7. Mata-mata?

1566 Kata
Fio menghela napas panjang setelah menyelesaikan sesi latihan senam zumbanya malam ini, dia duduk bersandar di salah satu tiang di ruangan itu. Sementara Wulan sudah lebih dahulu menuju kamar ganti yang menyatu dengan kamar bilas, dia harus segera pulang karena anaknya sudah menunggu. Hingga lewatlah Pasha yang juga telah menyelesaikan latihan gymnya, pintu ruangan tersebut terbuka sehingga Pasha berdiri di dekat pintu kaca itu dan melambaikan tangan ke arah Fio yang tampak kelelahan. Fio pun mengangguk dan memanggil Pasha untuk masuk, dia menunjuk pintu lainnya di ruangan senam yang menuju ruang terbuka di gedung tempat mereka bekerja. Fio berdiri dan menunjukkan tempat itu, di lantai atas gedung ini, ada sebuah ruang terbuka, beberapa tumbuhan di tanam di sana. Dia pun mengajak Pasha duduk di salah satu kursi yang mirip seperti kursi taman. “Wah, aku baru tahu ada tempat seperti ini,” ucap Pasha sambil mendongak, melihat jutaan bintang yang menghias langit malam ini. Fio hanya menggeleng geli, lalu meminum air dari thumbler yang dibawa. Keringatnya masih belum kering sehingga dia belum bisa membilas tubuhnya. “Keren kan? Tempat ini juga pernah dipakai shooting iklan mie instan perusahaan,” ucap Fio. “Iya tempat terbuka hijau seperti ini memang bagus. Terutama untuk gedung – gedung di perkotaan seperti ini,” jawab Pasha sambil mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, dan terpaku ketika melihat Fio yang mendongak melihat bintang di langit dengan bibir tersenyum. Dia memang sangat cantik dan memukau. Fio menyadari Pasha yang melihat ke arahnya, dia pun menoleh ke arah Pasha yang tersenyum kepadanya dan Pasha memilih menoleh ke sudut di depan mereka, melepaskan pandangannya dari istri sahabatnya ini. “Kamu sayang sama Ken?” tanya Pasha seraya menoleh ke arah Fio yang lagi-lagi kedapatan menenggak minumannya. “Sayang lah,” jawab Fio meletakkan botol minumannya di sisi kanan lalu menyeka keringat dengan handuk kecil yang selalu dibawanya ketika berolahraga. “Aku sudah cukup lama mengenalnya,” imbuh Fio. “Kenal lama bukan jaminan seseorang untuk menyayangi orang lain kan?” tutur Pasha sambil terkekeh. “Hahaha iya juga sih, tapi ... aku sayang sama dia, aku selalu mengkhawatirkannya, dan ingin melakukan yang terbaik untuknya,” jawab Fio yakin. “Aku senang, kamu  yang menjadi istrinya. Entah jika wanita lain yang bersamanya, akankah wanita itu tulus bersamanya?” ucap Pasha. “Sepertinya kamu yang sangat menyayanginya,” kekeh Fio. “Ya tentu, kita sudah bersahabat cukup lama,” ucap Pasha sambil tersenyum lebar. “Insiden itu, benar-benar menghancurkan segalanya. Aku masih ingat betapa terpukulnya pak Dhanan, dia tak pernah pergi dari kamar rawat Ken sampai Ken siuman.” Fio menghela napas panjang. “Setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Jika dia masih seperti dulu, belum tentu dia menikahi kamu,” goda Pasha hingga Fio mendengus dan meninju lengannya. “Maksud kamu, aku nggak cukup baik untuk menjadi istrinya!” “Hahaha bercanda. Tapi mantan pacarnya cantik banget lho,” kekeh Pasha. “Sudah tau!” “Kok ngambek? Cemburu ya?” goda Pasha. “Tau ah, nyebelin!” dengus Fio. “Meskipun dia sekarang seperti itu, tapi aku yakin hatinya masihlah hati pria dewasa yang normal, karenanya aku yakin dia pasti bisa mencintai kamu,” ucap Pasha. “Oiya? Nggak percaya,” dengus Fio seolah masih marah dengan ucapan Pasha sehingga pria itu terus tertawa. “Beneran, yaa memang sih dia tipe orang yang susah jatuh cinta, tapi jika sudah jatuh cinta dia akan sangat mencintainya sepenuh hati.” “Aku nggak mau dicintai sepenuh hati,” tutur Fio sambil menunduk. “Kenapa?” “Karena aku akan merasa sangat bersalah jika aku melakukan kesalahan atau meninggalkannya. Sudah yuk pulang sudah malam, besok kan masih kerja lagi,” ucap Fio. “Aku antar ya,” ucap Pasha. “Nggak perlu, aku bawa kendaraan sendiri kok,” ujar Fio yang memang meninggalkan kendaraan pribadinya di kantor untuk sewaktu-waktu jika dia butuh. “Oke, sampai bertemu besok,” ucap Pasha seraya beranjak, Fio pun berdiri dan berjalan keluar bersama Pasha. Tanpa menyadari bahwa ada seseorang yang memotret kedekatan mereka diam-diam. *** Ken sedang memainkan game di  ponselnya, ketika mendapat sebuah pesan gambar yang masuk ke aplikasi chat di ponsel itu. Karena dia telah kalah di babak pertama, dia pun keluar dari aplikasi game tersebut dan melihat chat dari nomor yang tak dikenalnya. Beberapa foto masuk ke ponselnya, dia pun memperhatikan, tampak seorang wanita bercanda dengan pria disampingnya. Tangan wanita itu mengepal dan meninju bahu sang pria dan mereka terlihat tertawa bersama. Pakaian mini Fio tentu membuat siapapun bisa tertarik dengan tubuhnya yang langsing dan terawat. Mungkin sama seperti pria itu yang kedapatan di satu gambarnya memperhatikan tubuh Fio lekat. “Fio dan Pasha,” ucap Ken, lalu dia menghapus seluruh gambar itu dari ponselnya, dia tak perlu bertanya siapa informan yang mengirim gambar tersebut. Dia hanya tak mau. Lalu Ken keluar kamarnya, suasana rumahnya cukup sepi, mungkin para pelayan sudah tertidur di kamar mereka masing-masing. Ken melihat ke arah jendela rumah, memperhatikan jalanan depan rumahnya, belum ada tanda-tanda mobil Fio memasuki pelataran rumah. Dia hanya berjalan bolak balik dalam rumah persis seperti setrika yang merapikan baju kusut. Entah apa yang mengganggunya? Dia hanya sulit berdiam diri meskipun hanya untuk tidur saja. Hingga mobil Fio terdengar memasuki gerbang rumahnya. Ken pun berjalan menuju pintu utama dan mendapati Fio yang memakai tas selempangnya, Ken yakin isinya baju ganti yang tadi dikenakan saat senam. Fio tersenyum ke arah Ken yang sudah memajukan bibir beberapa senti menatapnya. “Ken belum tidur?” tanya Fio. “Lapar.” “Mau makan apa?” tanya Fio sambil menghela Ken agar masuk ke dalam rumah dan menutup pintu itu. “Mie,” jawab Ken pelan. “Oke, aku buatin ya, aku taruh tas dulu,” ucap Fio. Ken hanya mengangguk-angguk saja dan memilih menuju dapur, menyalakan saklar lampu dapur dan duduk di kursi tinggi khas bartender di dapur tersebut. Tak berapa lama, Fio menuju dapur dan mengambil beberapa mie instan. “Mau rasa apa?” tanya Fio menunjukkan beberapa kemasan mie instan yang berbeda di hadapan Ken, Ken menunjuk satu bungkus berwarna merah, Fio pun mengernyitkan kening. “Ini pedas banget lho Ken?” “Iya, mau yang pedas,” jawab Ken. Fio pun menurutinya dan mulai menyalakan kompor, memotong bahan pelengkap seperti sayuran dan bakso, juga memasukkan telur ke dalam air yang mendidih itu. “Ada yang mengganggu pikiran kamu?” tanya Fio melihat ke arah Ken yang rasanya agak berbeda, seraya menggunting bumbu mie instan tersebut dan memasukkan ke dalam mangkuk. Ken hanya menggeleng. “Biasanya sudah tidur, ini sudah jam sepuluh malam lho. Tadi nggak makan malam?” “Makan.” “Terus?” “Lapar lagi,” jawab Ken seraya memperhatikan Fio, wanita yang diperhatikan itu hanya memandang Ken dengan pandangan bingung. Tak biasanya Ken seperti ini. Setelah mie instannya masak sempurna, Fio pun menuju Ken, memutari meja dan meletakkan mie itu di hadapan Ken, namun dia membalikkan tubuh berniat pergi hingga Ken menarik tangannya. “Temenin,” ujar Ken sambil menunduk menatap mie instan yang masih mengepulkan asap di hadapannya. Fio terkekeh seraya memegang tangan Ken. “Iya aku temani, aku mau ambil minum aja kok,” ucap Fio seraya melepas tangan Ken dari tangannya. Setelah mengambil minum, dia pun duduk di samping Ken yang sudah meniup mie yang telah tergulung di garpu miliknya dan memakannya. Fio menopang wajah dengan tangannya dan memperhatikan Ken. Tangan sebelahnya terulur untuk merapikan rambut Ken, menyelipkan helai rambut itu di balik telinganya seraya tersenyum. Dia tak mengerti apa yang membuat Ken terlihat lebih manja kepadanya saat ini? Namun dia merasa senang karena Ken menunjukkan bahwa dia membutuhkannya. “Besok aku mau ke pabrik sama Pasha, nyerahin gambar sample kemasan baru dan diskusi sesuatu sama kepala produksi,” ucap Fio. “Berdua?” tanya Ken dengan tak mengalihkan perhatian dari mangkuk mie di hadapannya yang isinya sudah hampir habis. Fio menarik tangannya  yang semula bertengger di bahu Ken dan meletakkan di meja. “Iya, kenapa?” tanya Fio. “Aku ikut,” ujar Ken. “Tapi jauh lho, nggak apa-apa?” tanya Fio. Ken pun mengangguk. Fio menyadari bahwa Ken perlu tahu tentang segala yang berkaitan dengan perusahaannya sehingga dia menyetujui Ken ikut ke pabrik produksi yang berada di luar kota besok. *** Setelah hampir dua jam, mobil yang dikendarai Pasha pun sampai di pabrik produksi yang sangat besar, tentu saja bangunan pabrik itu terlihat sangat besar dan luas karena sudah berjalan puluhan tahun lamanya. Tampak kepala produksi menyambut mereka bertiga dan menyalaminya. “Kami sudah mengurangi produksi untuk kemasan lama perhari ini,” ucap kepala produksi yang tampak sudah menua itu, meskipun usianya tua namun dia masih terlihat bugar. “Terima kasih pak, nanti setelah proses iklannya rampung, kita tambah jumlah produksi lagi,” ucap Fio. Kepala produksi itu mengangguk dan mengajak Pasha, Fio serta Ken masuk ke dalam pabrik untuk melihat pembuatan mie instan dari perusahaan mereka. Ken agak tertinggal di belakang dan memperhatikan kedekatan Fio dan Pasha yang hampir menempel saat berjalan, dia pun mendengus dan berjalan cepat, menyelak diantara mereka berdua hingga Fio terkejut, sementara Pasha membuang wajahnya, sekuat tenaga menahan tawa atas apa yang dilakukan sahabatnya. “Kenapa?” bisik Fio di telinga Ken, Ken hanya menggeleng dan memegang ujung jas Fio seperti anak yang takut kehilangan ibunya. Fio mengambil tangan Ken dan menyilangkan ke lengannya seolah mengamitnya, lalu dia menepuk tangan Ken dan tersenyum. Mungkin memang yang ada di pikiran Fio adalah, Ken yang takut tertinggal di pabrik luas itu. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN