Langit mendung di atas mansion tua itu seolah mencerminkan suasana hati Abizar. Ia berdiri di teras belakang, menatap ke arah taman tempat Elsa berada beberapa saat lalu. Angin dingin membawa aroma tanah basah, tapi rasa dingin itu tak sebanding dengan kehampaan yang kini menggerogoti hatinya.
“Dia tidak akan semudah itu menerimamu,” suara Darwin terdengar di belakangnya. Lelaki itu berdiri santai di ambang pintu dengan segelas anggur di tangan. “Elsa sudah terlalu sering terluka. Kau hanya salah satu penyebabnya.”
Abizar menoleh tajam. “Aku tahu aku salah. Tapi aku akan memperbaikinya, apa pun yang harus kulakukan.”
Darwin terkekeh kecil, seolah tak percaya dengan keteguhan Abizar. “Kau terlalu percaya diri. Cinta saja tidak cukup, Abizar. Kau tahu dunia seperti apa yang kita jalani. Kau tahu Elsa membutuhkan lebih dari sekadar janji.”
“Aku tidak peduli dunia macam apa ini,” balas Abizar dingin. “Yang aku pedulikan hanya Elsa. Dan aku akan memastikan dia tahu itu.”
Darwin menatapnya dalam diam sebelum akhirnya berbalik dan meninggalkannya sendirian. Namun, kata-katanya masih bergema di kepala Abizar. Cinta saja tidak cukup.
Abizar mengepalkan tangan, menguatkan tekadnya. Ia melangkah keluar, membiarkan hujan gerimis membasahi dirinya saat ia berjalan menuju taman belakang. Elsa masih di sana, duduk di bangku kayu dengan buku kecil di tangannya. Wajahnya yang biasanya cerah kini terlihat muram, dan mata indahnya tampak lelah.
“Elsa,” panggil Abizar dengan suara pelan namun tegas.
Elsa menoleh, dan untuk sesaat, mereka hanya saling menatap dalam keheningan. Namun, tatapan Elsa penuh dengan dinding yang sulit ditembus.
“Apa lagi yang kau inginkan, Abizar?” tanyanya dingin, suaranya hampir berbisik tapi sarat dengan luka.
“Aku ingin kita bicara,” jawab Abizar, mencoba mendekatinya.
“Bicara?” Elsa tertawa kecil, tapi nadanya pahit. “Kau ingin bicara sekarang? Setelah sekian lama aku mencoba mendekatimu dan hanya mendapatkan dinginnya sikapmu?”
Abizar berhenti beberapa langkah darinya, membiarkan jarak itu tetap ada, meski hatinya ingin mendekap Elsa erat-erat. “Aku tahu aku salah. Aku tahu aku membuatmu merasa tidak berarti. Tapi aku ingin memperbaikinya.”
Elsa menatapnya dengan tatapan tajam. “Kenapa sekarang? Kenapa baru sekarang kau peduli?”
Pertanyaan itu menusuk Abizar lebih dalam daripada yang ia duga. Ia tahu ia pantas mendapatkannya, tapi ia tak tahu harus menjawabnya dengan cara apa yang bisa menyembuhkan luka Elsa.
“Karena aku bodoh,” akhirnya ia berkata. “Aku butuh kehilanganmu untuk menyadari betapa berartinya kau untukku.”
Elsa tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Itu alasan yang bagus. Tapi tidak cukup.”
Abizar mendekat satu langkah lagi. “Aku akan melakukan apa saja untuk membuktikan bahwa aku serius, Elsa. Aku akan menunggu. Aku akan melindungimu. Aku akan melakukan apa pun.”
Elsa menunduk, memandangi buku kecil di tangannya. Tangannya gemetar, dan air mata menggenang di sudut matanya. “Aku sudah terlalu lelah, Abizar. Kau tidak tahu betapa sulitnya bagiku untuk terus berharap. Dan sekarang, aku bahkan tidak tahu apakah aku bisa mempercayaimu lagi.”
“Elsa…” Suara Abizar bergetar. Ia tahu ia sedang kehilangan kendali, tapi ia tak peduli. “Aku akan menghabiskan sisa hidupku untuk membuktikan bahwa kau bisa mempercayaiku lagi.”
Elsa berdiri tiba-tiba, membuat Abizar terdiam. Ia menatapnya dengan mata yang penuh emosi, bercampur antara marah, sedih, dan kecewa. “Apa yang kau mau, Abizar? Cintamu… atau aku hanya bagian dari permainan?”
Pertanyaan itu menggantung di udara, menghantam Abizar dengan keras. Elsa tak menunggu jawaban. Ia melangkah pergi, meninggalkan Abizar yang masih terpaku di tempatnya, menatap punggungnya yang semakin menjauh.
---
Malam itu, hujan deras kembali turun. Elsa berdiri di depan jendela kamarnya, memandangi taman yang basah oleh air hujan. Di luar, petir sesekali menyambar, menerangi kegelapan. Di dalam hatinya, badai yang sama sedang berkecamuk.
Pintu kamar terbuka, dan Maya masuk dengan langkah pelan. Wanita itu membawa secangkir teh hangat, lalu meletakkannya di meja kecil di dekat Elsa.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Maya lembut.
Elsa mengangguk, meski Maya tahu itu tidak benar. Maya duduk di sofa, menatap adiknya dengan tatapan penuh kekhawatiran. “Aku tahu ini sulit, Elsa. Tapi kau harus tahu apa yang benar-benar kau inginkan.”
Elsa berbalik, menatap Maya dengan mata yang mulai basah. “Aku ingin berhenti berharap, Kak. Aku ingin melupakan semuanya. Tapi kenapa rasanya begitu sulit?”
Maya bangkit, menghampiri Elsa, dan memeluknya erat. “Mungkin karena di dalam hatimu, kau tahu bahwa dia benar-benar mencintaimu.”
“Tapi aku takut, Kak,” bisik Elsa, suaranya serak. “Aku takut dia hanya akan melukai aku lagi.”
“Tidak ada jaminan dalam cinta, Elsa. Tapi yang bisa kau lakukan adalah memberi kesempatan, atau melepaskannya sepenuhnya.” Maya mengusap rambut adiknya dengan lembut. “Pilihlah jalan yang bisa membuatmu bahagia, apa pun itu.”
Elsa hanya mengangguk dalam diam, membiarkan air matanya mengalir. Di dalam hatinya, ia tahu Maya benar. Tapi memilih jalan itu terasa seperti memikul dunia di pundaknya.
---
Di tempat lain, Abizar duduk di ruang tamu mansion, memandangi gelas minuman di tangannya. Ia sudah tidak tahu berapa lama ia duduk di sana, hanya ditemani pikiran-pikiran yang menghantui.
“Kau tidak terlihat seperti pria yang menyerah,” suara Darwin memecah keheningan. Pria itu berdiri di dekat pintu, mengamatinya dengan senyum kecil.
“Aku tidak akan menyerah,” balas Abizar dengan suara rendah.
Darwin masuk dan duduk di sofa di seberangnya. “Bagus. Karena aku tidak akan mempermudah ini untukmu.”
Abizar mengangkat alis. “Apa maksudmu?”
Darwin tersenyum dingin. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kau benar-benar layak untuk Elsa. Jadi, bersiaplah menghadapi apa pun yang akan terjadi.”
Abizar menatapnya tajam. “Aku tidak peduli apa yang harus aku hadapi. Aku akan melewati semuanya.”
Darwin menyesap anggurnya, lalu berdiri. “Kita lihat saja.”
Setelah Darwin pergi, Abizar mengepalkan tangannya. Ia tahu ini bukan hanya tentang memenangkan hati Elsa, tapi juga membuktikan bahwa ia bisa melindunginya dari segala bahaya yang mengintai.
---
Pagi harinya, Elsa berjalan-jalan sendirian di taman. Udara pagi yang segar memberikan sedikit ketenangan, meski pikirannya masih dipenuhi kebingungan. Ia berhenti di dekat danau kecil, memandangi air yang tenang.
“Pagi yang indah, bukan?” suara Abizar terdengar dari belakangnya.
Elsa menoleh, menemukan Abizar berdiri beberapa langkah darinya. Pria itu tampak lelah, tapi matanya memancarkan tekad yang kuat.
“Kau masih di sini,” gumam Elsa, suaranya datar.
“Aku bilang aku akan menunggumu,” jawab Abizar pelan. Ia melangkah mendekat, tapi menjaga jarak yang cukup agar Elsa tidak merasa terancam. “Aku tidak akan pergi sampai kau percaya padaku.”
Elsa menghela napas. “Abizar, aku butuh waktu. Dan aku butuh ruang. Kau tidak bisa memaksa ini.”
“Aku tahu,” balas Abizar dengan nada lembut. “Tapi aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tidak akan pernah menyerah.”
Elsa mengangguk pelan, lalu berbalik pergi. Namun, sebelum ia terlalu jauh, ia berhenti dan berkata, “Aku hanya ingin kau tahu… aku tidak pernah ingin melupakanmu. Tapi aku juga tidak ingin terluka lagi.”
Abizar hanya bisa menatap punggung Elsa yang semakin menjauh. Kata-kata itu adalah luka baru baginya, tapi juga menjadi alasan untuk terus berjuang.
Ia tahu jalan ini tidak akan mudah, tapi ia juga tahu bahwa Elsa adalah satu-satunya hal yang berharga dalam hidupnya. Dan ia tidak akan membiarkannya pergi tanpa perlawanan.
Namun, di tempat lain, seseorang sedang menyusun rencana. Telepon berbunyi di sebuah ruangan gelap, dan suara dingin menjawab panggilan itu.
“Abizar mulai mendekati Elsa lagi,” lapor seseorang di ujung telepon.
“Bagus,” suara itu terdengar penuh ancaman. “Kita akan lihat sejauh mana dia berani melangkah.”