Bab 10: Bukan Kebahagiaan Yang Kuinginkan 3

1722 Kata
# Arkarna perlahan membuka matanya dan saat yang sama dia melihat Pram yang duduk menatapnya dengan tatapan yang entah kenapa terlihat sedih. “Om siapa?” tanyanya dengan suara lemah. Pram menarik napas panjang. Dibandingkan menjawab pertanyaan Arkarna, dia malah mendekat dan mengamati anak itu lebih baik. “Bagaimana keadaanmu? Apa sekarang kau merasa bisa makan? Aku sudah membelikanmu beberapa makanan yang mudah dicerna mengingat lambungmu pasti sensitif karena sudah beberapa hari tidak makan,” ucap Pram. Dia membuka sebuah bungkusan yang menguarkan aroma enak. Arkarna menghirup aroma itu dan mendadak dia merasa air liurnya hendak menetes. Dia menatap antusias pada bungkusan yang dipegang oleh Pram. Pram seakan mengerti apa yang di inginkan oleh anak itu dan kemudian membantu Arkarna yang sangat lemah untuk duduk bersandar pada tempat tidur yang sandarannya diangkat naik agar anak itu bisa lebih mudah makan. Dia kemudian mencoba menyuapi Arkarna dengan kikuk. Namun gerakan tangannya yang lambat membuat Arkarna menjadi tidak sabar dan meminta untuk makan sendiri. Selang infus yang tertancap di pergelangan tangan anak itu bahkan tidak menghalanginya untuk makan seperti orang kesurupan. “Makanlah pelan-pelan. Kalau sebungkus masih kurang untukmu, masih ada sebungkus lagi milik Om,” ucap Pram. Arkarna melambat dan meliriknya takut-takut. “Enak,” ucap Arkarna pelan. Dia kemudian terdiam selama beberapa saat. Setelah perutnya terisi sebagian, Arkrna mulai menyadari kalau saat ini dia berada di tempat yang sama dengan beberapa waktu lalu. Tempat dia dibawa pertama kali saat dipukuli ayahnya. Orang-orang di tempat itu mengobatinya tapi juga ingin memisahkannya dari ayahnya. Mendadak, raut wajahnya menjadi cemas. “Papa di mana?” tanyanya. Dia takut. Dia tidak ingin ditinggal sendirian dan meski dia tahu kalau Papanya tidak menyukainya, tapi hanya pria itulah satu-satunya yang dia miliki di dunia ini. Dia tidak punya siapa-siapa lagi. “Orang itu bukan Papamu. Tidak ada orang tua yang akan memukuli anaknya seperti yang dilakukan oleh orang itu dan juga jika dia Papamu maka dia tidak akan membiarkanmu kelaparan sampai berhari-hari. Tinggallah di sini sampai sembuh, setelah itu kau akan dimasukkan ke panti asuhan terbaik untuk bisa hidup dengan lebih baik,” ucap Pram. Arkarna menggigit bibirnya. “Aku masih punya Papa. Aku tidak mau masuk panti asuhan. Aku bukan anak terlantar,” ucap Arkarna dengan mata berkaca-kaca. Dia berusaha turun dari tempat tidur dan kemudian mencoba melepas selang infus di tangannya. “Hei Nak! Apa kau sudah gila?! Panti asuhan masih lebih baik dibandingkan neraka seperti itu! Papamu akan memukulimu lagi dan membuatmu kelaparan!” Pram berusaha mencegah Arkarna yang ingin melepaskan infusnya dan turun dari tempat tidur. “Papa! Papa! Aku harus kembali pada Papa! Aku masih punya Papa! Aku tidak mau dibuang!” seru Arkarna tiba-tiba. Arkarna─anak itu mulai memberontak dengan keras dan membuat tangannya terluka. Orang-orang yang berada di ruangan yang sama dengannya saat itu hanya bisa melihat kejadian tersebut dengan pandangan penasaran sekaligus simpati. Bagi Arkarna, kembali ke sisi ayahnya adalah satu-satunya harapannya. Arkarna berharap kalau dia tetap menunggu di sisi ayahnya yang sekarang, suatu saat ibunya akan kembali kepadanya. Dirinya membangun penyangkalan tentang kematian ibunya sendiri dan berharap kalau suatu hari nanti, saat ibunya kembali, dirinya akan memiliki keluarga yang utuh seperti yang selama ini dimiliki oleh anak-anak normal lainnya. Satu-satunya hal yang paling ditakutkan Arkarna adalah ditinggalkan. Rasa sakit karena kehilangan ibunya dan ditinggalkan seorang diri di dunia ini membuat Arkarna ketakutan akan kehilangan ayah tirinya meskipun dia harus setengah mati menanggung siksaan dari pria itu. “Dia bukan Papamu! Hidupmu akan lebih baik tanpa orang seperti itu!” ucap Pram. Dia masih menahan tubuh Arkarna kecil yang susah payah berontak dari pelukannya. “Tidak! Papa! Mama! Jangan tinggalkan aku!” Arkarna masih berontak. Beberapa orang perawat langsung datang dan mencoba menenangkan Arkarna, begitu juga dengan Dokter. Pram menyadari kalau saat ini sikap memberontak Arkarna menunjukkan seakan dia diambil paksa dari keluarganya dan itu tidak akan baik untuk reputasi Nonanya kalau sampai Polisi ikut terlibat. Satu-satunya yang bisa dilakukan Pram sekarang hanyalah memindahkan ruang rawat Arkarna ke kamar VIP dan kemudian menghubungi Laras kembali untuk meminta pendapat. Dia hanya berharap Laras tidak terlalu menganggap kalau Arkarna merepotkan dan menyerahkan anak itu kembali pada Rijal Yusuf yang tidak bertanggung jawab. # Yudha sudah menunggu kedatangan Laras kali ini dan dia tersenyum tipis saat melihat sosok wanita cantik itu kini melangkah ke arahnya. “Kau terlihat menawan,” ucap Yudha terus terang. Sayangnya di sisi Laras, ucapan Yudha itu terdengar seperti gombalan kosong seperti yang selama ini sering dia dengar. ‘Menawan’ adalah kalimat yang sudah terlalu sering dia dengar, baik di kehidupannya yang lalu maupun sekarang dan orang yang paling sering mengucapkan hal itu justru juga adalah orang yang juga meninggalkan luka paling dalam baginya. Jadi alih-alih senang dengan pujian itu, Laras malah merasa muak mendengarnya. “Aku berada di sini karena Kakek mengingkari janjinya untuk tidak memaksaku bertemu dengan seorang pria kalau perjodohan kita batal,” ucap Laras datar. Dia menunjukkan dengan jelas rasa tidak tertariknya. Bagi Yudha, hal ini adalah sesuatu yang menarik. Pertemuan pertama mereka tidak berjalan baik karena Laras yang tiba-tiba pingsan, lalu wanita itu juga terang-terangan menolaknya saat di Rumah Sakit. Intinya bagi Yudha, kencan dan perjodohan mereka sama sekali belum batal karena baik makan malam keluarga maupun makan malam berdua sama sekali belum terlaksana di antara mereka berdua. “Maafkan aku karena menggunakan Kakekmu hanya untuk menciptakan kesempatan demi mengenalmu lebih jauh,” ucap Yudha. Dia sama sekali tidak terlihat tersinggung dengan sikap yang Laras tunjukkan. Laras menarik napas panjang. Dia sedang tidak dalam suasana hati yang baik untuk menanggapi kegombalan dan sikap keras kepala Yudha saat ini. Bertemu dengan Arkarna yang masih anak-anak secara langsung ternyata memberi efek psikologis yang cukup berat untuknya. Sulit baginya untuk menyatukan antara Arkarna dewasa yang dia temui di masa lalu dengan Arkarna sekarang yang hanya seorang anak kecil. Laras merasa terpukul oleh kenyataan kalau kehidupan Arkarna yang sekarang jauh lebih menyedihkan dari yang pernah dia bayangkan sebelumnya. Perasaan Laras membuatnya goyah dan sekaligus memicu rasa bersalah pada niatnya sendiri untuk mengubah masa depan. Perasaan yang sama memberinya rasa bersalah pada Laras untuk Kirana ─putrinya yang tidak akan pernah terlahir di masa ini. Balas dendamnya bahkan belum di mulai dan dia telah goyah hanya karena seorang anak kecil. “ Kau tidak apa-apa?” Pertanyaan Yudha membuat Laras kembali dari lamunannya yang untuk sesaat tadi sempat membuatnya terhanyut dan melupakan keberadaan pria itu. “Maaf,” ucap Laras akhirnya. Dia seketika merasa sedikit malu karena tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Yudha kembali tersenyum. “Tidak masalah selama kau tidak pingsan lagi atau melarikan diri. Kau tahu, itu pertama kalinya aku menggendong seorang wanita yang pingsan,” ucap Yudha. Dia tidak berbohong karena selama ini dirinya bisa dikatakan cukup minim pengalaman dengan lawan jenis. Laras tampak mengerutkan dahinya sedikit sebelum akhirnya dia menarik napas panjang. “Terima kasih,” ucap Laras datar. Dalam hati dia tahu kalau sebenarnya Yudha pasti tidak hanya menginginkan ucapan terima kasih berkali-kali. “Aku akan menganggap semuanya lunas kalau kau mau menjadi kekasihku,” ucap Yudha. Laras menatap Yudha lurus. Dia tidak menyangka kalau bahkan seorang Yudha Naratama akan menggunakan cara seperti ini. “Aku tidak menyukaimu,” ucap Laras. “Aku tahu. Kau lebih suka pria yang lebih tua bukan? Kau sudah pernah mengatakannya. Aku tidak keberatan kok, selama pria tua yang kau sukai itu bukan Papaku, kau tahu? Karena aku tidak ingin memanggil wanita secantik dirimu sebagai Mama. Bukan cobaan yang menyenangkan memiliki ibu tiri yang lebih muda dan juga menawan,” ucap Yudha. Laras semakin mengerutkan dahinya menatap Yudha. Menunjukkan kalau dia jelas-jelas merasa muak dengan cara pria itu bercanda. “Lelucon yang sama sekali tidak lucu. Wanita lain pasti akan merasa sangat terhina dengan cara bercandamu yang kurang sopan seperti ini,” balas Laras. “Wanita lain justru mungkin merasa terhibur dengan cara bercandaku yang sedikit kelewatan,” sanggah Yudha. Namun Laras mengerutkan dahinya. Semakin menunjukkan kalau dia dengan sangat jelas tidak menyukai ucapan Yudha. Yudha terdiam sejenak. Dia hanya ingin membuat Laras tertawa tapi pada akhirnya bahkan dirinya merasa kalau ucapannya sendiri mungkin terdengar menjijikkan. Bukan sesuatu yang sopan ketika mengatakan kalau pasangan kencan sendiri bisa saja menjadi ibu tirinya. Ini bukan seperti Laras memang memiliki hubungan tertentu dengan orang yang dia kenal, apalagi jika itu ayahnya. “Aku minta maaf. Untungnya aku tidak sedang makan malam dengan wanita lain,” ucap Yudha dengan ekspresi penuh penyesalan. “Bukan berarti aku memaafkanmu. Aku hanya menganggap cara bercandamu yang tidak menyenangkan barusan impas dengan pertolonganmu waktu itu. Untuk ke depannya, aku harap kau tidak menggunakan Kakekku untuk membuatku duduk di hadapanmu dan menghabiskan waktu yang sia-sia hanya untuk hubungan yang tidak akan pernah terjadi,” ucap Laras dingin. Yudha kembali tersenyum tipis. Bukan main susahnya meluluhkan hati gadis cantik di depannya itu. Dia bertanya-tanya apa yang sebenarnya sudah mengubah gadis cengeng yang menumpang mobilnya untuk lari dari pernikahan dulu menjadi wanita dingin dan sinis seperti di hadapannya sekarang. “Kau seperti orang yang menolak kebahagiaan yang akan di tawarkan oleh semua pria sepertiku,” sindir Yudha. Maksudnya dia ingin mengatakan kalau Laras tidak akan pernah mendapatkan pendamping jika sikapnya seperti ini. Namun di luar dugaan Laras mendesah pelan. “Karena bukan kebahagiaan yang kuinginkan,” melainkan balas dendam. Dendam adalah satu-satunya hal yang membuat Laras mampu mengulangi kehidupannya saat ini. Namun tentu saja dia tidak bisa mengatakannya dengan lantang di hadapan Yudha. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia sedikit merasa bersalah karena memperlakukan Yudha dengan dingin seperti sekarang. Seharusnya, dengan Yudha yang masih hidup dan sehat seperti sekarang maka dia tidak perlu mengkhawatirkan kalau di masa depan Arkarna akan duduk sebagai penerus Grup Naratama. Lalu dengan demikian berarti Arkarna tidak akan bisa mendapatkan kekuasaan untuk melakukan semua kegilaannya dan itu tentu saja membuat Laras merasa sedikit terbantu. Tapi bagaimanapun juga, Arkarna adalah seorang Naratama. Anak dari kakak kandung Yudha yang selama ini dicari oleh keluarga Naratama. Laras bisa menilai kalau Yudha adalah seorang pria yang baik dan kebaikan adalah sebuah kelemahan untuk rencananya menyingkirkan Arkarna di masa depan. Dengan kebaikan hati Yudha, bukan tidak mungkin kalau pria itu akan bersikap sama lunaknya pada Arkarna seperti Tuan Naratama dan itu berarti kalau Laras juga harus menyingkirkan Yudha di masa depan ketika itu terjadi. Jadi sekarang, Laras tidak ingin berhubungan dengan Yudha sama sekali. Dia tidak ingin terjepit di antara perasaan dan balas dendam yang selama ini dipendamnya. Dia bahkan tidak berencana untuk berkeluarga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN