu mempertahankan kondisi mentalmu tanpa obat, maka kau tidak perlu berangkat ke luar negeri hari ini. Biar Kakek yang pergi langsung untuk mengurus semuanya. Kau boleh mengambil istirahat di rumah,” ucap Tuan Bamantara. “Kakek berlebihan. Aku tidak akan kecanduan obat penenang yang hanya beberapa butir,” ucap Laras. “Obat penenang untuk menenangkan dan saat mengonsumsinya, kau tidak dianjurkan untuk bekerja tapi beristirahat,” ucap Tuan Bamantara. Laras menarik napas panjang dan dengan sedikit kesal langsung menelan satu butir obat yang sebelumnya diberikan oleh Bik Darmi. “Aku tidak butuh istirahat,” ucap Laras. Dia mengubah posisinya menjadi duduk di samping tempat tidur dan merasa sedikit pusing hingga dia tidak langsung berdiri. Tuan Bamantara menarik napas panjang melihat betapa keras kepala cucunya itu. “Kau bisa mengirim Kenny untuk menggantikanmu.” Nada suara Tuan Bamantara terdengar khawatir. Cucunya bekerja sangat keras, terlepas dari usianya yang masih muda. Hal ini mengingatkannya pada dirinya sendiri. Di masa lalu, dia bekerja keras dan mencurahkan semua perhatiannya pada pekerjaan untuk melarikan diri dari rasa kehilangan istrinya. Hal yang sama berulang saat dia kehilangan putrinya juga. Jadi bagaimana mungkin dia tidak tahu apa yang saat ini dilakukan oleh cucunya, kurang lebih mirip dengan yang dia lakukan dulu? Bekerja sekeras mungkin hingga tidak memiliki waktu untuk merasakan sakit. Hanya saja, Tuan Bamantara tidak bisa memahami rasa kehilangan dan rasa sakit seperti apa yang diderita oleh cucunya itu. Dia tahu kalau Laras memang memiliki rasa benci dan dendam pada keluarga Erlangga, tapi lebih dari itu, Laras tidak memiliki alasan untuk merasa sangat sedih hingga di tahap merasa sangat kehilangan. Terlebih lagi, sosok Kirana yang selalu di gumamkan Laras saat serangan penyakitnya datang adalah orang yang tidak diketahui oleh siapa pun. Bahkan meski dia berusaha keras menggali kehidupan Laras selama di kediaman keluarga Erlangga, dia tidak pernah bisa menemukan siapa Kirana yang sepertinya menjadi alasan Laras merasa sangat bersedih dan terpukul seperti sekarang. Laras mengusap wajahnya perlahan. Dia melirik cermin dan mengerti kenapa Kakeknya saat ini terlihat khawatir kepadanya. Dia pucat seperti mayat hidup. “Aku hanya kelelahan Kek. Aku janji akan berusaha menjaga staminaku selama di luar negeri,” ucap Laras. Kemarin dia akhirnya berhasil membujuk Arkarna untuk menerima bantuannya dan tidak kembali pada kehidupan menyedihkan bersama ayah tiri anak itu. Tapi di sisi lain, dia juga merasa seakan sudah mengkhianati putrinya sendiri. Secara logika, Arkarna akan lebih mudah ditangani kalau dia bisa mengamati langsung dan melihat bagaimana anak itu tumbuh. Namun di sisi lain, dia juga merasakan penolakan dan kebencian yang besar pada sosok Arkarna. Bukan Arkarna yang sekarang, tapi Arkarna yang seharusnya dia singkirkan di masa depan. Hal ini membuat pertentangan di alam bawah sadarnya dan Laras berusaha keras mendamaikan dua sisi yang saling bertolak belakang di dalam dirinya sendiri. “Kakek tidak perlu terlalu khawatir. Ini bahkan bukan perjalanan bisnis pertamaku ke luar negeri. Lagi pula, ada Bik Darmi bersamaku,” ucap Laras. Dia tahu Kakeknya cemas dengan kondisinya, namun perjalanan bisnisnya kali ini bukan sesuatu yang bisa ditunda. Ini sangat penting untuk perusahaan dan juga untuk dirinya sendiri. Setidaknya dia butuh waktu untuk meluruskan pikirannya setelah pertemuan terakhirnya dengan Arkarna di Rumah Sakit. Dia merasa hatinya melemah dan penilaiannya menjadi bias hanya karena Arkarna yang sekarang ditemuinya masih seorang anak kecil yang berbeda dengan Arkarna yang dia ingat dari kehidupannya sebelumnya. Tuan Bamantara diam sejenak sambil menarik napas panjang beberapa kali. “Ada yang mengganggumu? Kau sudah terlihat cukup stabil sebelumnya tapi kau mendadak bermimpi buruk lagi dan tiba-tiba kau meminta dosis obat lebih dari biasanya. Kau tahu itu tidak boleh. Laras menggigit bibirnya pelan menyadari kesalahan yang sudah diperbuatnya. Dia lalu mendekat dan memeluk Kakeknya. “Aku selalu bermimpi buruk. Kali ini hanya sedikit lebih buruk dari biasanya. Jangan khawatir Kek,” ucap Laras. Sosok teguh Tuan Bamantara jadi melembut dengan sikap Laras sekarang. Cucu satu-satunya yang selalu mengingatkannya pada sosok almarhum putrinya yang sudah lama meninggalkan dunia ini. Perlahan tangan keriput Tuan Bamantara menyentuh puncak kepala Laras dan mengusapnya pelan. “Baiklah,” ucapnya. Sekali lagi, meski dengan kekhawatiran yang sulit untuk dikendalikannya, dia tidak bisa menolak permintaan dan sikap keras kepala Laras. # Pram menatap Arkarna yang sekarang sudah mulai membuka dirinya. Anak itu tidak berontak saat perawat memeriksa lukanya, mau meminum obatnya dengan sukarela dan juga kembali makan seperti biasanya. Disisi lain, Pram masih tidak bisa menyingkirkan berbagai pertanyaan yang muncul di otaknya terkait hubungan antara anak kecil malang bernama Arkarna dengan Laras. Meski dia tahu kalau dirinya tidak pantas untuk merasa penasaran dengan posisinya sekarang, tetap saja sebagai mantan penyidik yang selama bertahun-tahun dihadapkan dengan banyak kasus, dia tidak mampu membendung rasa penasarannya. Terlebih setelah kemarin dia mendapati bagaimana Arkarna yang tertidur dalam pelukan Laras dan bagaimana majikannya itu tampak memiliki perasaan yang rumit dalam ekspresi wajahnya. Laras adalah seorang yang jarang menunjukkan ekspresi wajah seperti yang dia lihat kemarin. Ekspresi simpati, sedih namun juga kebingungan dan penolakan. Bagaimana seorang anak kecil bisa membuat majikannya yang selalu terlihat teguh dan dingin itu menunjukkan reaksi seperti itu? “Apa aku bisa bertemu Tante Laras lagi kalau aku bersikap baik? Kapan Tante datang?” Pram sedikit tersentak dari lamunannya mendengar pertanyaan Arkarna. Anak itu menunjukkan keterikatan dan bahkan mungkin ketergantungan pada sosok Laras yang baru ditemuinya beberapa kali. Sejak masuk ke RS, semua dokter dan para perawat yang berusaha memberi Arkarna perhatian setelah mengetahui latar belakangnya, bahkan Pram sendiri berusaha keras untuk membuka hati Arkarna sebelumnya, namun tidak ada yang berhasil. Hanya Laras yang baru beberapa kali ditemui oleh Arkarna yang bisa menyentuh hati anak itu. Pram lalu menatap Arkarna lekat-lekat. “Nona bukan seorang yang bisa datang kesini setiap hari. Aku akan bertanya nanti,” ucap Pram. Arkarna menunduk sejenak. Wajahnya terlihat sedikit kecewa namun anak itu berusaha untuk tersenyum. “Aku paham. Tante Laras sudah berjanji, jadi aku akan menunggu,” ucap Arkarna. Pram diam sejenak sebelum akhirnya kembali fokus pada Arkarna. “Kau sesuka itu pada Nona?” tanya Pram. Arkarna mengangguk pelan. “Tante Laras mirip Mama. Aku hanya merindukannya,” ucap Arkarna. Dia bukan anak yang cengeng namun kerinduannya pada Ibunya membuat matanya kembali basah oleh air mata. Dia bertahan sangat lama hanya untuk menunggu ibunya kembali meski dia tahu kalau itu tidak mungkin. Dia hidup dengan mengingkari kenyataan kalau ibunya sudah tidak ada lagi di dunia ini. Laras adalah orang yang memaksanya untuk menerima kenyataan itu, namun Laras juga datang dengan satu-satunya hal yang memberi tujuan baru pada Arkarna kecil. Setidaknya, dia bisa mendengar suara ibunya lagi. Tidak peduli meski itu sebenarnya adalah suara orang lain. Pram kembali terdiam. Dirinya adalah orang yang menyelidiki tentang latar belakang Arkarna dan dia tahu seperti apa wajah ibu kandung Arkarna. Tidak ada sedikit pun secara fisik antara ibu kandung Arkarna dan Nonanya. Dia tidak tahu bagaimana bisa Arkarna melihat sosok ibu kandungnya di dalam diri sang Nona dibandingkan dengan semua perawat yang bersikap lembut dan penuh kasih pada anak itu. Meski begitu, Pram tidak bertanya lebih lanjut. Dia paham kalau terkadang anak-anak bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang dewasa. Sama seperti bagaimana Arkarna begitu bersikeras kembali pada ayah tiri yang selama ini memperlakukan dirinya dengan buruk, Pram juga tidak paham bagaimana Arkarna bisa terikat pada Nonanya dengan alasan kemiripan yang menurut Pram tidak ada. “Dengar Nak. Nona bukan tipe orang yang akan memberi perhatian padamu layaknya seorang ibu. Om mengatakan ini agar kau tidak memiliki harapan yang terlalu tinggi. Nona bukan orang sembarangan yang bisa kau anggap sebagai orang tuamu meskipun suatu saat Nona memutuskan untuk membawamu pulang ke bersamanya. Nona adalah orang yang aku layani dengan hati-hati dan hal yang sama akan berlaku untukmu,” ucap Pram. Pram mengatakan itu karena dia tahu, tawaran Laras pada Arkarna bukanlah tawaran baik hati untuk menjadikan Arkarna layaknya anak angkat meski anak itu mengharapkan pengganti sosok ibunya dalam diri Laras. Nonanya itu hanya ingin mengawasi Arkarna secara langsung dan Pram tidak tahu alasan sebenarnya di balik tindakan itu. Setidaknya perintah yang diterimanya hingga detik ini adalah menyingkirkan Arkarna saat dia beranjak dewasa nanti dan menunjukkan penyimpangan perilaku. Arkarna tersenyum tipis. Dia tidak sepenuhnya mengerti maksud dari ucapan Pram. Namun satu yang dia tahu. Dirinya hanya perlu bersikap baik, maka Laras yang memiliki suara serupa ibunya itu tidak akan membuangnya. “Aku akan bersikap baik,” ucap Arkarna. Pram menarik napas panjang. Dia tidak memiliki firasat yang baik dengan keputusan Nonanya untuk membawa Arkarna sepulangnya dari RS nanti. Meski begitu, dirinya tidak dalam posisi untuk membuat penilaian maupun penawaran pada Laras. Dirinya hanya bayangan yang berada di bawah perintah Laras Bamantara dan kesetiaannya adalah untuk Laras, melebihi dari rasa empatinya kepada apa pun atau siapa pun, termasuk pada Arkarna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN