Aku Bukan Pelakor!

1692 Kata
Mobil Ilona berhenti di parkiran tempat pertama yang ia kunjungi. Padahal ia tahu betul bahwa mencari kost jauh lebih penting ketimbang mengunjungi ayahnya di penjara, namun suara hatinya justru berseru dan menuntun tangannya menyetir ke tempat ini sebagai singgahan pertama. Di saat ia tengah melepaskan sabuk pengaman, pandangannya berfokus pada spion di luar. “Eh?” Celetuk Ilona penasaran dengan sebuah mobil di sampingnya yang ikut mengisi lahan parkiran. Ilona sungguh tertarik hingga tidak berpaling menatap mobil yang cukup familiar itu. Setelah sadar dari tertegun sesaatnya, Ilona bergegas melepaskan sabuk pengaman yang sempat terhenti karena salah fokus itu. “Aku harus memastikan langsung, aku yakin itu pasti dia.” Geram Ilona, menyambar ponsel di dasbor kemudian keluar dengan gesit dari mobilnya. Ia berdiri sejenak, menatap tajam ke arah mobil dengan kaca hitam di sampingnya, bersiap memberi pelajaran kepada seseorang yang tidak kapok mengusiknya. Stefi menggigit bibir bawahnya, dari dalam mobil berkaca hitam yang tak tembus pandang itu, ia bisa melihat jelas sorot mata tajam Ilona ke arahnya. “Sialan nih orang, kok bisa tahu aja sih aku di sini.” Gerutu Stefi yang merasa kepergok oleh orang yang tak semestinya tahu keberadaannya. Ia terkesiap saat mendengar suara ketukan pada jendela kaca mobil di sampingnya, spontan ia menutupi wajah dengan satu tangannya. Andai Stefi bisa menghilangkan diri, ingin rasanya ia lenyap dari dalam mobil ini. Gedoran itu semakin menjadi-jadi, Ilona bahkan mendekatkan wajah agar bisa mengintip ke dalam kaca hitam itu. “Buka! Aku tahu kamu di dalam!” Geram Ilona, baru ia sadari gertakannya barusan tidak efektif, jelas saja ia tahu pemilik mobilnya masih ada di dalam lantaran mobil itu tiba bersamaan dengannya dan si pengemudi belum keluar dari sana. “Buka! Aku tahu siapa kamu. STEFI!” Gertak Ilona sengaja memberi penekanan kata pada nama yang ia lontarkan. Jantung Stefi nyaris mencuat saat namanya dibentakkan oleh Ilona. Layaknya pencuri yang ketangkap basah, ia pun mulai panik dan mendadak kehilangan ide untuk membela diri. Namun gedoran itu semakin menjadi-jadi, jika Stefi biarkan mungkin Ilona bisa memecahkan kaca mobilnya dan retak oleh kelapan tangannya. Sembari menghela nafas kasar, Stefi pun menarik nafas panjang, mengumpulkan semangat dan keberanian untuk menghadapi langsung targetnya. Ia membuka pintu kaca dan membuat Ilona menarik tangannya yang masih menyiksa bagian itu dengan gedoran kencang. Ilona nyengir saat melihat wajah sok polos Stefi yang tampak menyebalkan di matanya. Bisa-bisanya wanita itu bertingkah seakan tidak ada apa-apa, padahal Ilona yakin betul bahwa Stefi masih sengaja membuntutinya. ‘Lihat saja drama queen ini bakal ngomong apa lagi buat alibi.’ Geram Ilona dalam hatinya, menunggu Stefi menunjukkan pertunjukan drama untuk membela diri. “Eh kamu... Kebetulan banget ketemu lagi. Ada apa lagi sih main ngetuk kaca mobil orang segala. Kalau retak atau tergores, emang situ mau ganti rugi?” Ujar Stefi dengan nada nyinyir, wajahnya sedikit bertekuk namun ekspresi jutek itu berganti dalam sekejap, tertutupi oleh senyum palsunya. Ilona berdecak, ia memutar bola matanya saking jengah dengan kebiasaan Stefi yang suka berkelit dan berkedok baik. “Bisa nggak diskip saja basa basinya? Bosen tahu! Kamu mau sampai kapan ngikutin aku terus? Dia udah balik ke sana, nggak ada urusannya lagi sama aku.” Seru Ilona seraya melipat kedua tangannya, mimik wajah yang menegaskan tantangan. Ia tidak gentar melawan penguntit yang selama ini selalu menjadi bayang-bayang saat ia bersama Ye Jun. Stefi tertawa canggung, dalam kondisi disudutkan seperti ini pun ia tetap saja berusaha menampilkan sosok dirinya yang tidak bersalah. “Ish... Siapa pula yang basa basi, siapa juga yang ngikutin kamu? Oh, akhirnya si Oppa sudah pulang ya? Kasihan, pasti kamu tersisihkan ya? Lagian mau aja sih kamu dijadikan ban serep dia di sini, sudah tahu dia hanya turis, ngapain juga pakai pacaran dan masukin ke hati.” Cibir Stefi memonyongkan bibirnya. Ilona sebenarnya geram mendengar sindiran telak itu, namun ia tetap berusaha meyakinkan dirinya untuk tetap tenang, setidaknya ia tak akan membiarkan dirinya dipandang rendah oleh orang sirik seperti Stefi. Ia mengeluarkan ponselnya, sok sibuk memainkan benda pipih itu untuk mengalihkan perhatiannya dari Stefi. “Emang susah sih buat orang yang jelas udah ketahuan salah, nggak bakal deh mengakui kesalahannya. Ngomongnya aja berlagak tahu, padahal zonk. Nggak usah sok kasihanin orang deh, kasihanin dirimu sendiri saja. Dibayar berapa sih sampai mau-maunya stalkerin orang kayak gitu? Ckckck....” Seru Ilona mencibir balik. Stefi mulai panas hati mendengar omongan Ilona, sepasang matanya mulai mendelik, mulut semakin manyun. ‘Sabar Stefi....’ Suara hatinya mencoba terus menekan agar ia tetap mengontrol sikap, apa daya emosinya lebih mendominasi sehingga mengabaikan seruan hatinya itu. “Eh, situ tuh yang mulutnya dijaga! Nggak ada yang bayarin aku, semua ini tulus aku lakukan buat membantu sesama wanita yang tersakiti.” Seru Stefi munafik, padahal kalau bukan karena bayaran yang mahal, ia tidak mungkin bersedia menjalani pekerjaan detektif abal-abalan ini. “Masa? Sebaik itukah kamu? Kayaknya aku pernah dengar deh lagi bahas soal bayaran.” Jawab Ilona dengan cepat, wajah liciknya begitu kentara, ia hanya asal bicara namun ingin memancing wanita itu membongkar aibnya sendiri. Dan benar saja dugaan Ilona, hanya disentil dengan kata-kata begitu saja, Stefi sudah mulai gelagapan. “Bayaran apaan? Kamu salah dengar pasti! Belum korek kuping ya? Aku begini karena tergerak aja lihat ada wanita yang tega jadi orang ketiga. Kasihan tuh pacarnya di sana, cowoknya ditikung sama siluman pelakor di sini.” Cibir Stefi lagi, panas hati hingga kata-katanya mulai tidak terkontrol. ‘Siluman pelakor. Pacar. Pedas benar tuh mulut!’ Geram Ilona yang tak sadar sudah mengepalkan satu tangannya, sementara tangan yang satu masih memegang ponsel yang dalam keadaan aktif. “Yakin pacar? Perasaan Ye Jun bilang itu sepupunya loh. Barangkali cewek itu atau kamu yang kepedean naikin statusnya jadi pacar hihi....” Cibir Ilona menyeringai. Stefi geram, sulit sekali meyakinkan atau minimal menggoyahkan kepercayaan diri Ilona, wanita itu terus mematahkan alibinya. Saat ia hendak menjawab, Ilona justru lebih cepat menimpali serangan lagi sehingga satu kata dari Stefi hanya berakhir tergantung begitu saja. “Ye Jun sudah ceritakan semuanya kepadaku. Wanita bernama Ae Ri itu hanya sepupunya, dia bahkan nunjukin foto wanita itu kepadaku. Dia juga bilang tentang kamu, hmm... tur guide yang nggak bertanggung jawab sehingga membuat liburannya rusak. Untung saja dia ketemu sama aku, kalau tidak, entah gimana jadinya dia di Jakarta tanpa siapapun yang dia kenal. Jadi di sini siapa yang lebih b***t?” Tuding Ilona dengan senyum kemenangan yang tersungging lebar mengejek Stefi. Stefi merasa terpojokkan, apa yang dikatakan Ilona memang benar. Andai saja ia tidak berhalangan waktu menjemput kedatangan Ye Jun, tidak mungkin Ilona akan mengenal Ye Jun dan beruntung menjadi kekasihnya. ‘Harusnya aku yang bikin Ye Jun jatuh cinta. Kalau memang selera Oppa itu gadis lokal, harusnya aku yang lebih punya kesempatan mendapatkan hatinya. Ilona sialan!’ Geram Stefi, mulai tersulut emosi untuk kesekian kalinya. “Kalau dia bayar aku emang kenapa? Kan memang dari awal aku dibayar buat jadi guide dia. Dasar kamunya aja yang asal ngerebut kerjaan orang. Untung saja Ae Ri baik hati mau memberiku kerjaan, dia lebih pantas bersama Oppa Ye Jun daripada kamu.” Ujar Stefi tak mau kalah begitu saja. Ilona malah mengembangkan senyum lebar saat mendengar pengakuan Stefi, tanpa Stefi sadari dirinya sudah masuk dalam perangkap Ilona. “Oh, jadi bener kan kamu itu dibayar buat mata-matain aku? Ha ha ha... Sudah kuduga, di dunia ini mana ada yang tulus? Mana ada yang gratis? Parkir aja bayar goceng, apalagi disuruh buntutin ke mana-mana seharian, hanya diupah ucapan makasih? Bullshit banget.” Raut wajah Stefi berubah, yang tadinya ngegas kini agak menciut setelah sadar ia baru saja masuk perangkap. Ia mengibas poni sampingnya yang cukup rapi, hanya karena merasa gugup saja sehingga bertingkah over untuk menutupi rasa canggung. “Whatever.” Seru Stefi seraya menggidikkan bahu. “Terserah kamu mau ngomong apa, aku sibuk. Waktuku nggak banyak buat berdebat sama kamu yang nggak jelas kerjaannya. Bye.” Seru Stefi hendak menekan tombol untuk menutup kaca mobilnya. Namun Ilona dengan sigap menahan kaca itu, membuat Stefi mendongak lagi ke arahnya. “Apa lagi sih!?” Gerutu Stefi yang terpaksa mengurungkan niatnya untuk menutup jendela. “Nggak jadi masuk ke dalam? Bukannya kamu ke sini buat jenguk seseorang gitu? Kok belum turun udah mau pergi aja?” Nyinyir Ilona merasa di atas angin. Stefi bermuka masam, enggan kalah telak dan menelan malu begitu saja. Ia tetap harus membela diri meskipun kemungkinan menangnya sangat tipis. “Nggak jadi! Malas ketemu dan barengan sama orang narsis. Bye.” Ilona terkekeh, disebut sebagai orang narsis membuatnya merasa mual. Padahal Stefi lah yang lebih layak dibilang narsis. “Ya terserah sih, aku cuman mau bilang makasih aja kamu sudah ngaku semuanya. Jadi aku punya bukti buat jaga-jaga, barangkali nanti kita nggak sengaja ketemu lagi kan. Aku tinggal bilang ke Ye Jun dan kirim bukti rekaman ini ke dia.” Sepasang alis hitam milik Stefi yang terukir indah itu langsung menukik tajam membentuk segitiga saking kerutnya. Suasana hatinya semakin buruk hingga memacu jantungnya berdetak di luar normal, ia sungguh tak sadar sejak tadi percakapan mereka direkam Ilona. Pantas saja Ilona berbagi fokus antara ponsel dan dirinya, ternyata wanita itu cukup licik menjebaknya. “Dasar siluman pelakor, licik! Berani-beraninya kamu rekam tanpa seijin aku! Ini ilegal namanya, aku bisa tuntut kamu!” Geram Stefi, mencoba meraih ponsel Ilona namun tangannya justru ditepis oleh Ilona. “Aku bukan pelakor! Dia bukan suami orang, dan dia pacarku, jadi jangan berlebihan deh. Ini peringatan terakhir ya, sekali lagi kamu kedapatan buntutin aku lagi. Aku akan laporkan ke Ye Jun, biar dia yang akan membuat perhitungan denganmu.” Gertak Ilona, berusaha semaksimal mungkin terlihat galak dan tegas. Stefi menelan salivanya, ia tak tahu harus berkata apa lagi. Membayangkan kemarahan Ae Ri saja sudah mengerikan, apalagi jika yang marah adalah bos muda yang punya kuasa, mungkin diam-diam ia akan dihilangkan dari muka bumi. Tanpa sepatah katapun, Stefi langsung menjalankan mesin mobil dan bergerak mundur dari parkiran. Lebih baik kabur secepatnya sebelum Ilona semakin menakutinya dengan ancaman yang mengatas namakan Ye Jun. Ilona menggelengkan kepala menatap mobil Stefi yang berlalu dengan cepat. “Heran deh, hanya seorang pengacara muda saja, kenapa sepupunya sampai terobsesi menjadi pacarnya? Hmm....” Keluh Ilona yang mulai merasa ada yang aneh dengan Ye Jun. “Mungkinkah ada yang Ye Jun rahasiakan dariku?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN