Bab 11: Impian Arkarna 1

2234 Kata
# Laras buru-buru menghapus air matanya saat mendengar ketukan di pintu kamarnya disusul dengan suara lembut Kirana dari balik pintu. “Mama?” Wajah Kirana menyembul dari balik pintu. Dia masih mengenakan seragam sekolah berwarna putih abu-abu. “Boleh aku masuk?” pinta Kirana dengan hati-hati. Laras mengangguk pelan. Terlalu terlambat baginya untuk menyembunyikan air mata di hadapan putri cantiknya itu. Kirana melangkah masuk dan memeluk tubuh ibunya ─Laras. “Aku sedang mentransfer semua energi yang kumiliki untuk Mama. Di sekolah guru memujiku karena mendapat nilai yang bagus dalam ujian dan aku bahagia. Aku ingin memberikan kebahagiaanku untuk Mama,” ucap Kirana separuh berbisik di telinga Laras. Sebuab senyuman tipis tersungging di bibir Laras. “Terima kasih. Mama sudah merasa lebih baik,” ucap Laras. Kirana menarik wajahnya dan mengamati wajah ibunya selama beberapa saat. “Mama menangis lagi karena Papa?” tanya Kirana. Saat itu Laras sama sekali tidak menyangka kalau Kirana sendiri sudah tahu tentang perselingkuhan Arsen. Kirana adalah seorang anak yang sangat tenang sejak kecil. Dia tidak pernah banyak mengeluh seperti anak-anak yang lainnya dan bahkan dia tidak pernah menangis meskipun Arsen mengabaikannya saat dia meminta sesuatu. Di mata Laras, Kirana adalah anak yang sangat tegar meskipun dia tumbuh dengan pengertian kalau kehadirannya bahkan tidak terlalu di harapkan oleh Arsen, ayah kandung Laras sendiri. Karena itu Laras selalu berusaha sekuat tenaga untuk menutupi semua hal buruk yang di lakukan Arsen di hadapan Laras. Biarlah dia sendiri yang menanggung luka atas pengkhianatan Arsen. Dia tidak ingin Kirana yang adalah satu-satunya putri mereka ikut mengetahui semua hal menyakitkan itu. “Mama hanya sedang sedih memikirkan hal lain.” Laras mengelak. Kirana meraih jemari ibunya. “Mama, ini seandainya ...” Kirana lalu menunduk selama beberapa saat dengan ekspresi sedikit ragu. “Apa?” tanya Laras pada putrinya itu. Kirana akhirnya mengangkat wajahnya dan menatap Laras dengan tatapan dalam. Terlampau dalam hingga untuk sesaat Laras merasa seakan dia melihat sesuatu yang sangat pekat dalam iris mata Kirana. “Seandainya saja aku tidak pernah terlahir ke dunia ini, apa Mama bisa hidup dengan lebih bahagia?” tanya Kirana. Laras terdiam. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Kirana akan melontarkan pertanyaan seperti itu. “Kau adalah kebahagiaan Mama! Bagaimana bisa kau mengharapkan Mama akan berbahagia tanpa kehadiranmu?!” Nada suara Laras sedikit meninggi. Dia tidak pernah menyangka kalau Kirana akan bisa memikirkan hal seperti itu. “Mama juga adalah kebahagiaanku. Aku sayang Mama. Jangan marah ya,” ucap Kirana dengan suara manja. “Jangan pernah menanyakan hal seperti itu lagi. Paham?” balas Laras. Bagaimana mungkin dia bisa terus marah dengan sikap Kirana yang seperti itu. “Iya. Aku paham. Jangan sedih Mama. Aku hanya ingin Mama bahagia,” ucap Kirana lagi. Dia kini berbaring di atas tempat tidur dengan kepalanya di pangkuan Laras. “Mama, suatu hari nanti. Ayo kita tinggalkan rumah ini dan hidup bahagia berdua saja. Hanya aku dan Mama. Kita akan jalan-jalan yang banyak dan juga menikmati makanan enak bersama-sama. Papa tidak akan bisa membuat Mama menangis lagi,” ucap Kirana. Laras merasa getir mendengar ucapan Kirana. “Jangan membenci Papamu,” ucap Laras. Dia tidak ingin Kirana membenci Arsen karena bagaimanapun juga, Arsen adalah ayah kandung Kirana. Terlepas dari bagaimana Arsen memperlakukan Laras dengan tidak adil sebagai istri pria itu dan hanya sibuk dengan simpanannya, tapi Laras masih berharap kalau suatu hari kelak Arsen akan sadar kalau Kirana adalah anaknya juga. Kirana hanya tersenyum sebagaimana biasanya. “Kalau itu yang Mama inginkan,” ucap Kirana. * Laras membuka matanya perlahan saat mendengar suara Pram yang memanggil namanya. Dia memimpikan Kirana lagi dan berbeda dari biasanya, kali ini dia memimpikan saat-saat menyenangkan bersama Kirana. Dibandingkan dengan mimpi, Laras sebenarnya menyadari kalau itu adalah ingatan masa lalu dari kehidupannya yang sebelum. Kehidupan sebelum dia mengulang waktu ke masa lalu yang sekarang sedang dia jalani. “Sayang sekali,” gumam Kirana. Sayang sekali di kehidupannya yang sekarang dia tidak akan pernah melihat senyuman manis Kirana maupun suara lembut gadis itu yang memberinya penghiburan. Bagaimanapun dia tahu kalau yang terbaik untuk Kirana adalah tidak terlibat dalam kehidupan malang yang akan dia jalani sekarang. Karena hidupnya saat ini hanya untuk balas dendam. Tidak kurang, tidak lebih. “Nona tidak apa-apa? Apa Anda kelelahan?” tanya Pram saat melihat ekspresi aneh di wajah Laras. Laras menggeleng pelan. “Apa kita sudah sampai?” tanyanya. Dia mengalihkan pandangannya ke sekeliling dan akhirnya menyadari kalau mereka sudah tiba di Rumah Sakit tempat Arkarna di rawat. “Iya Nona,” jawab Pram. Sejujurnya, mereka sudah tiba sekitar lima belas menit yang lalu namun dia tidak bisa membangunkan Laras yang tampak seperti sedang tertidur nyenyak sehingga dia memutuskan untuk membiarkan Laras bangun dengan sendirinya. Laras mengecek jam tangannya. Dia langsung pergi bersama dengan Pram setelah makan malamnya yang sia-sia dengan Yudha. Alisnya berkerut saat menyadari kalau dia tertidur cukup lama dan Pram membiarkan tanpa membangunkan dirinya sama sekali. “Lain kali, bangunkan aku begitu tiba di tujuan,” ucap Laras. Pram mengangguk pelan. “Maafkan saya. Nona tampak sangat kelelahan dan saya ─” “Merasa kasihan kepadaku?” potong Laras sebelum Pram berhasil menyelesaikan kalimatnya. Pram kembali terdiam. Laras menarik napas panjang. Dia tidak mungkin mengomeli Pram lebih dari ini karena bukan kesalahan Pram kalau dia tertidur di mobil. “Bukan tempatmu untuk merasa kasihan kepadaku. Ingat itu Pram,” ucap Laras lagi. “Baik Nona, maafkan saya,” ucap Pram. Dia bahkan tidak berani menatap Laras saat ini. Bagi Pram, Laras adalah atasan, tuan dan juga malaikat penolongnya meski usia Laras sendiri berada jauh di bawahnya. Pram memuja dan menghormati Laras tanpa syarat. Jadi dia jelas menyesali karena telah menunjukkan sikap yang tidak seharusnya dia tunjukkan saat ini dan membuat Laras terlihat kesal karenanya. Laras bersiap untuk turun dan Pram dengan sigap membukakan pintu mobil untuk nonanya itu. Keduanya kemudian langsung melangkah menuju ruangan tempat Arkarna di rawat. Bahkan dari kejauhan, mereka sudah bisa mendengar kehebohan yang terjadi akibat ulah Arkarna. “Saya harap Nona tidak memutuskan untuk menuruti keinginan anak itu dan mengembalikannya pada ayah tirinya. Bagaimanapun pasti ada alasan kenapa anak sekecil itu masih ingin bertahan di sisi seorang ayah yang sudah memperlakukannya dengan begitu buruk,” ucap Pram. Laras tampak seakan tidak menanggapi ucapan Pram. Dia melangkah dengan mengabaikan kata-kata Pram hingga akhirnya tiba di ruangan tempat Arkarna berada. “Aku tidak mau ke panti asuhan! Aku punya Papa! Aku bukan anak yatim piatu!” Arkarna berteriak dan menangis. Pram menatap Laras dengan pandangan penuh harap. Namun Laras masih tidak menghiraukannya dan mendorong pintu ruangan itu hingga terbuka. Beberapa orang yang ditugaskan untuk menjaga tempat itu kini terlihat sedang menahan Arkarna sementara seorang perawat tampak berusaha menenangkannya. Kehadiran Laras tidak hanya membuat semua orang terdiam, tapi Arkarna secara ajaib berhenti berontak dan sekarang menatap ke arah Laras. “Lepaskan dia,” perintah Laras. Arkarna menatap Laras. Wanita yang sama dengan yang dilihatnya sebelum pingsan. Wanita yang sempat dia kira sebagai ibunya karena suaranya yang sangat mirip. Meski dia sudah lama tidak melihat dan mendengar suara ibunya, namun dia masih mengingat suaranya dan entah kenapa wanita di depannya ini memiliki suara yang mirip. Suara yang sangat dia rindukan. “Nona, anak ini mungkin berontak hingga membuat Nona terluka atau kesulitan,” ucap salah seorang penjaga. Laras menatap Arkarna lurus. “Apa kau akan membuatku kesulitan atau mungkin terluka karena sikapmu Karna?” tanya Laras. Karna tidak bisa melepaskan pandangannya dari Laras. Suara dan cara Laras memanggilnya benar-benar sama dengan ibunya. Namun dia tidaklah terlalu kecil hingga tidak tahu kalau wanita yang dipanggil semua orang dengan sebutan Nona itu bukanlah ibunya. Dia tidak sebodoh itu untuk tidak menyadarinya. “Aku bertanya kepadamu,” ucap Laras mempertegas pertanyaan yang dia lontarkan sebelumnya. Arkarna menggigit bibirnya kuat. Dia tahu wanita itu bukan ibunya. Dia tahu itu dengan jelas. Tapi rasa rindu di hatinya, perasaannya yang selama ini dia tahan terasa sangat menyesakkan. Pada akhirnya Arkarna hanya bisa berdiri dalam diam sambil menunduk dan menggelengkan kepalanya. Orang-orang yang memeganginya perlahan melepaskannya dan Arkarna terlalu takut untuk sekedar mengangkat wajahnya dan menatap wanita di depannya itu. “Tinggalkan kami dan berjagalah di luar. Aku ingin bicara dengan anak ini,” perintah Laras lagi. “Tapi Nona ...” Pram ingin melarang. Bagaimanapun dia tidak bisa membiarkan Nonanya sendirian dengan Arkarna yang selalu bersikap liar dan tidak terkendali, bahkan meski diri memiliki rasa simpati yang dalam pada Arkarna. “Aku tidak selemah itu sampai-sampai tidak bisa mengatasi anak kecil,” potong Laras. Pram dan yang lainnya tidak punya pilihan selain mengikuti keinginan Laras. Dalam sesaat, ruangan yang dimaksudkan sebagai ruang rawat pasien khusus itu kini kembali sepi. Laras mengamati kondisi Arkarna yang sekarang sudah jauh lebih baik meski ada beberapa luka di tubuhnya yang masih tampak belum benar-benar sembuh. “Duduklah Karna,” perintah Laras kini. Dengan patuh, Arkarna naik ke atas tempat tidur dan duduk diam di sana. Dia masih menunduk. Laras menarik napas panjang. “Sebelum kita memulai, aku akan memperkenalkan diri. Namaku Larasati Bamantara. Aku adalah orang yang membawamu ke mari, membayar biaya perawatanmu dan memberimu makan. Singkatnya, aku adalah penolongmu,” ucap Laras datar. Dia tahu kalau Arkarna di depannya hanyalah seorang anak kecil, namun dalam dua tahun ke depan nanti, anak ini akan mulai turun ke jalanan dan menjadi anggota gerombolan pencuri lihai. Di kehidupan Laras sebelumnya, Arkarna Naratama adalah seorang yang mampu menguasai dengan baik semua seluk beluk tentang Grup Naratama yang akan dia warisi hanya dalam waktu beberapa bulan sehingga membuat Tuan besar Naratama terkesima. Jadi Laras tahu, bahkan di usia semuda ini, Arkarna akan bisa memahami dengan jelas apa yang dia sampaikan. “Te─ Terima kasih,” ucap Arkarna dengan terbata-bata. “Aku tidak akan mengizinkanmu kembali kepada ayahmu karena dia bukan ayahmu dan orang yang kau tunggu, tidak akan pernah kembali ke sisi ayahmu itu. Kau melihat dengan mata kepalamu sendiri kalau Mamamu sudah meninggal,” ucap Laras. Dia sama sekali tidak menunjukkan empati saat menyampaikan hal itu. Meski begitu, sosok kecil Arkarna yang kini tampak begitu malang di hadapannya bukannya tidak memberinya perasaan kasihan. Jauh di sudut hati Laras, dia mulai mengakui kalau bahkan seorang penjahat gila dan kejam seperti Arkarna, pernah memiliki masa ketika dia masih seorang anak kecil yang lugu dan tidak bersalah. Di sisi lain, air mata kini menggenang di kedua kelopak mata Arkarna. “Tante Laras, Mama bilang, aku tidak boleh ke panti asuhan. Kalau aku ke panti asuhan dan di adopsi orang lain, aku akan menjadi orang lain dan Mama tidak akan bisa menemukanku,” ucap Arkarna dengan nada suara bergetar. Dia menggigit bibirnya kuat-kuat begitu selesai bicara. Laras diam untuk sejenak. Dia tahu tujuan ibu kandung Arkarna meninggalkan pesan seperti itu pada anak itu. Sesungguhnya, bahkan setelah kematiannya, ibu kandung Arkarna menyesali kepergiannya dari rumah keluarga Naratama. Di satu sisi, dia ingin kembali kepada keluarga Naratama, namun di sisi lain dia merasa kalau dirinya sudah tidak layak lagi menyandang status sebagai Nona keluarga Naratama, terlebih dengan kehadiran Arkarna. Wanita yang sudah melahirkan Arkarna itu berharap kalau suatu hari, meski bukan dirinya, namun Arkarna akan bisa diakui sebagai anggota keluarga Naratama. Jika Arkarna di adopsi saat di panti asuhan, maka kemungkinan keluarga Naratama untuk menyadari dan menemukan Arkarna akan semakin kecil. Jadi Arkarna memang sengaja di dikte oleh ibunya sendiri untuk tetap bertahan di sisi ayah tirinya dengan harapan kalau suatu hari keluarga Naratama akan menemukan jejak keberadaannya dan mengakui Arkarna. Di kehidupan Laras sebelumnya, hal itu memang benar terjadi. Sayangnya Tuan Besar Naratama baru mulai benar-benar mencari Arkarna, jauh setelah dia mampu mengatasi kesedihannya akibat kecelakaan yang menyebabkan Yudha Naratama meninggal. Dan sayangnya saat itu Arkarna Naratama sudah terlanjur tumbuh sebagai seorang penjahat gila yang tidak bisa di luruskan lagi. “Karna, kau melihat saat ibumu di makamkan,” ucap Laras. Anak ini mungkin belum menjadi Arkarna yang dia kenal di masa lalu, namun bahkan di usia ini Arkarna sudah menunjukkan kalau dia memang keras kepala. “Meski begitu! Mama berjanji akan kembali kepadaku. Mama sudah berjanji. Aku hanya tidak boleh ke panti asuhan. Aku bukan anak yang tidak punya orang tua.” Arkarna mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke arah Laras dengan berlinang air mata. Lagi-lagi Laras mendesah pelan. Dia bangkit dari tempat duduknya semula dan kini melangkah mendekati Arkarna. Laras menatap Arkarna kecil di depannya lekat-lekat. Saat tatapan mereka bertemu, entah kenapa Laras menemukan sorot yang sama dengan Kirana di dalam cara Arkarna menatapnya. Sesuatu yang membuatnya tertegun selama beberapa saat. “Karna, kalau memang tidak ingin tinggal di panti asuhan, bagaimana kalau tinggal denganku?” tanya Laras pelan. Kedua bola mata Arkarna membulat mendengar ucapan Laras. “Karna, mau tinggal dengan Mama?” Suara ibunya kembali terngiang di kepalanya. “Bagaimana?” tanya Laras lagi. Laras mungkin tidak menyadari kalau saat ini yang dilihat oleh Arkarna bukanlah dirinya namun sosok ibunya di dalam dirinya yang entah bagaimana bisa tampak seperti itu di mata seorang anak seperti Arkarna. Karna mengucek matanya yang penuh air mata. “Tante, semua orang memanggilku Arkarna. Kenapa Tante memanggilku Karna?” tanyanya akhirnya. Laras tersenyum tipis. “Arkarna artinya terhormat, tapi Karna itu pria penyayang. Kalau digabung bukannya jadi seperti orang terhormat yang penyayang? Karena Arkarna terlalu panjang, Karna tidak terdengar buruk,” jawab Laras. Tanpa Laras sangka, Arkarna tiba-tiba malah memeluknya erat sambil menangis. “Hei?” Laras mencoba mendorong bahu mungil Arkarna. Dia terlalu kaget dengan sikap Arkarna. Namun anak itu memeluknya terlalu erat dan membenamkan kepalanya semakin dalam hingga Laras bisa merasakan hangat air mata anak itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN