Bab 9: Bukan Kebahagiaan Yang Kuinginkan 2

1491 Kata
# Arkarna duduk meringkuk sambil memegangi perutnya. Dia kelaparan karena belum diberi makan sama sekali sejak kemarin oleh ayahnya. Perlahan dia bangkit berdiri dan berjalan keluar dari kamarnya yang sebenarnya lebih mirip dengan gudang kecil kotor bekas kamar mandi yang sudah tidak terpakai lagi dibandingkan dengan kamar yang layak untuk seorang anak kecil. Di luar dilihatnya ayahnya sedang duduk dengan beberapa orang sambil memegang kartu. Ini bukan pemandangan baru baginya. “Papa, makan?” tanya Arkarna. Dia sangat kelaparan. Pria itu tidak peduli kepadanya, tapi wanita di sampingnya melirik Arkarna. “Anakmu minta makan Jal,” ujar wanita itu. Rijal kemudian mendengus kesal dan mendorong Arkarna menjauh. “Pergi sana anak sial. Kalau aku sampai kalau berarti itu karena dirimu!” hardik Rijal. Arkarna terduduk saat di dorong oleh ayah tirinya itu. Dia terlalu lemah untuk menahan dirinya sendiri. Namun dia sangat lapar saat ini. Wanita dengan dandanan menor yang duduk di samping ayahnya kemudian memberikannya uang dua ribuan. “Sana beli permen di warung, roti atau apa pun sebelum kau di pukul Papamu lagi,” ujar wanita itu. Dia sedikit merasa kasihan pada anak di depannya itu tapi untuk peduli lebih dari itu, mungkin tidak. Arkarna meraih uang dua ribuan itu dengan tangan gemetar. Perutnya semakin memberontak minta di isi sehingga dia merasa kalau untuk melangkahkan kakinya saja sudah sangat sulit untuknya, tapi dia memaksakannya. Ayahnya selalu seperti ini kalau sudah sibuk berjudi dengan teman-teman ayahnya yang selalu datang berkumpul di rumah itu hampir setiap hari. Jika tidak sedang berjudi, maka ayahnya akan sibuk minum-minum lalu memukuli dirinya seperti kemarin. Sebenarnya, beberapa waktu lalu ada orang-orang berseragam yang membawanya pergi dari ayahnya dan menempatkannya di panti asuhan. Tapi Arkarna tidak bisa tinggal di sana. Dia tidak terbiasa dengan anak-anak lainnya dan dia terlalu takut akan ditinggalkan oleh ayahnya. Dia tidak mau ditinggalkan sendirian lagi seperti saat ibunya pergi meninggalkannya. Ibunya sudah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Langkah Arkarna semakin pelan. Pandangannya terasa kabur. “Karna lapar? Mau Mama suapi?” Suara ibunya kembali terngiang di telinganya. Matanya berkaca-kaca. Betapa dia merindukan suara ibunya itu, namun disisi lain dirinya tidak bodoh. Dia tahu kalau ibunya sudah tidak mungkin kembali ke sisinya. Dia bahkan tahu di mana makam ibunya dan melihat sendiri saat tubuh ibunya dimasukkan ke dalam liang lahad. Arkarna menghapus air mata yang jatuh di pipinya. “Karna jangan menangis. Anak kesayangan Mama.” Sekali lagi suara ibunya terdengar dengan jelas di dalam pikirannya. Karna mengangkat wajahnya dan menatap warung yang dia tuju dan terletak di seberang jalan tempatnya berdiri sekarang. Dia hanya tinggal menyeberang saja. “Karna, maafkan Mama.” Arkarna mengingat kembali kalimat ibunya seiring tubuhnya yang mulai limbung ke tanah. “Karna!” Suara teriakan seseorang kembali terdengar jelas sebelum tubuhnya jatuh ke tanah dan dia sempat melihat seorang wanita yang berlari turun menghampirinya. “Mama?” ucapnya sebelum akhirnya semua terasa gelap dan dirinya kehilangan kesadarannya. # Laras menaruh kepala Arkarna di pangkuannya sambil menepuk-nepuk pelan pipi anak itu untuk mencoba menyadarkannya. “Karna!” panggil Laras berkali-kali. “Nona, biar saya gendong dia ke mobil. Sepertinya dia butuh perawatan segera,” ucap Pram saat melihat kondisi Arkarna. Dia tidak menyangka kondisi anak itu sekarang jauh lebih buruk dibanding saat dia melihatnya terakhir kali. Pram menggendong tubuh Arkarna ke mobil sementara Laras bergegas untuk naik ke mobil lagi. Laras sebelumnya sudah mempersiapkan diri untuk melihat kondisi Arkarna dengan mata kepalanya sendiri. Dia sudah tahu kalau Arkarna kecil tidak menjalani hidup yang menyenangkan, terutama setelah ibunya meninggal karena overdosis. Akan tetapi dia tidak menyangka kalau ternyata hidup Arkarna jauh lebih buruk dari yang bis dibayangkannya. Seorang pria keji yang melecehkan banyak wanita bersenang-senang dengan melihat penderitaan putrinya di masa depan, ternyata di masa ini hanyalah seorang anak kecil kurus kering yang pingsan di pinggir jalan sambil menggenggam uang dua ribuan. Sudah berapa lama dia tidak makan? Sekali melihat saja sudah jelas kalau anak itu tidak pernah diberi makan. Laras mengepalkan tangannya dan menggigit bibir sambil mengamati kondisi Arkarna yang terbaring lemah di kursi belakang. “Mama ...” Arkarna mengigau. Laras menggigit bibirnya mendengar ucapan Arkarna. Sementara Pram hanya diam sambil terus menyetir ke arah Rumah Sakit terdekat. Laras meraih botol air mineral di depannya. “Pram, berhenti sebentar,” pinta Laras. Pram menepikan mobilnya dan melirik wajah Nonanya. Seperti yang sudah dia perkirakan. Nonanya itu memiliki hati yang amat sangat baik, berbanding terbalik dengan wajah dingin dan sikap kejam yang sering ditunjukkannya di depan banyak orang. Laras keluar dari mobil dan duduk di kursi belakang, di samping Arkarna yang masih memejamkan matanya. Perlahan dia meneteskan air minum di bibir Arkarna yang kering dan pecah-pecah. “Mama ...” Arkarna kembali bergumam, ada air mata yang mengalir keluar dari kedua matanya yang terpejam. “Bagi anak kecil, ibunya adalah segalanya. Inilah alasan saya merelakan anak-anak saya ikut dengan ibunya karena bagaimanapun mereka membutuhkan wanita itu di sisi mereka,” ujar Pram. Dia merasa kasihan dengan nasib Arkarna yang sudah harus kehilangan ibunya di usia yang masih sangat muda. Terlebih lagi, ibunya tewas tepat di depan anak itu. “Jalankan mobilnya,” perintah Laras. “Maafkan saya Nona,” ucap Pram. Dia dengan segera menuruti permintaan majikannya itu. Dirinya seharusnya tahu kalau Laras tidak suka orang yang berbicara tanpa diminta dan dia tanpa sengaja sudah melanggarnya tadi. Laras tidak menanggapi ucapan Pram. Matanya hanya mengamati Arkarna yang sekarang berada di depannya. Arkarna yang berada di dalam ingatannya dan anak kecil yang sekarang ada disisinya itu terasa seperti dua orang yang berbeda. Bagaimana bisa anak malang menyedihkan ini tumbuh menjadi b******n kejam menjijikkan di masa depan? Kelaparan saja tidak cukup untuk membuat seorang anak seperti ini menjadi sejahat itu. “Mama ... jangan pergi.” Kali ini Arkarna kembali bergumam dengan sedikit merengek. Tangannya menggapai lemah ke udara kosong seakan sedang mencari sesuatu. Laras mengulurkan tangannya dan menyentuh tangan kurus itu. Dia bisa merasakan tulang jari anak itu di dalam genggamannya. Arkarna kini menggenggam tangannya dan anak itu kembali menjadi tenang. Laras hanya bisa terdiam menatap Arkarna kembali. Dia membenci dirinya yang kini begitu mudah goyah oleh penampakan menyedihkan versi anak kecil dari orang yang seharusnya tumbuh menjadi musuhnya. Jika seperti ini, bagaimana dia bisa menghadapi Kirana? Putrinya yang tidak akan pernah bisa terlahir di masa ini. “Nona, kita sudah sampai.” Ucapan Pram membuat Laras tersentak dari lamunannya. Dia hanya diam dan terus menatap Arkarna saat Pram menggendong tubuh kecil itu dan membawanya masuk ke dalam IGD. Laras mengikuti dari belakang dan mengamati saat para dokter dan perawat memberikan pertolongan pertama pada Arkarna kecil yang masih berusia tujuh tahun itu. Dia seharusnya hanya datang untuk melihat Arkarna sekilas dan kemudian memerintahkan Pram untuk terus mengamati bocah itu hingga dia tumbuh dewasa. Saat Arkarna muda mulai menunjukkan tanda-tanda menjadi psikopat, dia tinggal meminta Pram menghabisinya sebelum anak itu tumbuh dewasa dan memiliki kekuatan untuk melawan. Tapi apa yang dilakukannya sekarang? Dia membawa anak itu ke Rumah Sakit. “Pram, apa yang membuat seseorang bisa tumbuh menjadi seorang b******n kejam yang tidak memiliki perasaan?” tanya Laras tiba-tiba saat dirinya dan Pram kini duduk diam menatap Arkarna yang tertidur dengan selang infus di pergelangan tangannya. Untuk tangan sekurus itu, pasti sakit sekali rasanya. Pram tampak mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan Laras. Terkadang dia tidak bisa memahami jalan pikiran Nonanya itu. “Beberapa orang mengatakan kalau itu adalah keturunan dan memang ada orang yang terlahir dengan kecenderungan seperti itu meski berasal dari keluarga yang baik-baik saja. Tapi dalam banyak kasus yang saya tangani saat masih menjadi penegak hukum, faktor lingkungan dan kondisi saat orang itu tumbuh dewasa adalah penyebab utama,” ucap Pram. Dia berusaha memberikan jawaban untuk pertanyaan Laras sesuai dengan pengalamannya dulu. Laras diam. Tatapannya lurus ke arah Arkarna. Ekspresi wajahnya terlihat dingin dan datar namun tidak dengan hati serta pikirannya yang dipenuhi oleh banyak hal saat ini. Pram menarik napas panjang. “Nona, apakah Anda merasa kalau anak ini bisa saja tumbuh menjadi seorang seperti itu saat dewasa? Itukah alasan Nona meminta saya mengawasinya?” tanya Pram dengan hati-hati. “Dia tidak terlihat seperti akan menjadi salah satunya sekarang,” ucap Laras pelan. Pram mengangguk. “Memang benar. Tidak sekarang. Tapi dengan kehidupan seperti yang dijalaninya saat ini, beberapa tahun ke depan saat dia tumbuh remaja dengan ayah tiri seperti Rijal Yusuf, siapa yang tahu akan dibentuk menjadi apa anak ini nantinya,” ucap Pram. Laras mengerutkan dahinya kini. Dia ingat. Orang pertama yang seharusnya kehilangan nyawanya dengan menyedihkan karena Arkarna adalah Rijal Yusuf. Ayah tiri Arkarna sendiri. “Aku mengerti. Berikan kunci mobilnya kepadaku dan pulanglah dengan taksi setelah kau mengurus anak ini,” ucap Laras pelan. Pram memberikan kunci mobil di tangannya pada Laras tanpa bertanya apa-apa. Laras kemudian melangkah keluar dari ruangan itu. Pram tidak mengejar Laras. Dia tahu kalau saat ini Nonanya membutuhkan waktu untuk berpikir dan kehadirannya tidak diperlukan. Laras mencapai parkiran dan langsung masuk ke dalam mobil. Dia terdiam untuk sejenak sebelum akhirnya mulai menangis. “Maafkan Mamamu ini Kirana,” gumamnya pelan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN