IDENTITAS YANG TERUNGKAP

1176 Kata
Pagi itu, udara dingin terasa menusuk hingga ke tulang. Langit masih kelabu, pertanda hujan semalam belum benar-benar berhenti. Di depan rumah besar bergaya klasik milik keluarga Darwin, Abizar berdiri dengan langkah penuh keraguan. Pikirannya berputar tak tentu arah, antara perasaan bersalah dan keinginan untuk menjelaskan segalanya pada Elsa. Ia mengetuk pintu kayu yang tinggi di depannya. Pintu itu terasa berat, seolah memiliki beban yang sama dengan hatinya saat ini. Tak lama kemudian, pintu terbuka, memperlihatkan sosok Elsa yang tampak terkejut melihatnya di sana. "Abizar?" Elsa memandangnya dengan ekspresi yang sulit diterka. Di balik sorot mata itu, ada kekuatan, namun juga kelelahan yang seolah sudah lama berakar dalam dirinya. "Elsa, aku ingin bicara. Bisakah kita berbicara sebentar?" tanya Abizar dengan suara yang nyaris berbisik. Elsa menghela napas pelan, seolah mencari sisa-sisa kesabaran dalam dirinya. Ia memandang Abizar, mencoba mencari alasan di balik kehadiran pria itu pagi ini. "Abizar, kalau ini soal pernikahan yang kau batalkan, aku rasa aku tidak punya kepentingan dalam urusan itu." "Tidak, bukan hanya itu." Abizar menatapnya, berusaha menahan emosi yang mulai menguasai dirinya. "Aku ingin menjelaskan... tentang perasaanku, tentang kenapa aku membuat keputusan itu." Elsa menatap Abizar dengan tatapan kosong. "Abizar, perasaan? Setelah sekian lama kau bersikap dingin, menjaga jarak, tiba-tiba kau bicara soal perasaan?" Abizar terdiam, lidahnya kelu. Kata-kata Elsa menohoknya, membuatnya menyadari betapa dinginnya sikap yang selama ini ia tunjukkan. Tapi kali ini, ia tidak ingin mundur. Ia datang ke sini untuk memperbaiki segalanya, atau setidaknya, mencoba. "Elsa, aku tahu selama ini aku salah. Aku bersikap dingin karena aku pikir itu yang terbaik. Tapi setelah aku melihatmu menjauh... setelah kau berhenti menatapku seperti dulu, aku sadar bahwa aku tak bisa tanpamu," ujar Abizar dengan suara bergetar. Elsa tertawa kecil, namun tawa itu jauh dari bahagia. "Kau baru menyadari itu sekarang? Ketika aku sudah lelah, ketika aku sudah berhenti berharap." "Elsa, beri aku kesempatan untuk memperbaikinya. Aku ingin kita bisa memulai kembali," kata Abizar penuh harap. Elsa menggeleng pelan. "Kita tidak bisa, Abizar. Dunia kita berbeda. Kau majikanku, dan aku... aku hanyalah anak yatim piatu yang kebetulan tinggal di rumah ini karena kebaikan hati Darwin dan Maya. Aku bukan bagian dari duniamu." "Kau lebih dari itu bagiku," sahut Abizar tegas, mencoba meyakinkannya. "Tapi tidak di dunia ini," Elsa memotongnya, suaranya dingin namun sarat dengan luka. "Kau punya segalanya, Abizar. Nama besar, kekuasaan, dan status. Sementara aku? Aku hanya seseorang yang menumpang hidup di rumah ini, seseorang yang tak punya apa-apa selain martabat yang tersisa." Abizar merasakan kepedihan mendalam dalam setiap kata yang Elsa ucapkan. "Elsa, semua itu tidak penting bagiku. Aku mencintaimu. Aku akan melakukan apa saja untukmu." "Mencintaiku?" Elsa tersenyum pahit, seolah tidak percaya pada kata-kata itu. "Abizar, kalau kau benar mencintaiku, kau tak akan membiarkan aku hidup dalam ketidakpastian selama ini. Kau tak akan bersikap acuh dan dingin. Kau hanya baru sadar saat aku pergi, saat semuanya sudah terlambat." Abizar terdiam. Ia tahu Elsa benar. Ia tahu bahwa selama ini ia membiarkan dirinya larut dalam kebiasaan dingin dan profesional, mengabaikan perasaan yang seharusnya ia sadari lebih awal. "Aku minta maaf, Elsa. Aku benar-benar minta maaf. Tapi beri aku kesempatan untuk memperbaikinya," ucap Abizar dengan nada memohon. Elsa menggelengkan kepala, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku lelah, Abizar. Aku sudah cukup terluka. Aku tidak bisa lagi berharap pada sesuatu yang tak pasti. Aku sudah belajar untuk melepaskanmu." "Elsa, jangan katakan itu," Abizar berusaha mendekatinya, tapi Elsa mundur selangkah, membuat jarak di antara mereka. "Abizar, kau tidak mengerti. Kau datang dengan kata-kata indah, tapi aku yang harus menanggung rasa sakitnya," ujar Elsa lirih, namun penuh ketegasan. "Jangan datang lagi ke sini. Jangan membuat segalanya semakin sulit untukku." Abizar merasakan dadanya sesak, seolah setiap kata yang diucapkan Elsa adalah belati yang menusuknya. "Aku akan membuktikan perasaanku padamu, Elsa. Aku tak akan menyerah." "Terserah apa yang kau lakukan, Abizar," sahut Elsa pelan, namun dengan keteguhan yang tak tergoyahkan. "Tapi aku tidak bisa lagi." Elsa menatapnya untuk terakhir kali, lalu perlahan menutup pintu di depan wajah Abizar. Pintu itu tertutup rapat, membiarkan Abizar berdiri di luar dengan hati yang hancur berkeping-keping. --- Di dalam rumah, Elsa menyandarkan punggungnya di pintu, air mata akhirnya jatuh tanpa bisa ia tahan. Tangannya gemetar, hatinya sakit, namun ia tahu bahwa ia harus mengambil keputusan ini. Ia tahu bahwa dunia mereka berbeda, bahwa harapan yang selama ini ia pupuk hanya akan membawa lebih banyak luka. Amira, sahabatnya yang sedari tadi mendengar dari kejauhan, menghampiri Elsa dan memeluknya dengan lembut. "Elsa, kau melakukan hal yang benar," bisik Amira, mencoba menenangkan gadis yang sedang terluka itu. "Aku tidak ingin lagi merasakan ini, Amira. Aku tidak ingin hidup dalam bayang-bayang perasaan yang tak pernah jelas," ujar Elsa dengan suara yang bergetar. Amira mengangguk, merasakan betapa dalam luka yang Elsa simpan selama ini. "Aku tahu, Elsa. Kau berhak bahagia, kau berhak mendapatkan seseorang yang benar-benar bisa mencintaimu tanpa harus membuatmu menunggu dalam ketidakpastian." Elsa mengangguk pelan, meski air mata masih mengalir di pipinya. Ia tahu keputusan ini bukanlah hal yang mudah, tapi ia juga tahu bahwa hidupnya harus terus berjalan. Dan jika itu berarti meninggalkan cinta yang selama ini ia simpan untuk Abizar, maka ia siap melakukannya. --- Di luar rumah, Abizar masih berdiri di tempat yang sama, memandang pintu yang tertutup di hadapannya. Dadanya terasa sesak, napasnya berat. Ia tahu bahwa kata-kata Elsa tadi bukan sekadar penolakan. Itu adalah keputusan yang sudah dipikirkan dengan matang. Namun, di balik rasa sakit itu, ada sebuah tekad yang tumbuh. Ia tahu bahwa perasaannya pada Elsa bukan sekadar angan-angan. Ia tahu bahwa cintanya padanya adalah sesuatu yang nyata, sesuatu yang tak akan mudah ia lepaskan. "Elsa, aku tidak akan menyerah," gumamnya pelan, hampir seperti janji yang ia ucapkan pada dirinya sendiri. Abizar berbalik, meninggalkan rumah itu dengan langkah berat. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa ia akan melakukan apa saja untuk membuktikan cintanya. Meski harus melawan seluruh dunia, meski harus menghadapi kenyataan pahit yang selama ini ia hindari, ia akan tetap berjuang. --- Malam itu, Abizar duduk di ruang kerjanya yang sepi, memandangi secarik kertas di atas meja. Pikirannya melayang pada setiap kenangan bersama Elsa, setiap momen kecil yang kini terasa begitu berarti. Ia tahu bahwa keputusan untuk meninggalkan Natasya adalah langkah awal yang sulit, namun ia tidak menyesal. Mungkin ini adalah harga yang harus ia bayar untuk menemukan cinta yang sejati. Ponselnya tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan masuk, dan ketika ia membukanya, wajahnya berubah tegang. Pesan itu berasal dari seseorang yang tidak ia kenal, tapi isinya jelas. "Kau telah melanggar batas, Abizar. Jangan berpikir bahwa kau bisa meninggalkan pernikahan itu tanpa konsekuensi. Kami akan datang untukmu." Abizar mengepalkan tangan, merasakan darahnya berdesir. Ini bukan sekadar ancaman. Ini adalah peringatan dari dunia yang selama ini ia coba hindari. Dunia di mana kekuasaan dan kekerasan menjadi jalan keluar. Namun, ia tahu bahwa apa pun yang akan terjadi, ia sudah siap. Demi Elsa, demi cinta yang tak akan pernah ia abaikan lagi, ia akan menghadapi semua risiko itu. Dengan napas panjang, Abizar mematikan ponsel dan bersandar di kursinya. Ia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan ancaman yang datang hanya membuatnya semakin yakin akan keputusannya. Demi Elsa, ia akan melawan segalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN