3 - Lagi

972 Kata
Tak lama setelah melihat keadaan sekitar, Shilla terduduk lemas dan menutup mata dengan tangan mungil miliknya itu. Air mata tak berhenti mengalir menciptakan aliran sungai kecil.   Lima menit berlalu, tangisnya kini diiringi dengan isakkan kecil. Tak ada suara apapun yang terdengar dalam pendengarannya. Tapi entah kenapa kelopak matanya sulit untuk dibuka walau sedikit pun. Seperti ada perekat. "Hm." Deheman seseorang mampu membuka perekat yang ada terdapat pada mata indah itu dengan mudah. Dipandanginya orang di depannya yang memasang wajah datar dan terdapat beberapa lebam di wajah. Namun demikian, tak menghilangkan ketampanan dan aura dingin yang menguar. Shilla terpaku melihat dia sedekat ini. Jantungnya tak berhenti berdetak kencang. Sungguh dia juga bingung dengan apa yang terjadi. Shilla masih terpaku pada seseorang di hadapannya. Tanpa berucap dan tanpa mengerjap. Untung saja masih ingat bernafas. Sedangkan seseorang yang menjadi objek Shilla itu tak ada niatan untuk mengeluarkan suara mahalnya. Dia mengangkat satu alisnya bingung melihat Shilla yang terlihat --entahlah. "Mm.. Makasih Kak," ucap Shilla memecah keheningan. Setelah tersadar, Shilla tak mau lagi menatap dia. Terlalu grogi memandang sedekat itu. Lalu? Yang tadi itu apa? Tanyakan saja pada yang bersangkutan. "Hm." hanya itu. Ya, hanya deheman yang dikeluarkan oleh dia untuk membalas ucapan terimakasih Shilla. Setelah itu langsung meninggalkan Shilla sendiri. Shilla masih di tempat dengan memasang wajah seolah-olah tak percaya bahwa dia langsung pergi tanpa sepatah kata pun. Memang apa yang kamu harapkan Shilla? Tak perlu ada pengharapan lebih untuk dia. Shilla bangkit dan menghapus air mata yang masih tersisa di pipi tembamnya. Berjalan keluar dari perpustakaan menuju gerbang dan pulang ke rumah. Berjalan menuju halte yang lumayan jauh dari kampus. Entahlah, Shilla hanya ingin sekedar menenangkan diri dan menyendiri sejenak. Mencoba mengenyahkan kejadian-kejadian kurang mengenakkan yang datang bergantian. Setelah merasa sedikit lebih tenang, Shilla mendudukkan diri di halte yang terletak tak jauh posisinya kini. Menunggu dan tak lama datang angkutan umum yang akan mengantarkannya sampai rumah. "Assalamualaikum Bu," salam Shilla kepada sang ibu yang sedang membersihkan halaman samping rumah utama. "Wa'alaikumsalam, Nak." balas sang ibu menerima uluran tangan Putri tunggalnya. "Masuk sana. Ganti baju, makan, terus tidur. Gak usah bantu ibu hari ini. Kamu keliatan kurang sehat soalnya." "Eh, Shilla gak papa kok Bu. Shilla mau bantu Ibu aja kaya biasa," bantah Shilla. Tapi tetap halus. Tak ada penggunaan nada suara tinggi sedikit pun. "Ya sudah. Terserah kamu aja." Tak mau terus berdebat, akhirnya di iya kan saja ucapan Shilla. "Oke Ibu. Bye." Sang ibu yang melihat hanya geleng-geleng kepala. Dirinya sangat beruntung bisa memiliki Shilla. Walaupun— Kembali pada Shilla. Gadis itu kini tengah mengganti baju seragam menjadi pakaian santai rumahan. Yang tentunya sangat sederhana. "Ibu, sini Shilla aja yang lanjutin," pinta Shilla. "Ya sudah ini," ucap ibu Rini sambil memberikan sapu. "Tapi kamu udah makan kan nak?" lanjutnya. "Udah Ibu... Ibu masuk aja sana," ucap Shilla mengusir halus sang ibu. "Ibu masuk dulu yah," pamit sang ibu. Menyapu halaman di rumah ini membutuhkan waktu yang tidak cepat. Bagaimana tidak? Halaman nya saja sangat luas. Mungkin setengah dari lapangan sepak bola ataupun lebih. Tapi itu tak membuat Shilla mengeluh. Walau sering dilarang, tapi untuk membantu orang yang sudah melahirkan kenapa tidak? Diliriknya jam di pergelangan tangan. Jam tangan satu-satunya. Pemberian sang ibu saat usianya genap delapan belas tahun atau satu tahun lalu tepatnya. “Jam empat, harus cepet nih. Kan belum ngerjain tugas.” Belum selesai dengan kegiatan itu, pintu gerbang utama terbuka. Ternyata tuan dan nyonya Dinata telah kembali dari kantor. "Selamat sore Tuan, Nyonya," sapa Shilla. "Udah berapa kali Bunda bilang Shilla? Kamu cukup panggil Bunda sama Papa aja," pinta nyonya Dinata. "Eh, iya Bun," jawab Shilla kikuk. Rachel yang mendengar itupun langsung tidak terima. "Eh, apaan. Lo itu cuma anak babu disini. Gak pantes panggil bunda gue Bunda!" "Rachel. Kamu itu apaan sih. Ini juga Bunda kok yang minta," Jelas nyonya Dinata. "Ya gak bisa gitu dong Bun. Bunda itu bunda aku. Bukan bundanya babu itu." Matanya tajam menatap Shilla. "Rachel," panggil tuan Dinata tegas dan penuh peringatan. "Terserah kalian ajalah," jawab Rachel berlari memasukki rumah. Tuan Dinata hanya menghela nafas. Lelah dengan sikap kurang baik yang dimiliki putri semata wayangnya. "Sayang, maafin Rachel yah," ucap nyonya Dinata tulus. "Iya gak papa ko Nya," sambil tersenyum manis. "Eh, panggilnya apa?" tanya nyonya Dinata menaikkan satu alisnya. Kalo seperti ini, wajah bunda mirip sekali dengan Revan saat di perpustakaan tadi. "I.. Iya Bun," ralat Shilla. "Nah gitu dong. Kalo gitu Bunda sama Papa masuk dulu yah," pamit bunda yang dibalas dengan senyum dan anggukan kecil Shilla. Seperginya mereka, Shilla melanjutkan kembali kegiatan yang sempat terhenti -menyapu- Selesai menyapu, Shilla berjalan untuk membuang sampah hasil menyapunya pada tempat pembuangan di depan rumah. Belum terbuang semua, tangan Shilla ditarik seseorang menuju arah belakang rumah yang sepi. "Tolo...hmmpp." Mulut Shilla dibekap dengan tangan besar dan hangat. Tubuhnya terus ditarik dan dihempaskan pada dinding belakang rumah. "Argh." Suara erangan samar keluar dari mulut Shilla. Punggungnya terasa sakit. Berontak malah menjadikan cengkraman tangan itu semakin erat. Mulutnya juga masih di tutup tangan yang sama. Diliriknya pelaku itu. Dari belakang terlihat pria berperawakan tinggi mengenakan kemeja yang tak asing di mata. Deg Saat berbalik, tanpa aba-aba si pelaku yang tak lain adalah dia langsung memluk tubuh mungil Shilla. Memeluk dengan erat seakan hari esok sudah tak akan ada. Tubuh Shilla kaku. Tak bisa bergerak sedikitpun apalagi untuk berontak. Tak menyangka dengan pelukan mendadak yang diterima. Nafasnya tak beratur. Kaget dan takut. “sebentar saja.” Dia berucap Lirih. Shilla menghela nafas, tambah tak bisa berbuat apa-apa setelah mendengar suara lirih yang terdengar seperti ah entahlah Shilla juga bingung. Disatu sisi Shilla ingin berontak dan melarikan diri. Disisi lain, hatinya melarang pergi dan tinggal sebentar saja. Saat ini, Shilla akan menuruti kata hatinya dahulu. Nafas Shilla sudah kembali seperti semula. Kesadarannya juga. Tanpa kata, tangan Shilla melepas dekapan yang kini mulai mengendur. Ini sudah terlalu lama menurut Shilla.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN