Sepertinya Nindya memang harus pindah bekerja. Ternyata pembantu rumah tangga lama yang bekerja di rumah Duta akan kembali lusa. Harini dengan berat hati menceritakannya, tapi dia memberi opsi lain.
“Harus menginap, Nin. Gimana, kamu mau?”
Nindya awalnya senang mendengar jumlah uang yang ditawarkan, tapi menginap dan pemilik rumah merupakan duda anak dua, dia jadi kepikiran. Namun, satu hal yang agak melegakan adalah bahwa pemilik rumah jarang sekali berada di rumah dan kerap lembur di kantor bahkan bepergian ke luar negeri.
“Lowongan sudah diiklankan katanya, sudah ada lima orang yang daftar. Tapi ini kebetulan teman papanya Duta, kalo kamu mau ya bisa langsung masuk kerja.”
Nindya berpikir cukup lama. “Pulang ke rumah bisanya kapan, Mbak?”
“Seminggu sekali.”
Nindya menghela napas panjang, ragu menerima pekerjaan yang diceritakan Harini.
Baru saja Nindya mengambil tas dan bersiap pulang, mobil yang dibawa Firman masuk ke dalam pekarangan rumah dan ternyata ada mobil mewah yang mengikutinya dari belakang.
“Eh, Nin. Itu mobil temannya mas Firman yang sedang membutuhkan pembantu dan pengasuh. Mau tunggu?”
Nindya harus mengambil keputusan dan dia mengangguk.
Terdengar suara Firman memanggil istrinya, berseru bahwa Tirta, sahabatnya, datang berkunjung. Harini langsung menyuruh Nindya membuat minuman berupa teh s**u.
“Eh, baru dari mana lagi ini, Mas Tirta?” tanya Harini sesopan mungkin.
“Dari Maldives, Mbak. Sehat?”
“Sehat, Mas. Liburan nih?”
“Liburan sambil berbisnis.”
“Oh.”
“Tadi kita sempat obrolin soal lowongan pembantu dan pengasuh di rumah Mas Tirta, Rin. Aku sempat singgung Nindya,” sela Firman.
“Janda baru,” gumam Tirta dengan gaya santainya, nada suaranya rendah terkesan remeh.
Harini melotot ke arah Firman, yakin keduanya pasti sudah bergosip ria tentang Nindya. Semalam, Firman sempat bercanda dengannya, seandainya Tirta menyukai Nindya dan serius, tidak ada salahnya, yang satu janda anak tiga yang sedang berjuang, dan satunya duda kaya. Harini pasrah meskipun dalam hati dia tidak menyukai candaan suaminya.
Nindya muncul dari dapur membawa baki yang di atasnya ada tiga minuman hangat. Dia duduk bersimpuh dan menyajikan minuman. Tampak Tirta mengamatinya dari ujung rambut sampai kaki, tapi wajahnya datar tak berekspresi. Firman dan Harini saling melirik, lega karena Tirta sepertinya tetap tertarik mempekerjakan Nindya, tapi tidak akan “menganggu”. Mungkin Nindya bukan perempuan yang suka dia ganggu.
Nindya hampir duduk di bawah, tapi Harini dengan cepat mencegah, menyuruhnya duduk di sampingnya.
“Ini Nindya, Tirta. Dia mama dari sahabat Duta di kampus, kebetulan baru bercerai, dan sekarang membutuhkan pekerjaan,” ujar Firman kemudian.
“Punya pengalaman mengasuh?” tanya Tirta ke Nindya. Wajahnya berubah serius.
“Mengasuh tiga anak saya, Pak,” jawab Ninyda dan disambut tawa Harini, Firman dan Tirta sendiri.
“Bekerja di rumah saya menginap. Kamu keberatan?”
Nindya menoleh ke Harini dan Harini mengangguk tersenyum. Dia yakin Nindya akan menyukai pekerjaan ini karena Tirta adalah sosok yang baik meskipun genit.
“Bisa dicoba beberapa malam, Pak. Ini mungkin pertama kali saya akan terpisah dari anak-anak saya.”
Tirta tersenyum dan membuat Nindya sedikit bergetar, Tirta gagah dan rupawan dan rapi dengan pakaian kerjanya.
“Ya,” jawab Tirta pendek.
***
Sudah tiga hari tiga malam Nindya bekerja di rumah Tirta Adji Rukmana, pemilik beberapa perusahaan di bidang perhotelan dan properti. Sebuah rumah mewah dan sangat luas dengan suasana Eropa yang sangat kental. Nindya sepertinya menyukai pekerjaan barunya ini, baru tiga hari dan dia sudah diupah sepertiga dari gajinya, yang dikirim ke rekening pribadinya. Untungnya anak-anaknya tidak mempermasalahkan dan malah mendukung, karena gaji yang diterima tidak main-main, juga bonus dan tunjangan. Sebenarnya Tirta ingin pembantu dan pengasuh anak-anaknya yang pendidikannya sekurang-kurangnya S1, tapi setelah melihat hasil pekerjaan Nindya, serta anak-anaknya yang betah dengan Nindya, dia akhirnya menerima janda beranak tiga tersebut.
Tiga hari ini Tirta tidak berada di rumah dan sedang melakukan perjalanan bisnis ke Moskow, dan katanya akan pulang minggu depan, tapi ada kemungkinan pulang lebih awal.
“Ibu, aku pusing, Bu,” keluh Cecilia ketika Nindya sedang mempersiapkan alat-alat sekolahnya di kamarnya.
Nindya cepat menghampiri Cecilia, anak kedua Tirta yang berusia sembilan tahun, memegang kepalanya. “Duh, kamu demam.”
Nindya tidak biasa dengan obat-obatan jika anak-anaknya sakit. “Mau Ibu pijat?” tanyanya.
“Mau, Bu.”
Nindya perlahan membuka seluruh baju tidur Cecilia setelah mengambil minyak kayu putih dari kotak p3k. Dia menoleh ke Naomi, kakak Cecilia, yang sudah tidur nyenyak di atas dipannya yang berada di seberang dipan Cecil.
Dengan penuh perhatian, Nindya memijat tubuh Cecilia.
“Enak, Bu.”
“Nggak pernah dipijat?”
“Nggak.”
Nindya tersenyum melihat Cecilia yang sangat patuh saat dipijat.
Tirta sudah lima tahun menduda, kedua anak perempuan menjadi tanggung jawabnya karena kesepakatan dengan Lestari, mantan istrinya. Lestari mengaku tidak sanggup membiayai dan Tirta tentu bersedia. Menurut cerita orang-orang yang bekerja di rumah Tirta, Tirta dan Lestari bercerai karena Lestari tidak tahan sikap genit Tirta ke staff-staff muda di kantornya, bahkan ada gosip yang beredar bahwa Tirta memelihara dua gadis muda dan memberi mereka apartemen mewah.
Cecilia sudah dipijat, dan dia menguap lebar. “Semoga aku bisa sekolah besok, Bu. Ada ulangan Bahasa Indonesia.”
“Iya, tapi jangan dipaksa kalo sakit.”
Cecilia mengangguk.
Dia sudah berpakaian lagi sekarang dan kembali tidur. Setelah memastikan anak-anak aman, Nindya ke luar dari kamar dan masuk ke dalam kamarnya yang bersebelahan dengan kamar kedua anak perempuan Tirta.
Nindya senang sekaligus lega, karena keesokan paginya Cecilia kembali segar dan dia bisa masuk sekolah bersama Naomi.
***
Suatu malam, seperti biasa sebelum jam tidur pukul sembilan, Nindya pergi ke dapur sambil membawa botol minuman khususnya yang kosong. Sedang mengisi botol, dia dikejutkan sebuah deheman dari arah belakang.
“Oh, Pak Tirta? Sudah pulang, Pak?” Nindya bertanya di tengah perasaan kagetnya. Baru malam ini dia bertemu Tirta lagi sejak hari pertama bekerja.
“Ya,” jawab Tirta pendek.
Nindya menunduk hormat dan buru-buru melangkah pergi.
“Nin,” panggil Tirta cepat.
Nindya menghentikan langkahnya. Sebenarnya dia tidak suka dipanggil “Nin”, lebih suka dipanggil dengan nama lengkap, kecuali jika sedang berbincang, dan bukan saat memanggil. Dia juga tidak tahu alasannya apa yang menyebabkannya jengah dipanggil “Nin”.
“Iya, Pak.”
“Kata Cecilia kamu pandai memijat. Kamu memijat dia waktu dia demam.”
“Oh, iya, Pak. Maaf jika saya lancang.”
“Nggak, nggak. Itu bagus.”
Nindya lega karena ternyata Tirta tidak marah dan sepertinya senang anaknya dipijat.
“Kamu bersedia memijat saya malam ini? Di kamar?”
Nindya terkejut bukan main, dan dia langsung menggeleng menolak. “Nggak, Pak.”
“Hei, saya minta bantuan. Pijat saja. Nggak ada yang melihat.”
Orang ini aneh, batin Nindya.
“Saya lelah sekali dan butuh relaks.”
Nindya menelan ludahnya sejenak, lalu mengangguk.
Bersambung