“Masih ada lagi email masuk? Aarrgghhh! Kenapa nggak bunuh aku saja sekalian!? Menyuruhku jangan muncul di depannya tapi semua pekerjaan masih dilimpahkan padaku. Kalau memang tidak bisa tanpa aku, bilang saja! Untuk apa jual mahal begitu.” Gerutu Ae Ri yang tak punya waktu untuk tidur ketika malam sudah cukup larut. Setumpuk pekerjaan yang dilimpahkan padanya via email terus saja mengusiknya. Ia belum membuka semua surel yang masuk tadi siang hingga menggerutu lantaran merasa beban kerjanya terlalu berat. Saking kesalnya Ae Ri mendorong laptop yang ada di hadapannya sampai tergeser ke samping. Nafasnya berburu, bukan karena lelah namun kekesalan yang ia pendam terasa memenuhi rongga dadanya.
“Ini sama sekali nggak lucu. Dia tinggal seatap denganku tapi memperlakukan aku seperti orang jauh. Ah, manusia itu... Apa hasil kerjanya seharian ini.” Omelan Ae Ri mendadak berganti sasaran saat ia teringat pada Stefi. Detik itu juga ia menghubungi Stefi, tak peduli perbedaan jam di antara mereka yang berkemungkinan Stefi sudah terlelap.
Satu kali panggilan terlewatkan, Ae Ri tidak peduli, ia tetap menghubungi kembali sampai Stefi meresponnya. Penantian itu berbuah hasil, setelah panggilan ke enam akhirnya digubris oleh pihak di seberang. “Apa tidurmu nyenyak, heh? Apa sekarang kamu mengumpat aku yang mengusik tidurmu?” Geram Ae Ri, setiap kali menghubungi Stefi, ia selalu melewatkan sapaan formalitas dan langsung menyerukan isi kepalanya.
“Ng... Onnie... Aku sudah tidur tadi tapi sekarang sudah bangun. Apa kamu tidak tidur? Bukankah ini sudah sangat malam di sana?” Stefi yang polos bertanya sepertinya tidak sadar bahwa ia sedang menyudutkan dirinya dalam masalah. Bukannya berlagak prihatin namun malah memancing kemarahan Ae Ri semakin membuncah.
Dan benar saja, urat marah Ae Ri semakin menonjol setelah mendengar pancingan menohok itu. Ia tersenyum gemas seperti hendak menelan orang hidup-hidup jika apes berdiri di hadapannya.
“Oh begitu, Stefi sudah tidur nyenyak ya? Lalu menyuruhku segera tidur, perhatian sekali kamu.”
Di seberang sana Stefi mengangguk seraya tersenyum senang, merasa bangga sudah berhasil mengambil hati nonanya. Sayangnya semua pikiran itu berubah saat mendengar intonasi suara Ae Ri yang tidak lagi lemah lembut. Bentakan nyaring yang nyaris menulikan telinganya pun mengejutkan sampai Stefi reflek menjauhkan ponsel dari daun telinganya.
“Kamu pikir aku seperti kamu yang bisa tidur nyenyak tanpa beban tanggung jawab!? Seharian ini tidak laporan, apa kamu sudah bosan hidup? Mau makan gaji buta?” Geram Ae Ri, rasanya sedikit plong ketika ia bisa menyalurkan emosinya pada sasaran tepat. Stefi memang pantas dimarahi karena seharian tidak memberinya kabar bahkan tidak membalas satupun pesannya.
Stefi tercengang menerima tuduhan itu, ia menggelengkan kepala yang rasanya percuma saja karena Ae Ri tidak mungkin bisa melihatnya. “Ah, aku sudah membalas anda tapi justru anda yang belum merespon. Aku pikir anda yang sedang sibuk sehingga tidak sempat merespon.” Jawab Stefi dengan bahasa yang gelagapan antara formal dan tidak.
Ae Ri menyeringai, “Yakin sudah balas? Apa perlu aku kirimkan bukti dan jika aku yang benar, apa kamu berani menanggung akibatnya?” Ancam Ae Ri dengan suara halus namun menusuk, Stefi berhasil dibuat merinding ketakutan.
Stefi tak berani menjawab, ia menjauhkan ponsel dari telinganya lalu memeriksa histori pesan singkat Ae Ri. Di saat itulah ia menepuk jidatnya dengan kuat, andai air matanya bisa keluar saat ini, ia memilih menangis saja di pojokan daripada mendengar omelan bosnya. “Ng... Maafkan aku, Onnie. Itu... Aku sebenarnya sudah mengetik pesan balasan tapi entah bagaimana ceritanya ternyata itu belum dipencet kirim. Aku terburu-buru dan cukup sibuk sepanjang hari, aku pikir Onnie juga sibuk jadi tidak membalas pesanku dan aku tidak mau mengganggumu. Siapa yang tahu kalau ternyata pesannya belum ku kirim.” Ungkap Stefi seraya memejamkan matanya, merutuki kebodohan yang ia lakukan sampai-sampai salah paham dan malah menunggu balasan yang tak kunjung datang.
Ae Ri mengumpat saking geramnya, namun ia enggan membuang waktu terlalu lama. Rasa penasarannya jauh lebih besar tentang apa yang Stefi kerjakan hari ini. “Jadi, ada perkembangan apa?”
Stefi menghela nafas lega, setidaknya Ae Ri sudah merubah topik dan ia bisa terhindar dari caci maki lagi. “Kabar baik Onnie. Aku berhasil menemukan cara menyingkirkan Ilona tanpa mengotori tangan kita. Aku yakin kekuatan mantan akan lebih besar dampaknya, dia akan tersingkirkan dari Oppa dengan kehadiran mantannya.” Seru Stefi penuh percaya diri bahwa rencananya kali ini akan berhasil.
Ae Ri mengerutkan dahi sembari mencerna kata-kata Stefi. “Mantan pacar gadis lokal itu?”
Stefi nyengir, entah mengapa suasana hatinya selalu menjadi buruk saat mendengar julukan ‘gadis lokal’ dilontarkan Ae Ri. “Hmm... Onnie, bolehkah anda menghilangkan julukan itu? Aku merasa kurang nyaman karena secara tidak langsung ikut tersindir.” Pinta Stefi bersungguh-sungguh, batas toleransinya sudah mencapai limit.
Ae Ri terdiam sejenak, berpikir seraya memutar bola matanya kemudian pandangan itu ditujukan pada kuku panjangnya yang berhias kutex warna biru navy. “Oh, kamu tersinggung? Hmm... Lalu bagusnya aku panggil dia apa? Tidak sudi aku sebut namanya.” Tanya Ae Ri kalem.
Gantian Stefi yang berpikir keras, ia lupa satu hal, jika ia menyarankan Ae Ri seharusnya ia sudah menyiapkan solusi agar tidak diajak berpikir lagi. “Apa ya bagusnya? Hmm... wanita matre saja, bagaimana Onnie?”
Ae Ri terkekeh, setelah sepanjang hari ia bersitegang dengan masalah, akhirnya ada satu hal lucu yang berhasil membuatnya tertawa. “Benar juga, wanita matre seperti dia memang pantas dijuluki itu. Ya sudah, kapan pria mantan itu akan menggodanya? Pastikan kali ini caramu berhasil, aku harus segera menjauhkan Oppa dari dia. Belum lama berhubungan dengan si Dwen Jang Nyeo itu saja sudah membuat Oppa-ku menggila.” Keluh Ae Ri, memijit pelipisnya yang terasa pusing lagi jika mengingat tentang Ye Jun.
“Secepatnya Onnie. Aku yakin kali ini akan berhasil, si matre itu pasti belum move on dari mantannya. Aku berani bertaruh dia akan kembali pada Evan dan melupakan Oppa.” Ungkap Stefi dengan percaya diri penuh, ia tak pernah seyakin ini sebelumnya. ‘Mereka pasti CLBK lagi, lihat saja nanti.’ Seru Stefi menimpali keyakinan dirinya dalam hati.
“Maaf neng, belum ada lowongan di sini.”
Ilona lagi-lagi mendapatkan penolakan, sepanjang hari ini ia sudah mencoba melamar pekerjaan ke berbagai tempat. Mulai dari posisi admin di kantor pemasaran properti yang ia dapatkan di internet hingga rumah makan. Ia tidak memilih pekerjaan asalkan bisa segera mengakhiri masa penganggurannya. Sayangnya belum ada yang berjodoh dengannya, padahal ia menenteng ijasah terakhirnya yang hanya tamatan SMA. “Huft, sesusah ini ya ternyata cari kerjaan. Jadi nyesel kenapa dulu aku nggak serius kuliah, sekarang ketika udah hidup susah begini, mau ngandalin siapa buat bertahan hidup di kota besar.” Keluh Ilona yang tak kuasa lagi memendam kesedihan seorang diri.
Tak pernah terbayang oleh Ilona, hidupnya harus mengalami penolakan bertubi. Ia yang selama ini hidup bergelimang harta dan merasa bisa menyelesaikan segala sesuatu dengan uang ayahnya, ternyata harus jungkir balik derajat sosial dalam waktu satu hari. Semua temannya bahkan kekasihnya langsung menjauh, bersikap seolah tidak mengenalnya setelah ia tak lagi menyandang status nona konglomerat. Hidup di rumah mewah dengan segala fasilitas canggih itu tinggal kenangan, syukur-syukur Ilona tidak tinggal di kolong melarat, masih ada mobil sport mewah yang bisa ia jadikan tempat berteduh sampai ia mengenal Ye Jun.
Mengingat kekasihnya itu membuat hati Ilona semakin meringis, menahan rindu itu sangat menyesakkan terutama di saat ia terpuruk. ‘Jun... Oppa... Aku sedang tidak baik, hiks....’ Galau Ilona dalam hati. Ingin rasanya ia berkeluh kesah saat ini juga, namun Ilona cukup tahu diri, ia yakin di jam sibuk begini Ye Jun pasti tengah serius berkutat dengan pekerjaannya. Ia ingin berhenti menjadi wanita manja dan sedikit lebih dewasa untuk bisa toleransi dengan pasangannya.
“Ehem... Kamu lagi nyari kerjaan ya? Sepertinya belum ada yang berhasil, hmm....”
Ilona terkesiap begitu mendengar suara seorang pria yang cukup familiar di belakangnya, sontak ia membalikkan badan dan tak bisa menghindari pertemuan tak direncana dengan seseorang yang sangat ingin ia hindari. Tanpa sadar langkah kaki Ilona mundur sedikit, merasa perlu menjaga jarak dengan pria dari masa lalu yang sebulan lalu mencampakkan dirinya bak barang tak berguna.
Evan mengerti keresahan Ilona, ia tak peduli dan justru tersenyum semanis mungkin untuk menggoda mantannya. “Apa kabar Ilona? Aku harap kebencianmu padaku sudah mulai berkurang, setidaknya tidak seperti pertemuan tempo hari ketika kamu dengan bangga memamerkan kekasih barumu. Ah... Pria pucat itu, ke mana dia sekarang? Kenapa kamu sendirian lagi?” Ujar Evan, berbondong-bondong pertanyaan tercuat begitu saja, seakan tidak ada waktu lain untuk mempertanyakan kepada Ilona.
Senyum seringai Ilona mengembang, diungkit soal kebencian nyatanya kembali mengingatkannya tentang rasa perih yang ditorehkan pria di depannya. Meskipun sudah move on sepenuhnya, Ilona tetap belum bisa berdamai dengan perasaan marahnya kepada Evan. “Aku rasa pertemuan kali ini juga bukan kebetulan, kamu sengaja membuntutiku lagi? Dasar tidak tahu malu! Kenapa masih punya muka untuk mencoba memungut hati yang sudah kamu buang? Sudahlah tuan muda Evan, kamu sudah jadi barang bekas dalam hatiku, aku tidak bersedia memungut kamu kembali.” Ujar Ilona sinis, enggan memberi celah pada orang yang berusaha mengusiknya. Lengkap sudah hari sialnya, penolakan lamaran bertubi-tubi ditambah lagi harus diganggu orang yang tak ingin ia temui lagi.
Evan tertawa kecil, sindiran itu tidak lagi mempan baginya. Setelah mengetahui bahwa Ilona sudah putus dengan kekasih barunya saja sudah membuatnya bahagia. Evan yakin Ilona hanya berpura-pura bersikap tegar, seakan hubungannya dengan pria Korea itu masih berjalan. “Kalau kamu memang butuh kerjaan, kebetulan lowongan sekretaris di kantorku masih ada. Kamu akan diterima kapanpun kamu mau masuk kerja. Profesi ini jauh lebih baik daripada kamu melamar posisi yang tidak level denganmu. Aku hanya simpati saja melihat perjuanganmu, bukan ada maksud apa-apa kok, tenang saja. Kita akan kerja secara profesional.”
Ilona ikut membalas tawa kecil Evan dengan suara tawa renyahnya yang nyaring. “Simpan saja rasa simpatimu, aku tidak butuh! Dan satu lagi, jangan pernah muncul di hadapanku lagi!” Seru Ilona memberi ultimatum, dari raut wajahnya saja sudah terlihat jelas kekesalannya. Ia tak tahan lagi berlama-lama berurusan dengan Evan sehingga membalikkan badan dan berjalan pergi.
Evan menyerigai, sikap ketus Ilona tak mempan mengusirnya. Ia tak akan membiarkan Ilona lepas lagi dari genggamannya, dengan nekad Evan berjalan cepat menyusul Ilona kemudian menarik tangan Ilona dari belakang. Serangan mendadak itu membuat Ilona lengah, ia terkejut saat ditarik dan mendarat dalam dekapan Evan.
“Lepaskan aku!”