“Aku harap uang seratus juta ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kamu dan anak-anak. Puspa tidak menyukai kehadiran anak-anak kita, dan kamu saja yang mengurus mereka,” ujar Harja setelah akta cerai sudah berada di tangannya dan istrinya. Dia mengakhiri pernikahannya yang sudah dua puluh tahun, karena tidak tahan dengan istrinya yang dia anggap tidak becus menangani keuangan keluarga. Bekerja berpuluh tahun, tapi tetap mengontrak rumah dan tidak memiliki aset yang bisa dijamin, hanya kendaraan motor dan mobil bekas, yang rencananya akan dia jual.
“Lalu bagaimana hidup anak-anak kita selanjutnya, Mas? Uang itu pasti tidak cukup. Bayu akan kuliah, Citra baru masuk SMA dan Cakra akan tamat SD.”
“Seratus juta tidak cukup katamu? Kamu beruntung Puspa mau menyediakan uang itu. Wanita macam apa kamu ini, tidak ada syukur-syukurnya.”
“Bukan masalah bersyukur atau tidak, Mas. Kamu seolah membiarkan anak-anak dan tidak mau berurusan dengan mereka lagi. Mereka anak-anak kita.”
“Aku sudah nggak tahan, Nindya. Bekerja keras untuk kamu dan anak-anak.”
“Itu sudah kewajiban kamu, Mas.”
“Baiklah. Aku nggak mau berdebat lagi, lagi pula kita sudah bercerai. Ini uang apa kamu mau terima atau tidak?”
Nindya mengamati wajah Harja dengan perasaan sedih luar biasa. Ada manusia setega ini terhadap anak-anaknya, lepas tanggung jawab dan seolah tidak mau menganggap mereka di masa depan.
“Aku capek, pontang panting bekerja demi kamu dan anak-anak, baju pun aku nggak ganti bertahun-tahun. Sepatu butut ke mana-mana. Dua puluh tahun, Nindya! Sementara kamu enak-enakan di rumah, makan minum nggak kerja.”
“Nggak kerja? Aku yang mengurus rumah tangga, kamu bilang nggak kerja dan enak-enakan?”
“Sudah, Nindya. Aku nggak mau mendengar alasan apapun. Itu adalah keputusanku.”
“Tapi di pengadilan kamu tetap bertanggung jawab.”
Harja hampir saja kalap, tangannya sudah melayang, tapi dia menahan emosinya. “Kamu mau terima uang ini atau nggak?”
Nindya terdiam, menelan ludahnya kelu. “Baiklah.”
“Mulai detik ini, aku tidak mau tahu kamu dan anak-anak. Aku juga ingin hidup bahagia dengan Puspa!”
Nindya menghela napas panjang, kecewa dengan keputusan Harja.
Harja mengambil tas ransel yang berisi beberapa helai pakaian, dan ke luar dari kamar. Dia sempat melihat ketiga anaknya duduk di kursi ruang tamu, menatapnya takut-takut, dan tidak satupun yang berani angkat bicara.
Tidak ada juga kata-kata yang ke luar dari mulut Harja sore itu, dia pergi dengan langkah terburu-buru, dan sudah ada mobil mewah yang menunggunya di depan pagar rumahnya.
Tak lama kemudian, terdengar deru mesin mobil menjauh, meninggalkan wajah-wajah bingung ketiga anak. Bayu, anak tertua beranjak dari duduknya, memasuki kamar mamanya dan menghampirinya.
“Papa sudah keterlaluan, Ma,” ujar Bayu saat sudah duduk di samping mamanya di tepi tempat tidur.
“Sudah, Mama juga nggak bisa apa-apa, Yu. Papamu sudah dibutakan cinta sama perempuan muda. Mama sudah ikhlas,” kata Nindya pelan. Perlahan dia mengambil tumpukan uang lembaran merah, dan menyerahkannya ke pangkuan Bayu. “Ini, uang kamu dan adik-adikmu. Kamu aturlah.”
“Bukannya Mama yang seharusnya pegang dan mengaturnya.”
Nindya menghela napas panjang. “Papamu bilang Mama nggak becus atur uang.”
“Ma, jangan begitu. Selama ini aku tahu Mama yang sudah berusaha mengatur uang sebaik mungkin, tapi memang keperluan dan kebutuhan sehari-hari semakin mahal dan nggak terkendali. Mama sudah hemat, aku tahu.”
“Bayu—“
“Aku mau kerja saja, Ma. Aku nggak mau kuliah.”
“Duh, Yu. Mama sedih kamu bilang begitu. Mama kepingin kamu kuliah setinggi-tingginya biar dapat pekerjaan yang bagus, bisa jadi contoh adik-adikmu. Mama juga akan berencana bekerja.”
“Mama mau kerja apa?”
“Apa saja, cuci baju atau apalah.”
“Ck.” Bayu berdecak.
“Kamu malu?”
“Yah, mau gimana lagi?”
“Itu makanya Mama bilang ke kamu, sebaiknya kuliah saja, biar nanti ke depan bisa bekerja di tempat yang bagus, seperti papamu.”
“Papa lagi papa lagi. Itu contoh buruk, Ma.”
“Bila perlu lebih dari papamu. Lihat, Mama cuma tamat SMA, sudah berumur pula, pekerjaan yang bisa Mama lakukan ya seputar bantu-bantu atau cuci-cuci di rumah-rumah orang.”
Bayu menoleh ke mamanya, tidak percaya mamanya bisa bekerja, karena selama ini mamanya hanya sebagai ibu rumah tangga dan menghabiskan waktu di rumah saja. “Memang Mama bisa bekerja? Di mana?”
“Ya, nanti Mama cari-cari info ke tetangga.”
Bayu berdecak lagi.
“Kenapa, Yu?”
“Aku nggak mau Mama jadi bahan gosip tetangga.”
Nindya tahu putranya keberatan jika dirinya bekerja sebagai pembantu di rumah-rumah tetangga. Malu, itu sudah pasti dan dia memakluminya. “Ya sudah, kalo begitu Mama coba nanti keliling naik motor, cari-cari informasi.”
“Motor, ‘kan di bawa Papa.”
“Ini uang kita bisa manfaatkan.”
“Hm … nggak usah, Ma. Aku carikan kerjaan untuk Mama lewat internet. Mama di rumah saja.”
Nindya tersenyum hangat, senang Bayu yang tampaknya sudah menerima keadaan keluarganya. Anak tertuanya inilah yang kerap mendengar pertengkaran keduaorangtuanya dan tetap bersabar dan tidak lupa memberi pengertian ke adik-adiknya.
“Mama yakin kamu akan jadi laki-laki sukses di masa depan. Cari pendamping hidup yang pinter, jangan seperti Mama.”
“Mama, aku nggak suka Mama bicara seperti itu. Bagiku Mama adalah terbaik di sepanjang masa.”
***
Pagi ini seperti biasa, Nindya yang dibantu anak keduanya, Citra, menyiapkan sarapan pagi. Kesibukan masih terdengar di dapur, dan Citra yang bersikap seperti biasa. Setidaknya dalam satu tahun terakhir anak-anak Nindya sudah terbiasa dengan sikap papa mereka yang acuh tak acuh dan kerap menghubungi perempuan muda selingkuhannya yang sekarang sudah dia nikahi. Ketenangan justru tercipta setelah kepergian sang papa, dalam satu tahun terakhir pula kehadiran Harja di rumah seperti bola api yang sewaktu-waktu membakar suasana rumah.
“Jadi Mama resmi janda ya?” tanya Citra memastikan. Setelah beberapa hari mendengar pertengkaran mama dan papanya, baru hari ini Citra berani bertanya, dia tidak mau menyinggung perasaan mamanya.
“Iya, Cit. Dan Mama nggak boleh ke mana-mana dulu. Nanti Mama mau kerja.”
“Kata Mas Bayu Mama mau jadi pembantu? Aku malu, Ma.”
“Apa saja, Cit. Yang penting menghasilkan, mau jadi pembantu, pengasuh, atau tukang cuci, yang penting ada duitnya. Ya itu risiko nggak sekolah tinggi, nggak bisa milih-milih kerja yang bagus.”
Bersambung