MEMAHAMI HATI

1158 Kata
Dini hari yang sunyi, Abizar duduk di ruang kerjanya yang redup, hanya diterangi oleh sinar lampu meja yang samar. Sejak pertemuannya dengan Elsa, pikirannya tak pernah tenang. Setiap kata-kata Elsa terngiang di telinganya, mengiris hatinya perlahan. Dia menghela napas panjang, memijat pelipisnya yang berdenyut. Untuk pertama kalinya, Abizar merasa ragu pada dirinya sendiri. Di dunia yang ia jalani, perasaan hanyalah sesuatu yang lemah dan mudah diabaikan. Namun, ketika menyangkut Elsa, perasaan itu berubah menjadi sesuatu yang lebih kuat dari yang ia duga. Cinta itu hadir begitu nyata, begitu besar, hingga menggetarkan seluruh jiwanya. Abizar berdiri, melangkah ke jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota yang sunyi. Di luar sana, cahaya-cahaya lampu jalan bersinar, menyelimuti kegelapan malam. Pikiran tentang Elsa kembali memenuhi hatinya. "Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu percaya, Elsa?" bisiknya pelan, suara itu tenggelam dalam sunyi. Dia tahu, sekadar kata-kata tak akan cukup. Elsa adalah seseorang yang terluka, seseorang yang telah lama mengubur harapan untuk bersamanya. Abizar sadar, sikapnya yang dingin selama ini telah melukai gadis itu, membuatnya merasa tak diinginkan. Sekarang, semua perasaan itu meledak dalam dirinya, dan ia tak mampu mengabaikannya. Abizar menyandarkan kepalanya di kaca jendela, menatap bayangannya sendiri. “Aku mencintaimu, Elsa,” gumamnya lirih, seakan menyatakan janji pada dirinya sendiri. --- Pagi mulai menyingsing, dan Abizar telah memutuskan. Hari ini, ia akan berbicara dengan Darwin. Mungkin ini bukan keputusan yang mudah, tapi ia harus melangkah. Sebagai seseorang yang menganggap Darwin seperti kakak sendiri, ia harus menjelaskan semuanya, termasuk keputusannya yang kini membawa risiko. Di kantor, Darwin sudah menunggunya dengan ekspresi yang tegas. "Abizar, aku tak menduga kau akan datang pagi ini," sambut Darwin dengan suara dingin, matanya mengamati Abizar dengan tajam. Abizar duduk di kursi di depan meja kerja Darwin, mengatur napasnya yang sempat berantakan. "Aku ingin berbicara soal Elsa," ucapnya tanpa basa-basi. Darwin mendengus pelan. "Elsa? Abizar, kau baru saja meninggalkan pernikahan yang sudah dirancang selama berbulan-bulan. Keluarga kita dan keluarga Natasya tidak akan tinggal diam." Abizar menatap langsung ke mata Darwin. "Aku tahu. Tapi ini bukan tentang mereka, Darwin. Ini tentang perasaanku pada Elsa. Aku tidak bisa membiarkan dia pergi begitu saja." Darwin menghela napas panjang, seolah-olah mencoba memahami jalan pikiran Abizar. “Kau tahu, bukan hanya Elsa yang tersakiti di sini. Kau juga mencoreng harga dirimu sendiri, dan harga diri keluargamu. Kau meninggalkan pernikahan di depan semua orang, Abizar.” "Aku tak peduli," jawab Abizar tegas. "Aku rela menghadapi semuanya demi Elsa." Darwin terdiam, menatap Abizar dengan sorot mata penuh pertimbangan. “Kau yakin ini bukan sekadar keinginan sesaat? Bukan sekadar permainan emosi yang akan kau sesali nanti?” Abizar menggeleng. “Aku sudah cukup lama hidup dengan rasa acuh, menjalani semuanya seperti robot. Tapi Elsa… dia membuatku merasa hidup. Aku tahu dia mungkin sudah menyerah padaku, tapi aku akan melakukan apa pun untuk membuatnya percaya bahwa perasaanku ini tulus.” Darwin tersenyum tipis, meskipun sorot matanya masih keras. "Abizar, aku tahu kau pria yang tegas dan penuh kendali, tapi kali ini, aku harap kau benar-benar tahu apa yang kau lakukan. Jika ini tentang Elsa, maka kau harus siap menghadapi konsekuensinya." Abizar mengangguk mantap. "Aku siap, Darwin. Apa pun risikonya." --- Setelah pertemuannya dengan Darwin, Abizar merasa beban yang selama ini menekan hatinya sedikit terangkat. Kini, ia tahu bahwa ia harus menghadapi segalanya, bukan dengan cara mundur atau menghindar, tapi dengan langkah maju. Di sepanjang perjalanan pulang, bayangan Elsa kembali muncul. Gadis itu telah mengubah hidupnya dengan cara yang tak pernah ia bayangkan. Setiap senyumnya, setiap tatapan hangatnya, adalah alasan bagi Abizar untuk memperjuangkan apa yang selama ini ia anggap mustahil. Sekarang, ia tidak bisa lagi menunggu atau berpura-pura. Ia harus melakukan sesuatu yang nyata. Setibanya di apartemen, Abizar duduk di meja kerjanya, menarik selembar kertas dan mulai menulis. Di dalam surat itu, ia mencurahkan semua yang ia rasakan, segala penyesalan, harapan, dan janji yang ingin ia tepati. “Elsa, aku tahu kau mungkin tak ingin mendengar semua ini. Tapi izinkan aku untuk sekali saja jujur padamu. Izinkan aku untuk menunjukkan apa yang sebenarnya ada di hatiku….” Setiap kata yang ia tuliskan mengalir penuh emosi, seakan setiap huruf di atas kertas itu adalah bagian dari jiwanya. Ia menyelesaikan surat itu dengan sebuah janji yang tak terucap, namun begitu kuat: bahwa ia akan memperjuangkan cintanya, bahwa ia tidak akan pernah berhenti. --- Esoknya, Abizar memutuskan untuk mengantarkan surat itu sendiri. Ia tahu ini mungkin tak akan mudah, namun ia tak ingin menyerah. Di depan rumah Elsa, ia mengetuk pintu dan berharap gadis itu bersedia mendengarkan isi hatinya. Ketika pintu terbuka, bukan Elsa yang ia temui, melainkan Amira, sahabat Elsa. Amira menatap Abizar dengan sorot mata waspada, seakan tahu betapa sulitnya situasi ini bagi Elsa. "Amira," sapa Abizar dengan pelan, mencoba mencari kata yang tepat. “Aku datang untuk berbicara dengan Elsa, atau setidaknya… menyerahkan ini padanya.” Abizar mengulurkan surat yang telah ia tulis dengan tangan gemetar, berharap Elsa mau membaca dan memahami perasaannya. Amira melihat surat itu dengan tatapan ragu, namun akhirnya menerimanya. “Aku akan memberikannya padanya,” jawab Amira singkat. “Tapi aku tidak bisa menjanjikan Elsa akan membaca atau membalasnya.” Abizar mengangguk kecil. "Aku mengerti. Terima kasih, Amira." Setelah menyerahkan surat itu, Abizar melangkah pergi dengan perasaan bercampur aduk. Ia tahu Elsa berhak menentukan pilihan, namun dalam hatinya, ia masih memegang janji itu. Sebuah janji untuk tidak menyerah. --- Beberapa hari berlalu tanpa kabar dari Elsa. Abizar menghabiskan malam-malamnya di apartemen, duduk sendirian di tengah keheningan, bertanya-tanya apakah Elsa akan mengerti perasaannya. Hatinya diliputi harapan, tapi juga ketakutan bahwa mungkin semua ini sudah terlambat. Di saat yang sama, ancaman dari dunia yang ia tinggalkan mulai terasa lebih nyata. Keluarga Natasya dan rekan-rekan mereka yang berpengaruh menganggap keputusan Abizar sebagai penghinaan. Kabar tentang pemutusan pernikahan itu menyebar cepat di kalangan bisnis dan mafia, dan Abizar tahu bahwa setiap langkahnya kini berada dalam pengawasan ketat. Namun, di tengah tekanan dan ancaman, hanya satu hal yang tetap menjadi fokus utamanya: Elsa. --- Suatu malam, ketika Abizar sedang duduk di sofa dengan pikiran melayang, ponselnya berdering. Nama Amira tertera di layar, membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menjawab panggilan itu dengan hati-hati. "Amira?" sapanya, suaranya terdengar tegang. “Aku hanya ingin memberitahumu bahwa Elsa menerima suratmu. Dia membacanya,” kata Amira, tanpa basa-basi. Abizar terdiam, tak mampu berkata-kata. Sebuah perasaan lega mengalir dalam dirinya, meskipun ia belum tahu apa reaksi Elsa. “Dan…?” tanyanya dengan penuh harap. Amira menarik napas panjang di seberang telepon. "Dia belum memberikan jawaban apa pun. Tapi… aku rasa dia butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Hanya itu yang bisa kukatakan." Abizar mengangguk pelan, meskipun Amira tak bisa melihatnya. "Terima kasih, Amira. Aku menghargai bantuanmu." Setelah menutup telepon, Abizar duduk kembali, merasa sedikit lebih ringan. Setidaknya, Elsa telah membaca suratnya. Itu berarti gadis itu mungkin, hanya mungkin, akan memberinya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Abizar menatap ke luar jendela, ke arah bintang-bintang yang bersinar di langit malam. Dalam hati, ia berjanji sekali lagi. “Elsa, aku akan memperjuangkanmu. Apa pun risikonya, aku tidak akan menyerah.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN