Selepas memberi sedikit pelajaran pada dia yaitu dengan menginjak kakinya lumayan keras, Shilla berlari menuju rumah. Tanpa menoleh sedikit pun kebelakang. Air mata nya menetes lagi karena dia. Panggilan sang ibu juga dihiraukan. Hanya satu keinginannya saat ini. Dirinya ingin berlari terus menuju kamar dan menangis sendiri di sana. Shilla menangis bukan karena sebuah pelukan saja, namun juga karena perasaannya yang tidak bisa berbohong bahwa Shilla sebenarnya juga menginginkan Revan. Shilla mencintai Revan dan yang lebih menyedihkan lagi, Shilla sadar bahwa Revan tak mungkin membalas perasaannya.
Bu Rini yang melihat itu bingung. Penasaran apa yang menyebabkan putrinya bersikap tidak seperti biasa. Sebenarnya ia ingin sekali menghampiri Shilla. Tetapi pekerjaannya -memasak- tidak bisa ditinggal begitu saja.
Setelah memasukki kamar, Shilla langsung berbaring dan menangis. Meratapi nasib yang akhir-akhir ini dirasa kurang beruntung. Selalu berurusan dengan anak majikannya yang sombong dan dingin. Yang sayangnya Shilla cintai.
Di lain sisi, Revan masih berdiri ditempat semula, di belakang rumah tempat yang biasa digunakan untuk pembuangan sampah sementara. Ya, Revan. Revan pelaku yang melakukan sedikit permainan pada Shilla. Revan juga tak tahu apa yang terjadi sampai dengan nekat menghampiri dan memeluk Shilla erat. Mungkin ini ada hubungannya dengan kejadian di perpustakaan tadi. Hati Revan tak tenang melihat Shilla menangis di perpustakaan. Memilih mengikuti Shilla dari belakang dengan mengendarai mobilnya yang berjalan pelan. Revan khawatir dan akhirnya menghampiri Shilla saat gadis itu berjalan keluar pagar rumah.
Revan menyukai gadis sederhana nan cantik itu. Entah sejak kapan rasa itu hadir. Namun akhir-akhir ini perasaannya makin menggebu untuk memiliki.
Usianya kini 21 tahun. Tetapi tak sekalipun juga dirinya berpacaran atau sekedar dekat dengan perempuan. Sifat dingin dan sombongnya menjadi salah satu alasan yang kuat. Mana ada perempuan yang tahan dengan pria seperti itu? Mungkin jika ada perbandingannya 1 banding 100.
Revan hanya dekat dengan beberapa perempuan saja. Ibu, adik, dan neneknya. Hanya tiga bahkan pada saudara perempuan yang lain seperti kakak atau adik dari ayah ibunya saja tidak terlalu dekat. Seperti ada dinding yang tinggi antara dirinya dengan kaum perempuan.
“Kenapa gue jadi gini?” batinnya bertanya-tanya.
Jantungnya sedari tadi juga berdetak kencang. Tapi dirinya tak tau saja kalau benih-benih Cinta mulai tumbuh. Bukan hanya suka. Disamping memang buta akan pengetahuan percintaan, dia juga terlalu gengsi untuk mengakui.
"Au ah. Mending masuk aja." Berjalan santai menuju rumah.
Wajah tampan itu kembali datar. Tatapan mata tajam. Dan berjalan angkuh.
Memasuki kamar yang berada dilantai dua, Revan memilih mandi karena memang hari sudah sore. Kaos polo dan celana selutut menjadi pilihan yang tepat mungkin.
Setelah mandi dan melakukan hal-hal setelahnya, Revan berbaring. Beberapa menit dihabiskan dengan membaca-baca buku yang dilihatnya.
Tok tok tok
"Masuk!" teriak Reva dari dalam kamar.
"Kak, ganggu gak?" tanya Raka -adik Revan- melongokkan kepalanya diantara celah pintu yang sedikit terbuka.
"Mau ngapain Lo?" pertanyaan yang dibalas pertanyaan. Bagus Revan.
"Elah, orang nanya itu dijawab. Bukan balik nanya," dumel Raka jengkel.
"Hahahha, selo dong Dek," canda Revan.
"Ya udah biasanya juga tinggal nyelonong," lanjut Revan menatap Raka sinis.
Yang ditatap hanya cengengesan dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Tanpa menjawab, Raka masuk dan duduk di sofa yang berhadapan langsung dengan Revan yang kini duduk di ranjang, setelah sebelumnya menutup pintu.
"Ada apaan?" tanya Revan menghadap kembali ke arah buku bacaannya.
"Gue mau ngomong Kak," ucap Raka terdengar ragu.
"Ya tinggal ngomong kali Dek." Revan menegakkan duduknya dan menghadap adik laki-laki satu-satunya saat dirasa akan ada pengakuan penting.
"Em, gini Kak... Sebenernya...." Raka menggantung perkataannya dan menarik nafas panjang.
"SebenernyaguesukaShilla." Raka menghembuskan nafas lega.
Revan cengo. Bingung apa yang dikatakan adiknya itu. Itu terlalu cepat.
"Lo ngomong apaan Ka?" tanya Revan akhirnya.
Raka kira kediaman Revan karena telah berhasil mencerna perkataannya. Tapi ternyata karena pria itu bingung memikirkan apa yang dikatakannya.
"Gue. Suka. Shilla," ucap Raka penuh penekanan pada setiap kata.
Deg
“Jantung gue napa? Kalo Raka suka Shilla ya udah sih,” Revan dalam hati.
Revan terkejut, bagaimana mungkin adiknya menyukai Shilla? Revan benci mendengar kenyataan itu. “Pasti karena Shilla itu anak pembantu di sini.” Revan meyakinkan dirinya akan alasan tak menyukai apa yang Raka katakan.
“Tapi kenapa disini ada yang sakit?” memegang dadanya.
"Kak," panggil Raka.
"Eh, iya. Lo yakin Dek? Suka sama anak pembantu?" tanya Revan setelah bisa mengatasi keterkejutannya.
"Lo kenapa sensi amat sih Kak, kalo sama Shilla?" tanya Raka balik.
"Ya gak gitu. Gue cuma bingung, Lo kan ganteng, kaya juga. Masa suka sama anak pembantu sih? Selera Lo jelek banget," cibir Revan memasang wajah jijik.
"Perasaan gak bisa mandang orang Kak. Mau dia kaya atau miskin. Lagian Shilla kan baik," bela Raka.
"Ya tetep aja, dia itu gak pantas buat Lo. Terlalu rendah." Revan meremehkan.
"Tinggi rendah derajat seseorang itu cuma Tuhan yang bisa ngukur, Kak!" Raka yang mulai tersulut emosi meninggikan suaranya.
"Lo bentak Gue demi dia?!" tanya Revan meninggikan suara juga.
"Iya!! Ke---" ucapan Raka terpotong oleh suara ketukan pintu kamar Revan.
Tok tok tok
Raka bangkit hendak membuka pintu. Belum juga sampai, pintu terbuka dari luar, dan nampaklah seseorang yang tadi tengah diperbincangkan. Shilla.
Keduanya -Revan dan Raka - membeku takut apa yang tadi mereka perbincangkan didengar oleh Shilla.
"Kalian disuruh turun. Makan malam," singkat. Shilla langsung membalikkan badan dan terburu-buru menjauh.
Kakak beradik itu kini saling menatap. Raka menatap Revan marah. Dan Revan menatap Raka datar.
"Awas aja kalo Shilla denger." ancam Raka dan meninggalkan Revan sendiri.
Revan sendiri sebenarnya juga tak mengerti apa yang tadi ia ucapkan. Yang jelas hanya satu. Dirinya tak rela ada lelaki lain yang menyukai Shilla. Dia tidak menyesal mengatakan itu, jika itu akan membuat adiknya tidak menyukai Shilla lagi. Tapi dirinya takut Shilla mendengar semua dan akan semakin membenci.
Akhirnya Revan melangkah menuju meja makan dengan banyak pikiran yang bersarang di otak.
"Ayo Sayang makan," ucap bundanya.
"Iya Bun,"
Selama makan, Revan tak menemukan kaberadaan Shilla. Biasanya bukan hanya ibunya yang melayani keluarga ini saat makan. Shilla selalu hadir. Tapi entah kenapa malam ini tidak. Apakah karena tadi Shilla mendengar ucapannya? Batin Revan barkecamuk.