Lalu, malam pun tiba, langit yang semula cerah berubah gelap. Andy yang sedari tadi berpikir ternyata terlelap tidur. Tidak lama kemudian, teman-temannya datang dan membangunkannya.
“Boss, Boss,” seru mereka seraya menggoyangkan tubuh Andy.
Andy pun membuka matanya perlahan, lalu menguap lebar, kemudian menggerakkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan, seraya berkata, “Apa kalian sudah dapat uangnya?”
“Sudah, Boss. Maaf tidak banyak. Beberapa waktu ini keadaan memang sepi. Para pedagang pasar sebagian besar telah pindah ke tempat lain ke gedung yang lebih besar. Besok kami akan mencarinya lagi,” ucap Jo.
Andy mengambil uang yang berada dalam genggaman tangan Jo, lalu menjawab, “Kalian akan mencari ke mana? Hanya tinggal sedikit pedagang yang tersisa. Aku harus mencari cara lain.”
“Cara apa, Boss?” tanya salah seorang teman Andy.
“Entahlah, mungkin bekerja.”
“Hah? Bekerja? Apa kami tidak salah dengar?” tanya Jo.
Andy menoleh dan menatap Jo, lalu dengan raut wajah tak senang, dia menjawab, “Apa itu terdengar aneh untukmu?”
“Tidak, Boss. Bukan begitu, hanya saja selama ini kau tidak pernah bekerja, lalu pekerjaan apa yang akan kau lakukan?” tanya Jo.
“Kau lihat saja nanti. Sekarang aku pulang dulu.” Andy merapikan pakaiannya dan berlalu pergi meninggalkan teman-temannya yang masih menatapnya dengan tatapan tak percaya.
Pria pemalas itu berjalan pulang ke rumahnya dengan langkah lunglai. Dia membutuhkan uang banyak, tapi sekarang hampir semua sumber pendapatannya telah berkurang sedikit demi sedikit. Akhrirnya, dia pun sampai di depan pagar rumahnya. Dari luar pintu pagar terlihat jika semua lampu di dalam rumah telah menyala, artinya ayahnya telah berada di dalam rumah. Sebenarnya, Andy enggan untuk bertemu dengan sang ayah, apalagi untuk bertegur sapa dengannya, karena Andy tahu jika ayahnya tidak menyukainya.
Perlahan, dia membuka pintu pagar dan masuk ke dalam teras rumahnya. Usai menutup rapat pintu pagar bercat hitam itu, Andy melangkah dengan perlahan mendekati pintu masuk dan mulai menekan kenop pintu ke arah bawah, lalu mendorongnya ke arah dalam.
Terlihat Paman Wei sedang duduk di depan televisi, Bibi Wei duduk di sampingnya sambil memotong kulit buah pir, lalu memberikan buahnya kepada pria paruh baya tersebut. Saat mendengar pintu masuk terbuka, secara spontan Paman dan Bibi Wei pun menoleh untuk memastikan siapa yang memasuki kediaman mereka.
Sambil menundukkan wajahnya, Andy masuk ke dalam rumah, lalu menutup kembali pintu rumahnya, kemudian dia berjalan mendekati ayah dan ibunya untuk memberi salam.
“Pa, Ma. Aku pulang,” sapanya pada kedua orang tuanya.
Paman Wei tidak menjawab, pria paruh baya itu langsung memalingkan wajahnya menatap televisi, sementara sang ibu menjawab, “Mandilah dulu, lalu makan. Makanan sudah terhidang di meja. Cepatlah mandi.”
Karena kesal dengan perlakuan sang istri yang masih memanjakan anak laki-lakinya yang harusnya telah mandiri, Paman Wei langsung menyanggah sang istri dengan berkata, “Dia sudah besar dan tua, untuk apa kau mengaturnya lagi? Bahkan, dia sudah tahu bagaimana berhubungan badan dengan seorang wanita tunasusila, lalu untuk apa kau mengaturnya lagi? Biarkan dia memakai pikirannya untuk mengurus dirinya sendiri.”
“Suamiku, jangan begitu.” Lalu, Bibi Wei menggerak-gerakkan tangannya, memberi kode kepada Andy agar bergegas pergi dari situ. Secepat kilat, pria pemalas itupun beranjak pergi meninggalkan ruang keluarga dan masuk ke dalam kamar tidurnya.
Malam menjelang, langit semakin gelap, bintang bertaburan memenuhi langit malam, menyinari bumi menggantikan tugas matahari. Ketika itu, waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Paman Wei telah masuk ke dalam kamarnya dan terlelap tidur, sementara Andy baru keluar kamar untuk menyantap makan malam ketika sang ayah telah pergi tidur. Bibi Wei keluar dari kamarnya dan menemani anaka laki-lakinya makan sambil berbincang.
“Ma, aku ada satu usul yang bisa meringankan bebanmu,” ucap Andy sambil memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
“Usul apa?” tanya Bibi Wei.
“Usul ini sebenarnya untuk Cindy. Selama ini biaya sekolah dirinya dan adiknya menjadi tanggungan kalian, kan? Aku punya lapangan pekerjaan untuknya.”
“Pekerjaan apa?” tanya Bibi Wei penasaran.
“Menjadi waitress di Klub Dragonfly, aku kenal dengan pemiliknya. Aku pun akan melamar kerja menjadi staff keamanan di sana.”
“Benarkah? Itu usul yang baik, tapi klub itu—“ tanya Bibi Wei penasaran.
“Itu apa, Ma?”
“Tidak macam-macam, kan? Aku takut jika dia kenapa-kenapa, papamu akan membunuh kita.”
“Kurasa tidak, dia hanya bekerja sebagai waitress dari pukul enam sore hingga pukul dua dini hari.”
“Maksudku dia tidak diminta untuk melayani pelanggan, kan?” tanya Bibi Wei cemas.
“Tidak, tapi semua tergantung dirinya. Jika tidak, pemilik tidak akan memaksa.”
“Kalau begitu, besok Mama akan menemuinya. Kau cepatlah melamar kerja di sana, buatlah kami bangga.”
“Iya, Ma. Tunggu saja, aku akan membawa uang yang banyak untuk kalian.”
“Habis ini tidurlah. Aku tidur dulu.” Bibi Wei beranjak berdiri dari kursi dan masuk ke dalam kamar tidurnya. Sementara, Andy masih menikmati makan malamnya sambil membayangi dirinya memegang uang dalam jumlah yang cukup banyak.
Keesokan harinya, tepatnya tengah hari saat Cindy dan Ken telah sampai di rumah. Bibi Wei bersiap-siap untuk menemui mereka di rumahnya. Wanita paruh baya itupun lantas keluar dari rumahnya dan berjalan dengan penuh semangat menuju ke rumah keponakannya.
Sesampainya di depan rumah Cindy, Bibi Wei mengetuk pintu masuk rumah mereka dengan cukup kencang sembari berseru, “Cindy, Ken. Ini Bibi. Tolong bukakan pintunya.”
Ken yang sedang duduk di ruang keluarga pun langsung bangkit berdiri dan berjalan menghampiri pintu masuk, dibukanya pintu dan tampaklah sang bibi di hadapannya.
“Oh Bibi Wei, ayo silahkan masuk,” sapa Ken ramah.
Bibi Wei pun beranjak masuk ke dalam rumah, lalu duduk di ruang tamu yang penampakannya sangat jauh dari kata layak. Kursi yang sudah rusak, langit-langit ruangan yang bernoda kekuningan karena terkena tetesan air hujan, dinding yang kotor karena terkena rembesan air hujan, ditambah bau yang cukup pengap.
Saat itu, Ken yang duduk menemani Bibi Wei, sementara Cindy sedang memasak makan siang di dapur.
“Ada apa, Bi? Apa ada yang dapat kubantu? Apa Bibi mau minum?” tanyanya.
“Terima kasih, tapi Bibi tidak mau minum. Ada yang ingin kusampaikan kepada Cindy. Di mana dia?” tanya Bibi Wei.
“Kak Cindy sedang di dapur, sebentar akan kupanggilkan.” Lalu, Ken beranjak berdiri dari kursi dan meninggalkan Bibi Wei sendirian di ruang tamu. Dia berjalan menuju dapur untuk memanggil sang kakak.
Sesampainya di dapur, “Kak, Bibi Wei datang kemari. Dia ingin menemuimu.”
“Menemuiku? Ada apa? Tidak biasanya dia datang kemari.” Jawabnya dengan raut wajah heran.
“Aku juga tidak tahu, cepatlah temui dia, Kak.”
To be continued ....
Note : Kepada para pembaca, maaf jika saya update dua hari sekali, karena satu dan lain hal yang tidak dapat saya jabarkan di sini. Terima kasih untuk dukungan kalian terhadap karya ini. Jangan lupa tekan Follow/ikuti akun saya (Mey Olivia) agar kalian mendapat notif jika saya ada karya baru. Terima kasih ^^.