Harapan yang tersisa

1056 Kata
Hujan deras mengguyur jalanan malam dengan intensitas yang tak menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Abizar memacu mobilnya, mengikuti mobil hitam di depan yang membawa Elsa. Hatinya seperti terbakar—marah, putus asa, dan diliputi rasa takut yang terus menghantui. Ia tahu apa yang Darwin rencanakan: menjauhkan Elsa darinya, mungkin selamanya. "Berhenti!" Abizar berteriak keras, meski ia tahu suaranya hanya tertelan gemuruh hujan dan suara mesin mobil. Matanya tetap fokus, jarinya mencengkeram kuat kemudi. Ia tidak peduli bahwa kecepatan ini berbahaya. Elsa adalah segalanya. Kehilangannya sama saja dengan kehilangan hidupnya. Di dalam mobil hitam itu, Elsa duduk diam di kursi belakang. Matanya menatap keluar jendela, memperhatikan bayangan lampu mobil Abizar yang terus mengejar mereka. Hatinya dipenuhi campuran rasa takut, bingung, dan... rindu. Ia ingin menghentikan semuanya, ingin keluar dari situasi ini, tapi ia tahu Darwin tidak akan mengizinkannya. "Pak, tolong hentikan mobilnya," Elsa akhirnya berkata, suaranya bergetar meski ia berusaha tegas. "Aku tidak ingin ini terus terjadi." Sopir hanya meliriknya sekilas melalui kaca spion, kemudian menggeleng. "Saya hanya menjalankan perintah Tuan Darwin, Nona Elsa. Tugas saya adalah memastikan Anda sampai dengan selamat." "Tapi Abizar bisa celaka jika terus seperti ini!" Elsa memohon, air mata mulai menggenang di matanya. Pengejaran itu berlanjut hingga ke pinggiran kota. Jalanan semakin sempit dan licin oleh genangan air hujan. Mobil hitam berbelok tajam, mencoba menghilang dari pandangan Abizar. Tapi Abizar tidak menyerah. Ia menginjak pedal gas lebih dalam, melewati tikungan dengan kecepatan yang hampir membuat mobilnya tergelincir. "Darwin, apa yang sebenarnya kau pikirkan?" gumam Abizar dengan geram. Ia tahu Darwin adalah pria keras kepala, tapi ini sudah terlalu jauh. Membawa Elsa pergi seperti ini adalah tindakan yang tidak bisa ia maafkan. Setelah beberapa kilometer lagi, mobil hitam itu berhenti di sebuah pelabuhan kecil. Abizar segera menghentikan mobilnya tidak jauh dari sana. Ia keluar, tubuhnya langsung basah kuyup oleh hujan. Ia melihat Elsa, diapit oleh dua pria berbadan besar, berjalan menuju sebuah kapal kecil. "Elsa!" Abizar berteriak, suaranya menggelegar meski tertelan derasnya hujan. Elsa menoleh. Matanya membesar saat melihat Abizar yang berlari ke arahnya. "Abizar, jangan!" ia berteriak, suaranya penuh kepanikan. Tapi Abizar tidak berhenti. Ia menerobos hujan, menghadapi dua pria yang menghalangi jalannya. Salah satu dari mereka mencoba menghentikannya dengan dorongan kasar, tapi Abizar menangkisnya dengan gerakan cepat. "Minggir," katanya dengan nada dingin. Salah satu pria itu mencoba menyerang lagi, tapi Abizar lebih cepat. Dengan satu pukulan keras, pria itu tersungkur ke tanah. Yang lainnya mundur selangkah, ragu untuk melawan lebih jauh. Elsa berdiri terpaku, tubuhnya gemetar. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Hatinya ingin menghentikan Abizar, tapi bagian lain dari dirinya ingin berlari ke pelukan pria itu. Abizar mendekat, matanya menatap Elsa dengan penuh tekad. "Kau tidak akan pergi dariku, Elsa. Aku tidak peduli apa yang Darwin pikirkan. Aku tidak peduli siapa yang harus kulawan. Aku hanya peduli padamu." Elsa membuka mulutnya untuk menjawab, tapi kata-kata itu tidak keluar. Ia terlalu terkejut, terlalu terguncang. "Elsa, dengarkan aku!" suara Abizar bergetar. "Aku mencintaimu. Kau harus tahu itu. Aku tidak akan membiarkan siapa pun membawamu pergi, tidak lagi." Air mata mulai mengalir di pipi Elsa. Ia menatap Abizar dengan campuran emosi yang sulit dijelaskan. Tapi sebelum ia sempat berkata apa-apa, pria kedua yang tadi mundur tiba-tiba menarik Elsa ke dalam kapal. "Maaf, Tuan Abizar, tapi ini perintah!" katanya sebelum kapal mulai melaju. "Elsa!" Abizar mencoba mengejarnya, tapi sudah terlambat. Kapal itu melaju ke tengah lautan, meninggalkan Abizar berdiri di dermaga dengan tubuh basah kuyup dan hati yang hancur. Dua hari kemudian, Abizar menemukan dirinya berdiri di depan sebuah mansion tua di Lombok. Bangunan itu megah, tapi tampak sunyi dan sedikit berdebu. Ia tahu Darwin telah membawa Elsa ke tempat ini. Darwin ingin mengujinya—menguji sejauh mana ia rela berjuang untuk cinta Elsa. Seorang pelayan tua membukakan pintu. "Tuan Abizar, Tuan Darwin sudah menunggu Anda di ruang kerja," katanya dengan sopan. Abizar melangkah masuk, setiap langkahnya terasa berat. Ia tahu ini bukan sekadar ujian fisik, tapi juga mental dan emosional. Ketika ia tiba di ruang kerja, Darwin sedang duduk di sofa, dengan segelas anggur di tangannya. "Ah, kau datang," kata Darwin, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Aku tidak yakin kau akan sampai sejauh ini." "Di mana Elsa?" Abizar langsung bertanya, tanpa basa-basi. Darwin mengangkat alisnya, seolah terkesan dengan keberanian Abizar. "Tenanglah. Elsa ada di sini, aman. Tapi sebelum kau menemuinya, aku ingin mendengar alasanmu." "Alasan?" Abizar mengepalkan tangannya. "Aku mencintainya. Itu alasan yang cukup." Darwin terkekeh. "Cinta, ya? Kau pikir cinta saja cukup? Kau tahu dunia seperti apa yang kita jalani, Abizar. Kau tahu bahaya yang akan kau hadapi jika terus bersama Elsa." "Aku tidak peduli," jawab Abizar tegas. "Aku akan melindunginya, apa pun yang terjadi." Darwin memandangnya dengan serius untuk beberapa saat, lalu mengangguk. "Baiklah. Kalau begitu, kau berhak untuk bicara dengannya." Abizar menemui Elsa di taman belakang mansion. Gadis itu duduk di bangku kayu, memegang sebuah buku kecil di tangannya. Ia tampak lebih tenang dibandingkan dua malam lalu, tapi ada kesedihan yang jelas terlihat di matanya. "Elsa," panggil Abizar dengan suara pelan. Elsa menoleh, dan untuk sesaat, mereka hanya saling menatap. Abizar berjalan mendekat, lalu duduk di sampingnya. "Aku tahu aku sudah banyak salah," katanya. "Tapi aku ingin memperbaikinya." Elsa menunduk, tangannya menggenggam erat buku di pangkuannya. "Kenapa kau terus mengejarku, Abizar? Apa kau tidak lelah?" "Tidak, karena kau satu-satunya alasan aku ingin terus berjuang," jawab Abizar jujur. "Aku tahu aku tidak pernah mengatakannya sebelumnya, tapi aku mencintaimu, Elsa. Lebih dari apa pun di dunia ini." Elsa terdiam lama. Lalu, dengan suara bergetar, ia berkata, "Tapi bagaimana aku tahu kau benar-benar mencintaiku? Bagaimana jika aku hanya tantangan untukmu? Sebuah permainan yang harus kau menangkan?" Kata-kata itu menusuk hati Abizar. Ia tertegun, kehilangan kata-kata untuk sesaat. "Elsa, kau bukan tantangan. Aku mengerti kalau kau sulit mempercayaiku sekarang, tapi aku akan membuktikan semuanya. Aku tidak peduli berapa lama waktu yang kau butuhkan. Aku akan menunggumu." Elsa menatapnya, matanya penuh air mata. Tapi sebelum ia sempat menjawab, suara langkah kaki mendekat. Seorang pria berpakaian hitam muncul dari balik pepohonan, wajahnya serius. "Tuan Darwin ingin berbicara lagi dengan Anda, Tuan Abizar," katanya. Abizar mengangguk, meski ia enggan meninggalkan Elsa. Ia menatap gadis itu sekali lagi, mencoba menyampaikan semua perasaannya melalui tatapan itu. "Aku akan kembali," katanya pelan sebelum beranjak pergi. Namun, di sudut taman, seorang pria lain yang bersembunyi di balik bayangan mengangkat telepon. "Dia berhasil mencapai Elsa. Apa langkah berikutnya?" tanyanya dengan suara dingin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN