Pengorbanan Terbesar

1122 Kata
Abizar berdiri di tengah ruang tamu rumah keluarganya yang megah. Udara di sana terasa berat, bukan karena kemewahan yang melingkupinya, tetapi karena tatapan dingin dari orang-orang yang duduk mengelilinginya. Di hadapannya, kakeknya—pemimpin besar keluarga Ebizawa—menatapnya dengan sorot mata tajam yang penuh amarah. “Kau sudah membuat keluarga ini kehilangan muka,” kata pria tua itu, suaranya berat dan berwibawa. “Meninggalkan Natasya di altar? Kau tahu apa akibatnya, bukan?” Abizar menundukkan kepala, berusaha menjaga ketenangannya. “Aku tahu. Tapi aku tidak bisa menikah dengan seseorang yang tidak kucintai.” “Cinta?” Kakeknya terkekeh sinis. “Cinta tidak ada artinya dalam keluarga ini. Kau seharusnya tahu bahwa pernikahan itu bukan sekadar tentang kau dan dia. Itu adalah ikatan antara keluarga kita dengan Darwin Luis. Kau menghancurkan segalanya demi seorang gadis yang bahkan tidak selevel dengan kita.” Abizar mengepalkan tangan. Ia sudah mendengar semua itu sebelumnya, tapi setiap kali kata-kata itu keluar, rasanya seperti luka baru di hatinya. Ia mengangkat wajahnya, menatap langsung ke mata kakeknya. “Aku sudah memutuskan. Jika itu berarti aku harus meninggalkan keluarga ini, maka aku akan melakukannya.” Ruangan itu seketika hening. Hanya terdengar suara napas berat beberapa orang yang terkejut mendengar pernyataan Abizar. “Kau tahu apa yang kau katakan, Abizar?” tanya kakeknya dingin. “Jika kau keluar dari keluarga ini, kau tidak akan punya apa-apa lagi. Tidak ada perlindungan, tidak ada dukungan, tidak ada nama besar Ebizawa.” Abizar mengangguk, meskipun hatinya bergetar. “Aku tahu. Tapi aku tidak peduli.” Sementara itu, di tempat lain, Elsa berdiri di depan kanvasnya, menyelesaikan sentuhan terakhir pada lukisannya. Gambar itu menampilkan dirinya dan Abizar berdiri di tengah taman, seperti saat mereka pernah bersama beberapa bulan lalu. Wajah Abizar yang dilukisnya penuh ketenangan, kontras dengan rasa sakit yang memenuhi hatinya. Ia melangkah mundur, menatap hasil karyanya dengan tatapan kosong. Ada sesuatu yang salah, meskipun ia tidak bisa mengatakan apa. Lukisan itu terasa seperti cerminan dirinya—penuh dengan kenangan yang indah tapi sekaligus menyakitkan. Elsa duduk di kursi dekat jendela, memandangi hujan yang mulai turun di luar. Ia memeluk lututnya, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. “Kenapa harus seperti ini, Abizar? Kenapa kau membuat segalanya begitu rumit?” gumamnya pelan. Ia teringat momen-momen kecil bersama Abizar—cara pria itu diam-diam memperhatikannya, meskipun ia tidak pernah mengakuinya. Abizar mungkin tidak banyak bicara, tapi Elsa bisa merasakan perhatian yang tulus dalam setiap gerakannya. Namun, rasa sakit yang ditinggalkan Abizar jauh lebih besar daripada kenangan manis itu. Elsa tahu ia harus melepaskannya, tapi hatinya terus membawanya kembali pada sosok pria itu. Abizar melangkah keluar dari rumah keluarganya dengan kepala tegak, meskipun dadanya terasa sesak. Ia baru saja kehilangan segalanya—nama, kekayaan, bahkan perlindungan yang selama ini menjadi sandarannya. Tapi anehnya, ia merasa lebih bebas dari sebelumnya. Di dalam mobil yang diparkir di depan rumah, Saito sudah menunggunya. Sahabat setianya itu menatapnya dengan sorot mata penuh simpati. “Apa yang mereka katakan?” tanya Saito sambil menyalakan mesin. “Mereka sudah melepaskanku,” jawab Abizar singkat, tapi ada nada getir dalam suaranya. Saito menghela napas panjang. “Jadi, apa rencanamu sekarang?” Abizar menatap ke luar jendela, memandangi jalanan yang basah oleh hujan. “Aku harus menemukan Elsa. Itu saja yang penting.” Saito mengangguk tanpa banyak bicara. Ia tahu betapa dalam perasaan Abizar pada Elsa, meskipun pria itu tidak pernah mengungkapkannya dengan kata-kata. “Kau tahu, mencari Elsa tidak akan mudah. Darwin Luis tidak akan membiarkanmu mendekatinya.” Abizar tersenyum tipis, tapi tidak ada kebahagiaan dalam senyuman itu. “Aku sudah kehilangan segalanya. Tidak ada lagi yang bisa mereka ambil dariku.” Di rumah Darwin Luis, ketegangan memuncak ketika Darwin mendapati Elsa sedang membereskan barang-barangnya. Ia berdiri di pintu kamar Elsa dengan tatapan marah. “Apa yang kau lakukan, Elsa?” tanyanya dengan nada penuh otoritas. Elsa menoleh, tangannya berhenti memasukkan pakaian ke dalam koper. “Aku ingin pergi, Darwin. Aku butuh waktu untuk sendiri.” Darwin melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. “Kau pikir aku akan membiarkanmu begitu saja? Kau tahu betapa bahayanya situasi ini.” “Bahaya apa, Darwin?” balas Elsa, suaranya mulai bergetar. “Bahaya dari siapa? Dari Abizar? Dia tidak akan menyakitiku.” “Ini bukan tentang Abizar saja,” kata Darwin tajam. “Kau tidak tahu siapa yang mengincar kalian. Keluarga Smit tidak main-main, Elsa. Mereka bisa melakukan apa saja untuk melukai kalian.” Elsa menggeleng, air mata mengalir di pipinya. “Aku tidak peduli, Darwin. Aku hanya ingin hidupku kembali. Aku lelah menjadi pion dalam permainan ini.” Darwin mendekatinya, menatap adik iparnya dengan penuh kesungguhan. “Aku hanya ingin melindungimu, Elsa. Kalau itu berarti menjauhkanmu dari Abizar, maka aku akan melakukannya.” “Darwin, kau tidak bisa memaksaku,” bisik Elsa dengan suara bergetar. “Aku berhak menentukan hidupku sendiri.” Namun, Darwin tidak menjawab. Ia hanya menghela napas panjang sebelum meninggalkan kamar itu, meninggalkan Elsa dengan hatinya yang penuh pergolakan. Beberapa hari kemudian, Abizar akhirnya menemukan lokasi tempat Elsa tinggal sementara. Ia berdiri di luar pagar rumah kecil itu, menyadari bahwa ada banyak halangan di antara mereka. Ia melihat dari kejauhan, Elsa sedang duduk di taman belakang, memegang buku sketsanya. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap memancarkan keindahan yang sama seperti yang selalu ia ingat. Abizar melangkah mendekat, tapi sebelum ia mencapai gerbang, seseorang menghentikannya. Darwin Luis berdiri di sana, dengan tangan menyilang di dadanya. “Kau tidak seharusnya ada di sini,” kata Darwin dingin. Abizar menatapnya tanpa gentar. “Aku hanya ingin berbicara dengannya.” “Tidak ada yang perlu dibicarakan,” balas Darwin. “Elsa sudah cukup terluka. Kau hanya akan membuat segalanya lebih buruk.” “Aku mencintainya,” kata Abizar tegas. “Aku akan melakukan apa saja untuk melindunginya, bahkan jika itu berarti menghadapi keluargamu atau siapa pun yang mencoba menyakitinya.” Darwin tertawa kecil, tapi tidak ada humor dalam tawanya. “Kau pikir cinta saja cukup? Kau pikir kau bisa melindungi Elsa dari semua bahaya yang ada? Kau bahkan tidak bisa melindungi dirimu sendiri.” Abizar mengepalkan tangan, tapi ia menahan emosinya. “Aku tahu aku bukan yang terbaik untuknya. Tapi aku tidak akan menyerah.” Darwin mendekat, menatapnya tajam. “Kau tidak akan pernah diterima dalam keluarga ini, Abizar. Tidak peduli apa yang kau lakukan.” Kata-kata itu menghantam Abizar seperti badai, tapi ia tidak menunjukkan kelemahannya. Ia hanya berdiri di sana, menatap Darwin dengan penuh tekad. “Kalau begitu, aku akan membuktikan bahwa aku layak untuknya,” kata Abizar akhirnya. “Tidak peduli berapa lama waktu yang kubutuhkan.” Darwin tidak menjawab. Ia hanya melangkah pergi, meninggalkan Abizar sendirian di depan gerbang. Tapi di dalam hatinya, Abizar tahu ini baru permulaan dari perjuangannya. Dan ia tidak akan berhenti sampai ia bisa memeluk Elsa lagi. ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN