Kamu Jual Diri?

1212 Kata
Ilona masih berlomba diam dengan Andrew, setelah pernyataan tegas yang disuarakan ayahnya, belum ada yang berkenan angkat bicara lagi. Ilona yang semula begitu bersemangat memanfaatkan waktu besuk untuk melepas rindu, kini merasa tidak menyayangkan sikap diamnya yang membuat waktu menjadi mubajir. Dua jemarinya mengetuk meja yang menjadi pembatas mereka bicara, Ilona masih menatap sengit ke arah Andrew, bersiap melayangkan protes. “Menganggap ayah sudah mati? Itu mau ayah?” Seru Ilona nyinyir, ekor matanya terlihat menyoroti tajam ke arah ayahnya. Andrew menganggukkan kepala dengan cepat, walaupun hatinya berkata lain tetapi ia tidak akan menyuarakannya secara lantang. “Ya. Kamu jangan mikirin ayah lagi. Tidak perlu berencana mengumpulkan uang untuk menyewa pengacara, biarkan saja ayah membusuk di sini. Sebaiknya kamu melanjutkan hidupmu, cari pekerjaan yang bisa mencukupi hidupmu sampai kamu menemukan suami untuk bergantung hidup. Ayah doakan kamu mendapatkan pria terbaik yang setia dan memberimu kehidupan mewah seperti kehidupan kita sebelumnya.” Gumam Andrew begitu antusias dan khusyuk berdoa dengan merangkapkan kedua tangannya. Senyum Ilona kian sinis, menyeringai layaknya malaikat maut yang ditugaskan mencabut nyawa ayahnya yang sejak tadi menyinggung soal kematian. “Menganggap ayah mati... Oh... Semudah itu ayah bicara seakan aku tidak punya hati nurani. Mana mungkin aku bisa menganggap orang yang masih hidup seperti orang mati!? Ayah mau cari masalah denganku? Kenapa terus-terusan menghalangiku mencari keadilan untukmu? Aku yakin betul kalau ayah nggak salah, ayah hanya dijebak. Tapi kenapa ayah sepasrah itu!? Sekarang aku sudah punya uang banyak, aku akan mencarikan ayah pengacara hebat.” Ujar Ilona tegas dan lantang menyerukan kehendaknya. Andrew mengerutkan dahi ketika mendengar putrinya mempunyai banyak uang. “Kamu punya banyak uang? Dapat dari mana? Setahu ayah, semua simpanan ayah disita, tabunganmu juga ayah tahu tidak seberapa lagi karena kamu sangat boros. Dari mana itu uang? Kamu... Kamu....” Jemari telunjuk Andrew mengacung pada Ilona, sepasang matanya pun melotot tajam. Tudingan buruk siap melayang kepada anak gadis yang ia anggap sangat polos itu, tetapi tampaknya mulai meliar karena terdesak keadaan. Ilona menjadi kikuk ditatap nanar oleh ayahnya, ia menelan saliva, ada sedikit rasa bersalah karena dirinya tidak bisa menjaga diri semenjak menjadi anak liar karena tidak diawasi orangtua. “Aku kenapa?” Tanyanya takut-takut. Andrew mencondongkan badannya agar lebih dekat dengan jarak tubuh Ilona, untuk mengungkapkan kata-kata sensitif itu, rasanya tak etis jika dilontarkan dengan intonasi keras. Ilona pun reflek mendekat, mencondongkan badan pula sehingga dadanya menempel pada meja. Andrew menatapnya lekat lalu berbisik, “Kamu ngepet ya?” Wajah Ilona memerah seketika, perubahan suasana hatinya antara sedih, marah, lega, dan menahan tawa. Ekspektasinya terlampau tinggi, mengira Andrew akan memarahinya yang tidak bisa menjaga diri dan bercinta dengan seorang pria yang baru dikenalnya, ternyata ayahnya malah lebih percaya akan hal berbau mistis. “Ayah... Apa menurutmu wajah cantikku pantas jadi babi ngepet?” Gerutu Ilona tak senang, ia sengaja memasang tampang judes untuk menghardik ayahnya. Andrew mengernyit kemudian tertawa kecil, “Lalu dari mana kamu bisa dapat uang dalam waktu singkat? Sebenarnya apa yang kamu kerjakan di luar sana? Jangan bilang kamu... Kamu....” Jemari telunjuk Andrew kembali melakukan hal yang sama seperti beberapa menit lalu. Mimik terkejutnya pun sangat kentara, bahkan rona wajahnya memerah menahan marah padahal belum tentu apa yang ia pikirkan itu benar. Ilona menjauhkan badannya, tak lagi antusias apalagi merasa deg-degan dengan kata-kata ayahnya yang belum selesai. Dalam benaknya terbayang, palingan hanya tudingan tak masuk akal lagi yang dilontarkan pria itu. Ilona mengalihkan pandangan ke samping, enggan menanggapi kekonyolan ayahnya yang entah akan menyebutkan apa lagi. “Kamu jual diri?” Celetuk Andrew yang kali ini gagal mengendalikan volume suaranya sehingga berhasil membuat Ilona yang semula cuek, terlonjak kaget. Air muka Ilona tampak seperti hendak menangis saking marah dan malunya. Tak menyangka ketika ia bersikap cuek, ternyata ayahnya malah menyerukan hal yang memalukan. “Ayah, ngomong apa sih! Kok bisa sampai mikir seburuk itu loh. Gini-gini aku masih waras dan punya harga diri.” Gerutu Ilona judes melotot kepada Andrew. Andrew menghela nafas lega, ketakutan berlebihannya ternyata tak terbukti. Ia tak peduli dengan reaksi Ilona yang belum meredakan kemarahannya, asalkan pikiran buruknya tidak terbukti, ia sudah cukup tenang. “Baguslah, putrinya papa memang anak yang membanggakan. Papa yakin kamu tidak akan rusak oleh pergaulan. Jadi... Sebenarnya kamu kerja apa sampai dapat uang banyak dan begitu yakin mau menyewakan pengacara?” Ilona tersenyum sewot, walaupun ayahnya melontarkan segudang pujian, tetap saja tidak bisa membasuh rasa kesalnya dalam waktu singkat. Sayangnya waktu tidak memungkinkan baginya untuk terus-terusan ngambek, ia harus berterus terang agar mendapatkan kepercayaan dari ayahnya. “Aku menjadi tur guide selama beberapa minggu. Gaji dan tipnya lumayan besar, sebagian bisa aku pakai untuk mencari kos-kosan dan biaya hidup, sisanya akan ku pakai untuk menyewakan ayah pengacara.” Jelas Ilona berbangga hati, yang ia sampaikan adalah kejujuran. Tetapi ia pun harus mengontrol mulut agar tidak keceplosan menceritakan hal yang belum pantas diketahui oleh ayahnya, dan semua itu tentang hubungannya dengan turis istimewa yang berani menggajinya mahal dan menjadi kekasihnya. Andrew manggut-manggut dengan dua bola mata berkaca-kaca, “Hebat! ayah tidak menyangka kamu ternyata punya bakat memandu turis. Tapi yang benar saja? Sejak kapan kamu punya keterampilan menjadi tur guide? Bahasa Inggrismu saja parah.” Curiga Andrew dengan sepasang mata tajamnya. Ilona nyengir, tak senang diremehkan oleh satu-satunya keluarga yang ia miliki di dunia ini. “Ayah jangan terus-terusan meremehkan aku. Nggak perlu pintar hanya untuk memandu orang, yang penting punya ponsel pintar saja, semua pasti beres.” Gumam Ilona sambil tersenyum mengenang pengalaman serunya yang selalu mengandalkan kecanggihan aplikasi penerjemah untuk berkomunikasi dengan Ye Jun. ‘Ah, aku jadi kepikiran sama dia. Hmm... Ada benarnya juga, aku tidak bisa mengandalkan ponsel untuk komunikasi dengan Ye Jun terus, aku harus belajar bahasa Korea. Ya... Harus!’ Gumam Ilona saking semangatnya sampai menganggukkan kepala, mantap dengan keputusannya. Stefi menatap antusias pada pria di hadapannya, setelah memenangkan hati pria itu agar mau menemuinya di cafe ini, akhirnya Stefi bisa sedikit merasakan silirnya angin kemenangan yang sebentar lagi berpihak kepadanya. “Langsung aja, katanya mau ngomongin sesuatu yang penting dan nggak bisa dibahas dari ponsel. Udah duduk di sini lima menitan tapi kamu nggak juga mulai ngomong, apaan sih... Nggak jelas! Buang-buang waktuku saja.” Gerutu Evan, pria muda, tampan yang terjebak kebawelan Stefi sehingga berakhir di sini bersamanya. Stefi memanyunkan bibirnya lalu tersenyum lebar. “Selow aja napa? Pesanan juga belum pada datang. Aku tahu bos muda kayak kamu memang sibuk banget, tapi aku jamin info yang aku sampaikan ini nggak bakal bikin kamu menyesal menyisihkan waktu buat aku.” Seru Stefi mulai memancing ketertarikan Evan terhadap topik pembicaraannya. Evan mengusap dagunya, melirik tajam pada Stefi yang tampak senang. Ia mulai penasaran, informasi apa yang dijanjikan menarik oleh wanita di depannya. “Langsung saja deh, nggak usah bersikap sok akrab. Awas saja kalau sampai apa yang kamu janjikan itu nggak menarik, aku bikin perhitungan nanti!” Ancam Evan yang gerah menunggu. Ia tidak sedekat itu dengan Stefi yang belum lama ia kenal gara-gara satu visi misi dengannya. Itu pun sebelum akhirnya Evan menyerah karena merasa tak ada harapan lagi untuknya memperjuangkan apa yang telah hilang darinya. Stefi nyengir, tetapi ia enggan menguji kesabaran Evan lagi. “Mantan kekasihmu itu... dia sudah putus dari kekasih barunya.” Ujar Stefi tersenyum sok misterius, ia yakin Evan akan senang mendengar informasi berharga yang ia sampaikan. “Apa? Mereka putus?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN