Bab 2. Pekerjaan Untuk Nindya

1291 Kata
“Usaha kek, Ma. Buat kue, buat lauk-lauk untuk dijual gitu. Mama jadi nggak perlu ke luar rumah,” usul Citra. “Mama nggak pede jual-jual begituan. Di sini sudah banyak, nanti malah jadi saingan. Tuh kayak bu Cokro, marah-marah karena tetangganya ikut jualan makanan dan minuman.” Citra berdecak. “Kalo Mama jadi pembantu, jangan deket-deket sini ah. Malu tau.” “Iya, iya. Lagian juga belum tentu dapat cepet. Mama juga harus di rumah dulu beberapa bulan.” Sarapan sudah siap, dan dua anak laki-laki Nindya datang dan siap sarapan, Cakra si bungsu sudah rapi dengan pakaian sekolah dasarnya, dan Bayu sudah rapi dengan pakaian bebas, dia akan menghadiri kuliah perdananya hari ini. “Yeee, naik motor baru,” sorak Cakra senang. Bayu baru membeli motor dua hari lalu secara tunai, motor bekas milik sahabatnya, Duta. “Motor bekas kaliii,” ralat Citra sambil melirik kakaknya yang senyum-senyum melihat adik bungsunya. “Tapi bagus, Kak. Daripada motor papa dulu, kecil dan nggak nyaman.” “Bukan nggak nyaman, papa saja bawa motornya serampangan. Malas ngurus anak-anaknya.” “Citraaa. Nggak boleh ngomong gitu ah,” cegah Nindya. “Emang begitu, Ma. Kalo Mas Bayu bawa enak, coba kalo papa, bawaannya mau cepat sampeee aja, ngebut-ngebut tapi nggak kira-kira,” gerutu Citra, dan diiyakan Cakra dengan mulutnya yang penuh dengan makanan. Ini yang Nindya suka dari anak-anaknya, tidak pernah mengeluh dengan keadaan. Pernah dulu tidak diberi uang jajan karena sudah akhir bulan, anak-anak sepakat puasa dan dengan sabar menunggu sampai papa mereka gajian di bulan berikutnya. Setelahnya, semua pamit pergi dan Nindya sendirian lagi di rumah. Dia bergegas membersihkan rumah dan merapikannya, dari dapur, ruang tamu, ruang keluarga dan tiga kamar. Lebih kurang dua puluh tahun Nindya sudah menyewa rumah yang sekarang dia tempati, milik atasan mantan suaminya, yang dikenal memiliki banyak rumah di Jakarta Selatan. Harga sewa yang tidak terlalu mahal dan terkadang si pemilik lupa menagih. Nindya tidak pernah sekalipun tahu posisi kantor Harja, karena memang kerap berpindah-pindah. Harja adalah petugas lapangan di perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan dan properti. Dalam lima tahun ini dia pernah mengeluhkan bosnya yang baru, yang merupakan anak dari pemilik lama yang sudah meninggal dua tahun lalu. *** Kuliah umum sudah berakhir, Bayu langsung merapikan alat-alat tulisnya dan bergegas ke luar aula. “Bayi!” “Hush!” Bayu menggetok kepala Duta yang iseng memanggilnya. “Ke kantin yuk? Aku traktir deh,” ajak Duta. “Dalam rangka merayakan perceraian keduaorang tua kamu.” “Dih, harusnya aku yang traktir, bukan kamu, Dut.” “Nggak apa-apa. Akhirnya damai juga, ‘kan? Nggak semua perceraian bikin pusing, iya nggak? Tuh, buktinya perceraian orang tua kamu bikin lebih adem.” Mereka berdua sudah duduk di kantin, dan pagi itu cukup ramai, sehingga mereka harus menunggu beberapa waktu sampai makanan yang dipesan tiba. “Lega sih, akhirnya Mama jelas statusnya. Bosen juga setiap hari dengerin mereka bertengkar mulu. Lucunya, mama sudah ngalah, tapi tetap saja papa ngeyel bikin rusuh. Nggak ngerti lagi … gesrek otaknya sejak selingkuh.” “Haha, emang persoalan rumah tangga itu kegitu, ada saja dan pusing banget kalo nggak ada titik temu.” Duta sudah mengetahui persoalan yang terjadi dalam keluarga Bayu, juga papa dan mamanya. Mereka bersahabat sejak SMA dan sekarang kuliah di tempat dan jurusan yang sama, hanya berbeda kelas. Berbeda dari Bayu, keluarga Duta justru sangat harmonis dan tidak pernah kekurangan. Maklum, kedua orangtuanya merupakan tenaga pengajar, papanya dosen di kampus swasta terkenal dan mamanya adalah guru SMA. “Mamaku mau kerja, hm … apa saja sih, cuci-cuci atau bantu-bantu di rumah orang. Kamu tahu, ‘kan mamaku bersihan orangnya.” “Kalo di rumahku gimana, Yu. Mau nggak Mama kamu kira-kira?” “Emangnya ada lowongan?” “Pembantuku lagi pulang kampung sekarang, Mama jadi kerepotan. Terus ada isu kalo dia nggak balik-balik lagi ke rumah, dapat warisan.” Bayu berpikir sejenak. “Nggak deh. Masa mamaku kerja di rumah kamu, Dut.” “Haha, santai, Coy. Ya, kalo kamu mau. Nggak mau juga nggak apa-apa.” *** Bayu pulang siang itu ke rumah, dan dia ragu untuk mengatakan bahwa ada lowongan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di rumah sahabatnya. Rumah Duta tidak jauh, pun tidak dekat , dan sekiranya mamanya bekerja di sana, tetangga tidak akan menaruh curiga. Tapi seandainya mereka tahu pun, Bayu juga tidak akan mempermasalahkan. Mamanya juga butuh pekerjaan, setidaknya untuk mengisi waktu senggangnya. Bayu duduk sejenak di tepi tempat tidur, lalu pergi ke kamar mandi dan mandi. Sore harinya, Nindya memasak pisang goreng kesukaan anak-anaknya. Dalam waktu sekejap, ruang tengah pun jadi ceria karena celoteh anak-anaknya. Bayu yang menceritakan tentang kuliah perdananya, Citra yang memiliki banyak teman baru dan Cakra yang sedih melihat kucing kampung kurus di dekat sekolahnya dan dia melihat anak-anak kecil melempar kucing itu. “Ma, aku sempat cari-cari lowongan buat Mama, tapi jauh-jauh.” “Nggak usah yang terlalu jauh, Yu.” “Hm … Mama mau kerja di rumah Duta?” “Duta?” “Iya, pembantu rumah tangga keluarganya sedang pulang kampung dan mamanya kerepotan. Kalo Mama mau?” “Kamu nggak malu? Mama sih mau saja.” “Tadi aku sempat tanya Duta. Katanya Mama nggak perlu menginap seperti pembantu sebelumnya, Mama hanya kerja sampe semua pulang ke rumah, sekitar jam empat. Beresin rumah, kamar, dapur, bantu masak, kayak yang Mama biasa kerjain di rumah.” Mata Nindya membulat besar. “Bisa kalo begitu.” “Lumayan sih gajinya, tiga juta.” “Waduh. Mau, Yu.” Bayu langsung menghubungi Duta. *** Sudah satu minggu Nindya bekerja di rumah sahabat anaknya, dan keduaorang tua Duta sangat menyukai pekerjaannya. Mama Duta malah memuji pekerjaan Nindya yang jauh lebih baik daripada pembantunya yang sedang pulang kampung. Mereka sudah mengetahui perihal perceraian Nindya dan memakluminya, Duta pernah menceritakan kekacauan rumah tangga Bayu ke kedua orangtuanya. “Laki-laki kebanyakan begitu, Nin. Aku punya banyak teman di kantor, guru pula, banyak yang curhat kalo pernikahan mereka membosankan. Kalo aku pikir-pikir itu karena kurang bersyukur saja,” ujar Harini, mamanya Duta, ketika Nindya bersiap-siap pulang. “Kalo turuti nafsu memang nggak adan habis-habisnya. Ada yang terang-terangan selingkuh di sekolah. Jadi persoalan kamu itu memang sudah biasa.” “Mbak beruntung punya suami seperti Mas Firman.” “Iya, Nin. Karena kita saling sayang dan pengertian, satu lagi saling terbuka. Eh, kamu masih cantik loh.” “Astaga, Mbaaak. Aku nggak kepikiran—“ “Siapa tahu ada yang naksir.” “Siapa? Teman laki-laki saja nggak punya. Selama menikah aku mengabdi sama Mas Harja seorang.” “Memang nggak tahu diuntung. Liat saja, nggak semua menikah sama yang muda itu menyenangkan, paling di awal-awal saja.” Nindya tidak berharap demikian, yang dia pikirkan hanyalah bagaimana membuat anak-anaknya tetap bahagia bersamanya dan sukses di masa depan. “Aku pulang dulu, Mbak. Ojek langgananku sudah menunggu di depan,” pamit Nindya. Nindya tidak menyadari, Harini dan suaminya, Firman, memperhatikannya dari teras rumah. “Cantik begitu si Nindya masih saja diselingkuhi,” gumam Harini sambil geleng-geleng kepala. “Kalo bini muda Harja bagaimana?” tanya Firman. “Cantik juga, ya … masih muda. Tapi nanti kalo seumuran Nindya nggak akan secantik Nindya,” gumam Harini. “Si Tirta tanya-tanya soal pembantu yang bisa mengasuh anak-anaknya dan menginap.” “Si duda genit itu?” “Ya, gajinya lumayan … dia tawarkan dua belas juta.” “Terus kamu kepikiran Nindya?” “Siapa tahu? Nindya pasti butuh uang banyak.” “Hah, bisa habis Nindya digoda. Kamu kira-kira kalo nawarin pekerjaan, Mas. Ingat dulu, Lestari cerai dari dia karena nggak tahan suka godain pembantu-pembantu muda yang kerja di sana. Hm … Lagi pula nggak mungkin Nindya mau menginap.” Firman tertawa membenarkan apa yang diucapkan istrinya tentang teman dekatnya yang bernama Tirta. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN