“Sialan! Hariku apes banget! Kayaknya tuh cewek memang pembawa sial, tiap kali urusan sama dia, apes beruntun aku.” Stefi memukul setirnya bertubi-tubi, hanya itu yang bisa ia jadikan sasaran empuk di saat ia mengemudi. Emosinya masih membuncah, nafasnya pun naik turun sedari tadi belum juga normal. Kekesalan yang tak bisa ia luapkan itu membuat Stefi merasa nyaris meledak. Mendadak ia membanting setirnya ke tepi jalanan, merasa tak sanggup lagi meneruskan perjalanan dengan hati dipenuhi emosi.
Perasaan Stefi bergejolak, semula ia merasa sangat optimis dengan pekerjaannya, tapi sekarang ia dirundung dilema antara harus melanjutkan atau berhenti dari kegilaan ini dan kembali dengan pekerjaannya yang masuk akal. Setelah beberapa saat berpikir, Stefi menggelengkan kepalanya, “Tidak! Aku nggak mau gini terus, kalau dia beneran laporin aku ke Oppa, bahkan Onnie aja nggak akan bisa menolongku.” Seru Stefi mulai ketakutan. Jemarinya begitu sigap meraih tas tangan yang ada di kursi sebelahnya, ia harus segera menghubungi Ae Ri dan menyatakan pengunduran diri demi keselamatan jiwa dan raganya.
Keputusan bulat itu ternyata hanya bertahan beberapa saat, ketika layar ponsel dihidupkan, bulu kuduk Stefi merinding melihat setumpuk notifikasi panggilan tak terjawab dan pesan singkat yang masuk. Semua itu dari satu orang, Ae Ri. Stefi mengerutkan dahi, matanya membelalak lebar membaca pesan-pesan yang tak satupun tertulis bagus.
‘Awas kalau aku tidak mendapatkan kabar baik!’
‘Segera hubungi aku setelah kamu tahu di mana wanita itu tinggal dan apa yang dilakukannya!’
‘Stefiiii... Ke mana kamu! Jangan coba kabur dariku sebelum misi ini selesai, atau aku tak segan menyusul ke sana untuk menjitakmu!’
Dan masih puluhan pesan yang tak sanggup lagi Stefi baca saking terasa horornya. Benda pipih itu ia geletakkan di atas dasbor, tanpa sadar Stefi mengusap kasar wajahnya, beban teror dari wanita Korea itu sungguh terasa berat. Apalagi Stefi sudah mengambil gajinya di muka dan uangnya sudah ia habiskan untuk membayar cicilan mobil. Rasanya ia ingin menangis dan menjerit sejadi-jadinya, tekanan batin yang merasa terpojokkan oleh kondisi yang tidak menguntungkan. Ia takut pada Ye Jun yang punya kuasa dan bisa melakukan apapun dengan uangnya, tapi Ae Ri juga tak kalah horornya. Tidak ada yang sanggup menandingi wanita yang sedang marah, itu jauh lebih menakutkan ketimbang hantu, dan itulah yang ada dalam benak Stefi sekarang. “Oh, aku bisa gila... Aku harus gimana sekarang? Ayo Stefi... Mikir dong! Mikir yang bener!” Seru Stefi memukul pelan kepalanya, berharap ide brilian bisa muncul dari sana dengan cara seperti itu. Seketika senyum licik Stefi mengembang, anggap saja cara itu cukup jitu, ia terpikirkan seseorang yang bisa membantunya.
“Intinya kan Onnie mau pastikan si cewek ganjen itu pisah sama Oppa, kalau aku yang ngusik dia kan aku yang dibilang salah. Tapi kalau si cewek ganjen ini yang selingkuh, bukan salahku dong. Hi hi hi... Hebat kamu Stefi, kenapa nggak dari kemarin sih kepikiran ide ini.” Seru Stefi yang akhirnya bisa memamerkan sederet gigi putih rapinya dalam bentuk senyuman. Ia bergegas meraih ponselnya yang ada di atas dasbor, namun perhatiannya justru melenceng pada spion kecil di tengah. Naluri yang menuntunnya untuk mematut wajah di spion kecil itu ternyata benar, ada sesuatu yang aneh dan terlewatkan oleh Stefi. Dalam hitungan detik, jerit panjang Stefi pecah, shock dan histeris melihat makeup-nya luntur akibat kekhilafan tangannya sendiri saat mengusap area itu. “Makeup-ku....”
Urusan antara Ae Ri dan Chin Ho masih belum berujung, keduanya masih berdiri dengan pikiran masing-masing dan Ae Ri masih enggan melepaskan pengawal itu sebelum ia mendapatkan jawaban yang memuaskan. “Pengawal Chin, aku sangat menghargai kesetiaanmu. Kita sama-sama menginginkan yang terbaik untuk dia. Jadi kamu tidak perlu sungkan merahasiakan apapun tentang dia dariku. Aku akan memberimu penghargaan tertinggi, berapapun yang kamu mau.” Ujar Ae Ri dengan suara lembut dan pelannya, meyakinkan Chin Ho untuk berpaling menjadi orangnya.
Chin Ho mengulum senyuman, wanita kecil di hadapannya sedang berusaha menggoyah kesetiaannya. Ye Jun memang benar, wanita yang berstatus sepupunya itu bukanlah wanita yang simpel. Chin Ho kini menyadari dan percaya mengapa Ye Jun menaruh rasa was-was kepada satu-satunya orang terdekatnya itu. Tidak ada orang yang sepenuhnya bisa dipercaya, seperti pisau dengan dua sisi, tetap saja ada sisi yang bisa mencelakai, setumpul apapun benda tajam itu. “Maafkan saya nona, saya tidak pantas menerima penghargaan tertinggi dari anda. Biarlah tuan muda yang menilai pantas tidaknya saya mendapatkan itu darinya. Nona tidak perlu repot membujukku, keputusanku sudah bulat. Saya akan tetap berada di pihak tuan muda. Permisi.” Chin Ho membungkukkan badannya lalu berjalan pergi tanpa peduli bagaimana ekspresi geram Ae Ri yang berusaha keras menutupi kemarahannya.
Ae Ri tetap mematung, lamat-lamat ia mendengar suara sepatu pantofel pria itu semakin menjauh dari lorong. ‘Pria tua tak berguna, suatu hari nanti akan aku buat perhitungan denganmu penolakanmu hari ini. Kamu membuatku malu saja! Aku paling benci penolakan, apapun yang aku mau harus menjadi milikku, bagaimanapun caranya!’ Geram Ae Ri menggerutu dalam hati. Ia terlalu asyik larut dalam pikirannya sehingga tidak menyadari bahwa di hadapannya sudah berdiri seseorang yang sangat ingin ia temui.
“Ae Ri, apa yang kamu lakukan di sini?” Ye Jun menatap dengan malas ke arah Ae Ri yang menghalangi jalannya. Ia baru saja hendak menyusul Chin Ho di ruang makan, namun malah bertemu dengan seseorang yang tak ingin ia lihat saat ini.
Ae Ri terkesiap saat menyadari suara Ye Jun cukup nyata dan berada tepat di hadapannya. Senyum manisnya mengembang, harapannya untuk bertemu dengan Ye Jun pun terkabul. “Oppa, ah... Aku menunggumu, tapi takut mengganggumu jadi aku pikir lebih baik menunggumu di sini.” Lirih Ae Ri, sebisa mungkin menampakkan tampang menyedihkan agar Ye Jun simpati dan tak tega mengusirnya.
Ye Jun tersenyum miring, suasana hatinya sedikit memburuk lantaran sepagi ini pun ia harus bertemu dengan Ae Ri. “Ingatanmu masih bagus kan? Aku yakin betul kalau kamu masih ingat apa yang aku katakan kemarin. Kecuali... kamu memang meremehkanku.” Seru Ye Jun yang enggan secara gamblang mengatakan ultimatumnya, ia yakin Ae Ri cukup cerdas menangkap maksud pembicaraannya.
Dahi Ae Ri mengerut, raut wajahnya pun seketika meredup kecewa. “Aku tahu Oppa masih marah padaku. Tapi aku mohon, jangan jauhi aku! Semarah apapun, aku tetap keluargamu. Oppa... Jangan menyiksaku, aku tak bisa kamu perlakukan seperti ini.” Rengek Ae Ri lirih, sepasang matanya berkaca-kaca menatap penuh harap kepada orang yang paling berarti baginya.
Ye Jun terperangah, bersitatap dengan sepasang mata teduh yang tampak tak berdaya. Ia paling tak bisa melihat seorang wanita menangis, apalagi karena dirinya. Haruskah ia melemahkan hatinya lagi dan memberi Ae Ri kesempatan?