8. Marah

1681 Kata
Sepulang dari pabrik produksi Dhananfood, ketiga orang yang terdiri dari Fio, Ken dan Pasha yang diantar oleh seorang supir kantor pun berniat kembali ke ibu kota, dimana segudang pekerjaan sudah menunggu mereka, mengenai persiapan kontrak dengan artis yang akan menjadi brand ambassador mie instan yang akan berganti packaging. “Kita makan dulu ya,” ajak Pasha, yang duduk disamping pengemudi mobil itu. “Boleh,” ucap Fio, seraya menoleh ke arah Ken yang lebih fokus memperhatikan pemandangan di sekitar mereka, mereka memang tengah melewati jalanan yang tampak sangat tenang dan sejuk dengan banyaknya pepohonan di kiri dan kanan mereka. “Ken mau makan apa?” tanya Fio, Ken yang lebih fokus pada jalanan pun hanya menjawab terserah dengan nada suara lemah. Sehingga Fio memegang keningnya, khawatir Ken yang terkena demam atau sakit karena dia yang bersikap tak biasa. Biasanya dia ceria dan selalu tertawa tetapi hari ini tidak. Ken menoleh ke arah Fio yang sudah menatapnya dengan meletakkan punggung tangan di kening Ken untuk mengecek suhu tubuhnya. “Kamu sakit? Tapi nggak panas sih, kenapa Ken?” tanya Fio, Pasha hanya melirik dari kaca diatasnya. “Kangen papa,” jawab Ken pelan hingga Fio tersenyum dan mengerti apa yang dirasakan Ken, dulu juga saat dia kehilangan ayahnya, dia merasa dunianya sangat hancur, betapa berartinya orang itu bagi Ken. Karenanya dia hanya mengusap bahu Ken seolah menenangkannya. Ken kembali melihat ke arah jalanan. “Ken suka daging panggang, kita makan daging panggang ya, dekat sini sepertinya ada restoran seperti itu kalau lihat di maps,” ucap Pasha yang sudah membuka ponselnya dan mencari peta restoran terdekat. “Ken mau?” tanya Fio, Ken pun mengangguk meski anggukannya terlihat lemah. “Boleh, Sha,” jawab Fio, Pasha pun meminta pengemudi mobil itu mengarahkan mobil menuju restoran yang mereka tuju. Sesaat setelah sampai di restoran yang bernuansa modern itu, Pasha bahkan sempat mengajak sang sopir untuk ikut turun dan makan bersama, namun sopir itu menolak dengan sopan sehingga Pasha tak bisa memaksanya ikut serta. Mereka bertiga masuk ke dalam restoran yang didominasi dengan warna hitam dan abu metalik, di setiap meja sudah terletak dua kompor listrik khusus memanggang dan juga khusus untuk makanan berkuah. Mereka disambut oleh seorang pramusaji yang membawakan buku menu dan mengajak mereka menuju tempat yang merupakan spot favorit. Siang ini tak terlalu ramai para pelanggan mungkin karena sudah lewat jam makan siang juga. Sebuah meja yang cukup ditempati untuk empat orang, berada di dekat jendela besar yang menampilkan pemandangan sebuah taman merupakan pilihan mereka. Setelah memesan, pramusaji itu pun meninggalkan ketiga orang itu. Tak berapa lama dia datang kembali membawa satu panggangan dan satu panci berisi kuah kaldu untuk merebus sayuran dan juga sosis dan sebagainya. Lalu pramusaji lainnya menghidangkan minuman yang mereka bertiga pesan yang merupakan cola dengan es batu di gelas masing-masing. Lalu bergantian dengan seorang pramusaji lain yang membawakan beberapa piring berisi daging yang telah dibelah tipis berukuran persegi panjang juga sayuran yang terdiri dari daun sawi, jamur, tahu isi bakso, sosis dan juga olahan udang. Pramusaji itu telah menyalakan kompor untuk memanggang dan merebus sayuran dengan kuah kaldu tersebut. “Jika ingin pedas, bisa ditambah cabai potong ya, Bu, Pak, dan ini sausnya, serta ini kecap asinnya,” ucap pramusaji itu, “jika ada yang dibutuhkan lagi bisa panggil kami, selamat menikmati,” tambahnya sopan seraya berpamitan dengan membungkukkan tubuhnya dan berjalan mundur beberapa langkah. Pasha menyiram kecap asin ke dalam piring daging itu sebelum mulai memanggangnya, sementara Fio sudah memasukkan sayuran dan bahan pelengkap lainnya ke dalam panci dengan kuah kaldu yang telah mendidih. “Ken lagi suka pedas, mau tambah cabai?”  tanya Fio menoleh ke arah Ken yang duduk di sampingnya, sementara Pasha sudah mulai meletakkan daging itu diatas pemanggang hingga suara berdesis terdengar darinya diiringi dengan asap yang disedot oleh lubang khusus dekat pemanggang. Ken mengangguk ketika Pasha menoleh ke arahnya seraya berkata, “kamu lagi kesal sama siapa?” tanya Pasha sambil membalik daging tersebut agar matang merata. “Kesal?” tanya Fio, menoleh ke arah Pasha setelah memasukkan irisan cabai dan tambahan bubuk lada kedalam sayuran yang direbus. “Biasanya dia makan pedas kalau kesal sama seseorang,” ucap Pasha. Ken yang sedang menganga seperti biasa itu hanya menggeleng dan memilih meneguk cola yang telah dituangkan ke gelas oleh Fio tadi. “Kamu kesal sama siapa?” tanya Fio, lagi-lagi Ken menggeleng dan berniat meneguk cola itu lagi sehingga Fio mencegahnya dan menurunkan tangan Ken yang mengangkat gelas cola. “Makan dulu, nanti kenyang sebelum makan kalau kamu minum terus,” ucap Fio. Pasha hanya menggeleng geli, setelah dagingnya dirasa matang, dia pun meletakkan di mangkuk khusus milik Ken yang telah terisi nasi. Ken segera menyuapnya hingga mata Fio melotot, “panas Ken!” cegah Fio yang terlambat karena Ken sudah membuka mulutnya kepanasan. Fio mendengus dan mengipasi mulut Ken yang terbuka dengan tangannya. “Kamu lapar banget ya?” tanya Fio seraya mencebikkan bibirnya, mengambil satu daging dari panggangan dan meniupnya sebelum menyuapi Ken lagi. Tangan sebelahnya terulur menyeka sudut bibir Ken yang terkena daging tersebut. “Mau pakai sayur?” tanya Fio, Ken pun mengangguk hingga Fio memberikan sayuran ke mangkuknya dengan sangat perhatian. “Kamu beruntung banget Ken, punya istri se-perhatian Fio.” Pasha kembali meletakkan daging di panggangannya, sesekali memakan daging yang telah matang dengan nasi yang berada di hadapannya. “Apa sih?” ujar Fio sembari tertawa, menularkan tawanya ke arah Pasha, “kamu juga makan,”suruh Pasha karena dia melihat Fio yang terus memperhatikan Ken tanpa berniat makan. Fio seolah teringat bahwa perutnya  pun butuh diisi sehingga dia mulai memakan makanannya. Obrolan terus mengalir mengenai perusahaan mereka, Pasha ingin mereka meluncurkan produk dengan varian rasa baru sehingga mereka merasa perlu mengadakan rapat dengan tim research dan pengembangan produk di kantor nanti. Mungkin memang tak instan membuat produk atau rasa baru karena mereka membutuhkan riset mendalam dan juga mencari informasi mengenai selera pasar. Namun mereka yakin mereka bisa meluncurkannya sebelum waktu yang ditentukan. “Kamu beruntung Ken, punya sahabat seperti Pasha yang cerdas dan memikirkan perusahaan, dia bilang dia bahkan tak tidur semalam karena terlalu antusias dengan tantangan di depannya,” ucap Fio seraya meletakkan daging panggang di mangkuk Ken setelah meniupnya agar tidak panas. Ken menyuap daging itu dan menoleh ke arah Fio bergantian dengan Pasha yang tampak saling tersenyum lebar dan terus berbincang tentang perusahaan seolah tak kenal waktu. ‘Beruntung? Apa benar aku orang yang beruntung?’ tanya Ken dalam hatinya. Sementara Fio menyuap makanannya, sesekali menunduk. Otaknya terasa terus saja menggumamkan sesuatu, seperti kata-kata pengandaian, ya seandainya Ken masih seperti Ken yang dulu, tentu semua akan berjalan dengan sangat lancar. Sekarang, untuk tanda tangan saja, Ken perlu mengulangnya beberapa kali agar tanda tangannya sama dengan tanda tangan terakhirnya. Fio menggeleng, dia tak seharusnya memikirkan hal itu, dia harus menerima Ken apa adanya sebagai suaminya juga CEO di perusahaannya pengganti pak Dhanan, dia yakin suatu saat nanti Ken akan kembali menjadi Ken yang seutuhnya, Ken yang pintar dengan pemikiran strategis yang dimilikinya, Ken yang keren dan menjadi kebanggaan semua orang. “Kenapa?” tanya Pasha karena melihat Fio yang menggeleng sendiri. “Ah nggak apa-apa kok, lanjutin makannya, aku ke toilet dulu,” ucap Fio. Dia pun menuju toilet karena ingin segera buang air kecil, saat masuk ke dalam bilik toilet, dia mendengar percakapan dari depan bilik dimana terdapat wastafel berhadapan dengan cermin berukuran besar. “Lihat meja nomor enam belas?” tanya seorang wanita itu kepada wanita lainnya yang merupakan karyawan restoran tersebut. Fio yang berniat keluar dari bilik toilet pun mengurungkan niatnya karena dia sangat ingat, nomor enam belas adalah meja miliknya. “Iya lihat, ganteng ya yang satu, sayang yang satu seperti orang blo’on,” ucap temannya menimpali. “Iya, tapi sepertinya dia kaya,” ujar wanita itu seraya membetulkan eyelinernya. “Kalau nggak tajir, mana mau cewek secantik itu dekat-dekat dengan pria blo’on seperti itu, aku kalau jadi ceweknya lebih milih temannya lah,” kekehnya ditimpali teman lainnya. Hingga Fio tak kuat lagi berlama-lama mendengar mereka menghujat sang suami. “Brak!!!” pintu terbuka lebar hingga kedua wanita itu terkejut dan tersudut ke salah satu dinding. Fio menyilangkan tangan di d-ada, lalu menunjukkan ponselnya. “Saya sudah merekam apa yang kalian bicarakan, apa perlu saya melaporkannya ke manager kalian?” tanya Fio seraya tersenyum sinis. Kedua wanita itu membelalakkan mata dan segera berlutut di lantai. “M-maaf bu, kami tidak berniat-“ “Apa membicarakan pelanggan adalah standar operasional pekerjaan kalian disini?” sindir Fio. “T-tidak, maafkan kami bu, tolong jangan dilaporkan. Kami janji tak akan mengulanginya,” ucap keduanya serempak. “Saya sedang menimbang, perlukah saya melaporkan lalu kalian dipecat, atau ... hmm apa sebaiknya saya viralkan saja ya agar restoran ini gulung tikar karena karyawannya yang tidak becus?” “Ibu, saya mohon jangan ... saya minta maaf,” ujar keduanya seraya terisak dan semakin menunduk bahkan hampir bersujud mencium lantai. “Bangun!” pinta Fio, keduanya menggeleng dan tetap di lantai. “Bangun atau saya tak akan pernah memaafkan kalian!” kedua karyawan itu saling lirik dan berdiri sambil menunduk dengan tangan tertaut di depan mereka, membentuk gerakan memohon. “Untuk kali ini kalian lolos. Kalian harus janji untuk tak pernah membicarakan pelanggan kalian apapun yang terjadi!” “Iyaa bu, kami janji,” ucap keduanya dengan air mata membanjiri mata mereka karena terlalu takut, mereka tak menyangka bahwa pelanggan yang dibicarakan ada di toilet. “Satu yang perlu kalian tahu. Lelaki yang kalian bilang blo’on adalah suami saya. Dan dia tidak seperti yang kalian pikir! Ubah mindset kalian, tentang ketulusan seseorang. Tak semua orang bersikap baik hanya karena harta, tahta atau kedudukan!” ujar Fio, keduanya hanya mengangguk dan membiarkan air mata lolos dari mata mereka dengan tangan gemetar. Fio pun mendengus dan keluar dari toilet. Marah membuat nafsu makannya memuncak, dia rasa dia perlu memesan satu porsi daging panggang lagi khusus untuknya saat ini. diet urusan belakangan! Toh dia bisa olahraga lagi nanti malam. Dia perlu menyalurkan emosinya sekarang, atau moodnya akan berantakan seharian, sedangkan masih banyak yang perlu dia kerjakan di kantor nanti. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN